free page hit counter

Perkara Hak Asasi Manusia dalam Tasawuf

Perkara Hak Asasi Manusia dalam Tasawuf

Hak Asasi Manusia

Selain mendapatkan materi ilmu Kalam, dalam seminggu sekali saya juga masuk kelas Tasawuf. Ini sesuatu yang baru untuk setidaknya bekal perjalanan saya selanjutnya.

Kata ‘tasawuf’ sudah lazim saya dengar jauh hari sebelum masa ini. Sayangnya, saya bukan seorang yang rajin atau boleh dibilang kurang perhatian pada hal-hal tertentu, sehingga kata ‘tasawuf’ hanya berhenti sebatas kata tanpa pernah tahu makna, tafsir atau artinya. Saya baru benar-benar ingin mendalaminya ketika semester ini mau tidak mau saya menghadapinya minimal satu setengah jam setiap pekannya.

Minggu di awal Desember udara sedikit lebih panas. Cuaca agak galau, sebentar panas sebentar mendung tapi tak ada hujan. Saya masuk kelas mulai dari pukul 09.30 WIB. Selalu jadi orang barisan pertama yang tiba di kelas. Tidak jarang teman-teman sekelas baru akan datang satu jam atau dua jam kemudian alias di jam kedua atau ketiga.

Kelas Tasawuf berada di urutan ke empat atau lima, sering gantian. Tasawuf secara sekilas bisa saya artikan hampir mirip pelajaran PKN. Isinya membahas etika/ akhlak serta hubungan manusia dengan manusia lainnya. Beda dengan Kalam yang lebih condong membahas hubungan manusia dengan Tuhan.

Arti Tasawuf di KBBI adalah ajaran (cara dan sebagainya) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.
Kok ada bawa-bawa Tuhan? Katanya membahasa akhlak manusia?
Iya benar. Memang tidak semudah itu menafsirkan sebuah ilmu. Intinya, Tasawuf itu mengajarkan tentang akhlak, memberi pengetahuan tentang etika, moral, pelajaran baik untuk dijalankan dan berusaha menghindari perbuatan buruk, yang nantinya ujung dari semuanya adalah mengharap ridho Sang Pencipta.

Dalam Tasawuf juga membahas kaitan antara akhlak dengan berbagai ilmu yang lain, misalnya hukum, psikologi, ekonomi, sosial, politik, pendidikan dsb. Semakin dijabarkan semakin panjang dan semakin mumet. Setidaknya itu yang saya rasakan saat mendadak harus membedakan antara etika, moral, norma dan akhlak.

Belajar memang tidak mudah, yang mudah itu bilang sayang padahal benci setengah mampus. #eh
Yang seperti ini juga bagian dari tasawuf. Munafikun, munafik: di depan bilang apa di belakang ngaku apa.

Mari kita tinggalkan urusan rumah dan tangga antara Muna dan Fikun, fokus pada hak-hak manusia yang sempat saya dengar di dalam kelas.

Hak merupakan suatu wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan, atau menuntut sesuatu. Menurut Poedjawijatna hak merupakan sejenis kepunyaan, semacam milik, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil pikiran itu.
Di dalam Al-Qur’an dijumpai kata al-haqq. Kata memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut dalam bahasa Al-Qur’an disebut memiliki dan orang yang menguasainya disebut malik.
Pengertian al-haqq dalam Al-Qur’an sebagaimana dikemukakan al-Raghib al-Asfahani adalah al-muthabaqah wa al-muwafaqah artinya kecocokan, kesesuaian dan kesepakatan, seperti cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.

Macam-macam hak yang dimiliki manusia: hak hidup, hak kemerdekaan, hak memiliki.

Itu sedikit penjelasan yang ada dalam makalah yang dibuat teman sekelas saya. Saya sebagai pendengar mendadak langsung bertanya-tanya dong: kok di makalah ini gak disebutkan adanya hak asasi manusia?
Lantas saya melanjutkan: jangan bilang karena hak asasi manusia dibahas di kelas lain (PKN).

Sekelas tertawa mendengar ocehan saya, semakin ketawa saat penyampai makalah menjawab dengan kalimat kurang lebih demikian: ya kami tidak memasukkan HAM di sini karena HAM masuk di bahasan kelas PKN.

Jujur saya tidak terima dengan jawaban yang demikian. Makalah itu jelas-jelas membahas tentang ‘hak, kewajiban dan keadilan’ namun tidak memasukkan unsur HAM. Bahkan satu kata pun tidak ada dalam makalah sejumlah 16 halaman tersebut.

Sebelum saya melayangkan protes, mendadak dosen pengampu mata pelajaran Tasawuf menengahi. Beliau juga mempertanyakan tentang hak asasi manusia yang tidak dicantumkan dalam makalah.
Lantas dengan kerelaan hati beliaulah yang membahasnya.
Saya lega karena bisa mendapat jawaban. Saya ini memang banyak cueknya, namun juga kritis untuk sesuatu yang terjangkau oleh otak saya yang tak seberapa ini.

Hak Asasi Manusia atau biasa disingkat HAM menurut UU RI nomor 39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah dari Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara dan hukum.
Sampai di sini kita paham bahwa HAM mempunyai kedudukan tinggi. Belum lama kemarin kita memperingati hari HAM, berharap sih itu bukan cuma ajang selebrasi sesaat, bukan hanya hari itu saja kita ingat tentang hak-hak orang lain. Saya berharap hari HAM itu tidak berhenti hanya sampai orasi di jalan, pembagian poster atau stiker dan ucapan ini itu tapi lebih kepada kesadaran untuk tahu diri, menempatkan diri dan sekaligus adil, mengerti hak dan kewajiban setiap diri.

Max Boli Sabon membagi konsep generasi Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia menjadi 3, yaitu:

  1. Generasi Pertama: Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol)
    Hak Sipol ini dituangkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (“UU Sipol”)
  2. Generasi Kedua: Hak Ekonomis, Sosial dan Kebudayaan (Hak Ekosob)
    Hak Ekosob ini dituangkan dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU Ekosob”).
  3. Generasi ketiga mencakup enam macam hak, meliputi:
    hak atas penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan;

hak atas pembangunan ekonomi dan sosial;

hak untuk berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), serta informasi-informasi dan kemajuan lain;

hak atas perdamaian;

hak atas lingkungan yang sehat;

hak atas bantuan kemanusiaan.

Hak Asasi Manusia kalau disingkat cukup tiga huruf, ‘HAM’. Tapi untuk menjabarkan, mengartikan, memahami dan meresapinya tidak akan cukup walau tiga tahun, bisa jadi seumur hidup harus terus dikaji. Maka hal paling mendasar adalah untuk sadar diri bahwa tiap-tiap manusia pastilah dilengkapi dengan HAM. Maka wajib bagi orang lain untuk menghormati agar selalu tercipta kerukunan.

Kadang saya membayangkan jika masing-masing orang sudah menyadari akan pentingnya menghormati sekaligus menjujung hak dan kewajiban, niscaya kedamaian akan mudah beranak pinak. Namun sebagian yang lain bilang: this is impossible. Karena dunia tercipta dengan dua sisi, ada baik dan buruk. Jika hanya baik-baik saja maka akan terjadi ketidak seimbangan.

Karena saya sadar teman sekelas punya hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, ya maka saya wajib menghormati pendapat dan keputusannya.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *