Abdullah Saeed dan Upaya Klasifikasi Tren Pemikiran Islam
Contents
Tidak sedikit yang tak memahami bagaimana langkah terbaik melihat kelompok lain secara presisi. Orang-orang Islam kanan konservatif, misalnya, melihat orang yang di seberangnya seragam. Termasuk orang-orang yang mendaku diri moderat tidak jarang terjebak ke liang penyeragaman ini.
Efek samping dari penyeragaman adalah ketidakmampuan mengidentifikasi setiap tren dalam pemikiran Islam. Atas fakta tersebut, menjadi penting melihat kembali bagaimana sejatinya corak pemikiran Islam. Secara khusus pemetaan yang ideal untuk setiap gerakan (baca; golongan) dalam diskursus keislaman.
Mengulik klasifikasi tren pemikiran Islam, rasa-rasanya kurang afdal jika melewatkan nama Abdullah Saeed. Salah seorang profesor di Universitas Melbourne, Australia. Ia merupakan sarjana yang mempunyai konsentrasi pada studi Arab dan Islam.
Abdullah Saeed merupakan pemikir yang lahir dalam tradisi intelektual Timur sebelum akhirnya merapat ke Australia. Artinya, ia tumbuh dari dua rahim tradisi intelektual yang berbeda. Latar seperti inilah yang membuat pemikirannya menarik untuk diperhatikan. Ia telah menulis buku-buku pengantar yang penting terkait dengan Al-Quran dan tafsir secara khsusus dan Islam secara umum.
Karya-karya Abdullah Saeed
Buku-buku Abdullah Saeed terkait dengan Al-Qur’an dan tafsir ialah The Qur’an: Introduction (an introductory book on how to communicate with the Qur’an) dan Interpreting the Qur’an: Towards A Contemporary Approach (methodology of the Qur’an interpretation). Bukunya terkait Islam secara universal adalah Islamic Thought: An Introduction. Di buku yang terakhir inilah, Saeed mengelaborasi tren pemikiran Islam hari ini.
Selain di buku yang terbit pada tahun 2006 tersebut, Saeed juga menulis lebih ekstensif di dalam artikel yang terbit setahun kemudian dengan tajuk Trends in Contemporary Islam: A Preliminary Attempt at a Classification.
Setidaknya, terdapat enam klasifikasi tren pemikiran yang Saeed ajukan. Pada artikelnya yang terbit kemudian ini, ia menambahkan dua tren lagi. Sebelumnya, Saeed mengakui bahwa tidak mudah untuk melakukan klasifikasi-klasifikasi ini. Implikasinya, upaya klasifikasi ini memantik debat tersendiri dan bisa berbeda antara satu sarjana dengan lainnya.
Sebagaimana Saeed pernah katakan, lazimnya tren pemikiran itu berjangkar pada 5 perbedaan. Mulai dari perbedaan ihwal kepemimpinan pascawafatnya nabi—yang melahirkan Sunni-Syi’ah—hingga perbedaan dalam menggunakan rasionalitas yang melahirkan kaum rasionalis dan nonrasionalis atau tradisionalis [Saeed, 2007: 396].
Klasifikasi dan Tren Pemikiran Islam
Saeed memulai klasifikasinya dari tren pemikiran Islam yang paling konvensional. Dalam istilah yang dipakainya tradisionalis legalis (traditionalist legalist) atau kalau istilah yang diajukan Tariq Ramadaan tradisionalisme skolastik (scholastic traditionalism). Hemat penulis, ini merupakan tren pemikiran yang paling gampang diidentifikasi. Alasannya sederhana, tren ini muncul lebih awal dibanding lainnya sehingga lebih mendominasi. Ciri utamanya adalah adalah keteritakan yang ketat terhadap mazhab tertentu dan kesarjanaan klasik.
Saeed menegaskan bahwa tren ini menjangkiti dunia Islam Timur Tengah, Afrika, anak benua India, hingga dataran Melayu. Maka, sepakat atau tidak, model seperti inilah yang mendominasi di Indonesia. Tidak cukup sampai di situ, ia bahkan menyinggung ulama kawakan asal Mesir, Yusuf Qaradhawi.
Khususnya dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Yusuf terkait dengan imam perempuan dalam salat. Dalam hal ini Yusuf menggolongkan Saeed sebagai ulama tradisionalis legalis yang posisinya menolak keabsahan imam perempuan. [Saeed, 2006: 142].
Pemikiran Islam Menurut Abdullah Saeed
Kendati mirip, namun ada yang berbeda dengan tren pemikiran selanjutnya, yakni puritanis teologis (theological puritans). Jika tradisionalis legalis berfokus pada aspek hukum Islam, maka tren ini berfokus pada teologi.
Ulama-ulama yang Saeed singgung antara lain Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, hingga yang lebih murakhir Muhammad bin Salih Utsaimin. Dua ulama di awal merupakan figur kunci tren pemikiran ini. Pada intinya, gerakan ini berupaya melakukan purifikasi dari segala hal yang anggapannya bertentangan dengan Islam. Antara lain, pengkultusan sosok tertentu, praktik-praktik kaum sufi, hingga inovasi yang dinilai tidak ada di zaman nabi (bidah).
Tren pemikiran puritanis teologis tersebut kadangkala disalahpahami dan disamakan dengan gerakan ekstremis militan (militant extremist). Padahal gerkan yang terakhir ini mempunyai gaya dan corak yang berbeda. Ekstremis militan ini diasosiaikan pada banyak aktivitas gerakan umat muslim pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Sentimen dan sikap anti terhadap Barat merupakan hal penting yang membentuk tren pemikiran ini.
Saeed menyebut nama Usama bin Laden yang dengan terang-terangan mengeluarkan fatwa anti Amerika. Bagi Usama membunuh orang Amerika beserta sekutunya merupakan tugas setiap muslim. Jelas bahwa perbedaan gerakan ini dengan puritanis teologis berada pada aspek gerakannya.
Gerakan Islamis Politis
Mirip namun tidak sama, yakni gerakan Islamis politis (political Islamist). Jika gerakan yang sebelumnya menempuh jalan kekerasan, maka gerakan ini melalui jalan sosio-politik Islam. Implikasinya, kecenderungan gerakan ini adalah menolak ideologi modern seperti nasionalisme, sekularisme, hingga komunisme. Gerakan berkonsentrasi secara penuh terhadap pendirian negara Islam dibanding negara-bangsa. Tren ini percaya bahwa untuk melakukan reformasi umat Islam satu-satunya cara institusionalisasi nilai-nilai keislaman, bukan kebarat-baratan.
Baik ekstremis militan maupun Islamis politis mempunyai sentimen terhadap segala yang terkait Barat. Islamis politis tersebut kemudian menjadi sasaran kritik muslim sekuler (secular muslims). Tren ini memandang bahwa tidak butuh negara Islam atau pengimplementasian apapun yang merujuk pada hukum Islam.
Di antara isu-isu yang muslim sekuler perhatikan adalah menjauhkan agama dari kontrol negara, penghormatan terhadap kebebasan beragama, penentangan terhadap tindakan misoginis serta berkomitmen untuk keadilan hak asasi tanpa memandang kelamin.
Ijtihadis dan Modernis
Terakhir, tren dari pemikiran Islam ialah corak ijtihadis progresif (progressive ijtihadis). Menurut Saeed, ijtihadis progresif ini merupakan derivasi dan keberlanjutan dari tren gerakan modernis klasik. Di mana tren ini berupaya untuk mereformasi aspek Islam, bagi dari sisi legalis maupun teologis. Nama-nama yang Saeed sebut sebagai orang modernis di antaranya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, hingga filsuf Muhammad Iqbal. Baik tren modernis maupun ijtihadis progresif percaya pada keniscayaan reformasi ajaran Islam.
Tren ini mengadopsi pandangan bahwa terdapat banyak aspek yang harus direformasi. Hal ini karena kebutuhan akan penyelesaian problem yang muncul dan tak solusinya dalam tradisi Islam klasik. Selain itu, hal penting dari tren ini adalah orientasinya untuk keadilan sosial, gender, penghargaan terhadap hak asasi, higga relasi yang harmoni antar umat beragama. Menariknya, tren ini kadangkala disamakan dengan gerakan muslim sekuler, padahal keduanya mempunyai perbedaan—meski sangat tipis.
Kendati demikian, membaca arah gerakan dan tren pemikiran sejatinya tidak pernah mudah. Ada kekaburan batas demarkasi di dalamnya yang kadang menjadikan satu tren dengan lainnya terkesan sama. Hal-hal semacam ini dapat terhindari kalau kita mampu membaca dengan cermat dalam mengidentifikasi setiap aspeknya. Bagi saya, upaya yang Saeed lakukan dalah satu satu sarana untuk menerangi kekaburan itu.(**)
Tinggalkan Balasan