Keoknya Toleransi Beragama di Media Sosial
Tidak ada tempat paling demokratis yang melebihi media sosial. Bahkan preventif pemerintah melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITU) seakan tidak berdaya. Mengapa demikian? Di media sosial semua orang bisa berpendapat apa dan bagaimana. Ya, kendati seseorang tersebut bukan pakar sekalipun. Di titik ini kita mungkin teringat buku Tom Nichols, Matinya Kepakaran (The Death of Expertise).
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah orang yang tidak mempunyai kapasitas tertentu layak kita salahkan? Saya dengan lantang akan menjawab tidak. Ada persoalan lain yang mesti kita sadari secara berajamaah. Bahwa pada saat orang yang tidak pakar berbicara di media sosial, orang yang mempunyai kapasitas pakar justru banyak yang diam. Dengan kata lain, orang pakar tidak memanfaatkan teknologi dengan baik.
Kasus tersebut hampir seirama dengan apa yang menimpa gerakan toleransi beragama. Memang tidak sedikit media sosial yang menyuarakan gerakan toleransi beragama ini. Namun berapa perbandingannya dengan gerakan Islam kanan yang sering kita anggap konservatif dan eksklusif itu? Saya pikir tidak ada apa-apanya ketika berhadapan dengan akun-akun mereka.
Responsif dan Konsisten
Apa yang menarik dari akun-akun semacam itu adalah agresifitas mereka terhadap sebuah persoalan. Manakala terdapat topik nasional, maka akun-akun semacam itu dengan cekatan merespon. Tentunya dengan perspektif Islam yang mereka anut dan pahami. Pada titik ini, para pengusung toleransi memang benar-benar harus berguru pada mereka.
Hal lain adalah masyarakat kita yang memang kehilangan daya kritisnya. Sederhananya adalah, segala hal yang berselimut agama akan mudah masuk ke hati para pemeluknya. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri. Berbanding terbalik dengan gerakan-gerakan toleransi yang terkadang tidak membawa agama. Maksud saya adalah, tidak secara eksplisit mencantumkan dalil-dalil teologis.
Kesan yang pengguna media sosial tangkap adalah gerakan toleransi ini tidak Islami. Sebabnya, sampai kapan pun akan kalah dengan gerakan yang senantiasa membonceng term Islam di belakangnya. Lagi-lagi, kita harus memeras otak untuk menyiasati persoalan.
Menyulut Kontroversi
Kampanye toleransi di media sosial memang kerap kali memantik kontroversi. Pada saat yang sama, gerakan di media sosial gerakan Islam yang kita anggap konservatif cenderung tidak. Mereka lebih berfokus bagaimana meningkatkan keimanan dan memperbaiki tindak tanduk keseharian. Barangkali ini pula alasan mengapa pengguna media sosial dengan mudah menerima.
Kita coba bandingkan dengan kampanye toleransi yang kerap berani menyentuh jantung kontroversi ini. Benar bahwa dampaknya adalah akun menjadi ramai oleh pengunjung. Namun, kuantitas pengunjung tersebut tidak sebanding dengan peneriman mereka. Artinya, mereka ramai hanya untuk menolak, bukan menerima. Sekali lagi, menolak bukan menerima!
Akhirnya, kalahnya toleransi beragama di media sosial ini tidak bisa terpungkiri apabila gerakannya senantiasa demikian. Perlu cara-cara yang lebih halus untuk dapat memikat hati para pengguna. Rasanya memang sudah seharusnya kita mengamati akun-akun sebalah lebih banyak dan mengikuti pola-pola mereka. Tidak ada salahnya ‘kan?
Comment (1)
[…] konteks kekerasan beragama, misalnya, para pemuda berada di posisi yang tidak mudah. Pertama, kita berharap bahwa […]