Kekerasan Simbolis Sebagai Akar Terorisme
“Kamu bisa unfriend pertemananmu di Facebook, tapi kamu tidak bisa un- neighbour. Tetanggamu tetap akan di sana,” kata Yuval Noah Hariri, profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem, kepada Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Penulis buku Sapiens (2019)itu adu gagasan mengenai pentingnya kehadiran fisik dalam sebuah tatanan masyarakat. Sebab menurut Mark, Facebook cukup membantu banyak sekali orang untuk menemukan kesamaan-kesamaan aktifitas, sehingga mereka bisa berkumpul mendalami aktifitas itu.
“Tujuan saya membuat media sosial adalah agar orang semakin peduli dengan masalah di sekitarnya. Misalnya, ajakan yang mereka tulis di media sosial untuk membersihkan lingkungan dan bermain sepak bola kemudian mendorong mereka melakukannya,” terang Mark pada Yuval. Tapi sekali lagi Yuval membantahnya karena meragukan apakah media sosial saat ini lebih mendorong orang bergerak melakukan sesuatu bersama-sama atau malah membuat pengguna media sosial betah dan selama mungkin di depan layar. Sebab makin lama orang di depan layar media sosial berarti semakin memperkaya perusahaan seperti Facebook dan Instagram, milik Mark. Tetapi konektivitas yang diumbar Mark telah membantu meningkatkan ekonomi banyak orang bahkan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi sebuah negara itu mengandung racun yang mematikan, yaitu sebagai media menyebaran radikalisme dan terorisme yang mematikan dan mengguncangkan tak sedikit orang dan negara.
Tapi media sosial hanya alat saja, sebab sejak 70.000 tahun silam, saat revolusi kognitif membuat lompatan keterampilan berkomunikasi pada Homo Sapiens (kita), sehingga dapat mengolah informasi bohong (hoax) yang disebut Teori Gosip. Karena revolusi kognitif, sapiens yang mulanya hanya bisa mengolah informasi “Hati-hati! Singa!” bisa membuat narasi “Siang itu adalah arwah pelindung suku kita.” Sehingga kita (sapiens) memang sudah pandai membuat narasi bohong sejak dulu dan itulah keunggulan yang membuat kita (sapiens) unggul dari manusia purba lain (Yuval Noah Hariri, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, 2019).
Selain menjadi penanda ujung akar keterampilan manusia membuat berita bohong, revolusi kognitif juga menjadi mula manusia percaya pada mitos, dewa-dewi, dan agama. Akar dari keluguan pelaku teror yang konon percaya akan surga dengan 72 bidadari setelah mereka melakukan teror membunuh banyak orang. Sebuah keluguan yang tak ada pada spesies lain. Bahkan, simpanse sekalipun yang paling mirip dengan prilaku manusia, tak akan mau melepaskan pisang di genggamannya dengan iming-iming satu truk pisang di surga.
Melalui media sosial, sapiens termutakhir, manusia modern, menggunakan kepandaian 70 ribu tahun silam itu. Sehingga media sosial tak hanya menjadi berdaya guna besar seperti kata Mark, tetapi juga alat menyebaran paling cepat konten radikal serta bermuatan kekerasan. Wakil Presiden Jusuf Kalla saat pidato pada Christchurch Call to Action Summit, 15 Mei 2019 di Perancis berkata, “Keseluruhan teknologi informasi, termasuk penyedia layanan internet dan perusahaan media sosial, semestinya ikut bertanggung jawab dalam menciptakan internet sebagai ruang yang aman dan sehat untuk semua” (Kompas, 16 Mei 2019).
Kemerdekaan dan kebebasan internet yang sedang kita rayakan perlu dibayar mahal dengan virtual violence (kekerasan virtual). Sebab meski tanpa tatap muka, nyatanya paparan kekerasan virtual itu meninggalkan rasa benci dan kemarahan sungguhan, nyata dalam hidup. Hal ini dapat dijawab oleh Pierre Bourdieu (1930-2002) melalui teori Kekerasan Simbolis. Dalam Extension Course Teori Kritis yang diadakan Majalah Basis dan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Dr. J. Haryatmoko, SJ menerangkan bahwa kekerasan simbolis adalah kekerasan yang korbannya menyetujui menjadi korban. Kekerasan simbolis menjadi pintu masuk kekerasan psikis dan fisik. Dalam ranah terorisme, kekerasan ini berupa stigma dan kebencian terhadap kelompok, negara, atau agama tertentu. Bentuknya melalui bahasa, simbol, dan representasi negatif yang dibangun terhadap kelompok lain.
Karena diawali dengan wacana, simbol, dan representasi, maka radikalisme harus dilawan melalui cara yang sama pula, yaitu membongkar wacana radikal dan intoleransi. Praktisnya adalah dengan memberikan tawaran gagasan-gagasan nasionalisme yang asik dan menarik untuk milenial yang merupakan pengguna paling aktif dunia maya. Memberikan tawaran aktivitas kebangsaan yang seru dan tak membosankan seperti yang salama ini digalakkan pemerintah melalui seminar-seminar. Misalnya, dengan lomba cipta lagu nasionalisme, film pendek, kompetisi olahraga, kegiatan alam, namun dilepas dari kekakuan pemerintah yang selama ini mendekati milenial dengan “bahasa” teramat serius. Sehingga meskipun dengan konten yang tetap mengedepankan nasionalisme, Pancasila, tolerasi, dan gotong royong, anak muda tetap dapat menikmati dengan bahasanya yang khas.***
Tinggalkan Balasan