Masa Depan Suram Ormas Keagamaan
Saya menyarankan agar semua orang kecewa tatkala salah satu ormas keagamaan tanpa berpikir panjang menerima jatah konsesi tambang. Respon (baik lisan atau tulisan) atas kenyataan tersebut merupakan sebuah keharusan. Sebab, realitas ini menunjukkan betapa buruknya masa depan ormas keagamaan. Memang benar bahwa ormas keagamaan tidak melulu membahas soal agama. Namun, tidak ada alasan juga untuk bergandeng sangat mesra dengan pemerintah.
Anda mungkin bertanya apa salahnya menerima pemberian yang sayang untuk kita tolak? Jawaban saya sederhana. Kesalahan terbesar ormas bukan hanya karena semata-mata mereka menerima jatah dari pemerintah. Dosa terbesar mereka adalah bagaimana cara dan intrik mereka untuk sampai di titik tersebut. Ingat, tidak ada yang gratis di dunia ini. Apa yang mereka peroleh hari ini merupakan hasil dari jerih payah sebelumnya.
Ormas dan Pilpres
Pada Pilpres di bulan Februari kemarin, misalnya, kita tahu posisi ormas keagamaan yang menerima tambang saat ini. Baik secara terang-terangan atau tidak, ormas tersebut satu barisan dengan kelompok yang menyuarakan ‘keberlanjutan’. Memang benar tidak semua anggota ormas begitu, tapi elit-elitnya dengan benderang berbuat demikian. Kalau Anda tidak percaya, tanya saja kepada Nadirsyah Hosen!
Aslinya tidak ada yang mengejutkan kalau mereka menerima konsesi tambang. Selama satu dekade, posisi mereka lebih condong kepada pemerintahan saat ini. Apalagi ketik Pilpres 2019 yang saat itu narasi utamanya adalah ‘Melawan Khilafah’. Proyeknya kemudian berlanjut dengan bentuknya yang mutakhir: moderasi beragama.
Di proyek moderasi ini, ormas dan negara terlihat sangat kental kolaborasinya. Satu sama lain saling menguatkan untuk mengampanyekan moderasi cum toleransi itu. Saya tidak hendak menunjukkan apa-apa, semata-mata hanya untuk memperlihatkan bagaimana relasi dua entitas tersebut. Kesimpulannya, mereka berdua sudah mesra dari lama. Ibarat muda-mudi masa kini, sudah melewati fase pendekatan—tidak tiba-tiba jadian.
Masa Depan Ormas Keagamaan
Sebagaimana saya kecewa, demikian pula tidak ragu untuk mengecap suram masa depan ormas keagamaan. Kalaupun tidak suram, seminimnya kehilangan daya dobrak kritisnya terhadap pemerintah. Mungkin Anda menganggap bahwa tugas utama ormas bukan untuk mengkritik pemerintah. Saya bisa membantah itu ketika melihat komposisi barisan koalisi dan oposisi di tubuh pemerintah saat ini.
Saya ingin bertanya lebih gemuk mana barisan oposisi dan koalisi? Tanpa kita jawab semua orang sudah tahu bahwa koalisi lebih gemuk. Dengan realitas seperti ini seharusnya ormas bertindak sebagai oposisi. Bukan malah ikut tergabung bersama ke barisan koalisi. Anda mungkin akan membantah sekali lagi bahwa ormas tidak masuk koalisi.
Terakhir, saya bisa menjamin bahwa ketika ormas diberi kenyamanan pada saat yang sama sikap kritisnya bakal hilang. Ormas, lebih tepatnya para elitnya akan sangat sungkan mengkritik pihak yang telah memberi mereka makan. Demikian, bukan?
Comment (1)
[…] pers di tangan RUU Penyiaran. Merasa itu belum cukup, kemudian lahir konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Di waktu yang sama pula, Ijtima Ulama Nasional VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan […]