Polemik Jilbabisasi Problem Intoleransi
Contents
Jilbabisasi untuk non muslim dianggap bagian dari intoleransi.
Dewasa ini intoleransi semakin menjamur di Indonesia. Salah satu yang cukup menyita perhatian adanya intoleran di lembaga pendidikan formal melalui “formalisasi” penggunaan jilbab bagi para siswa di SMKN 2 Padang. Sebelumnya kejadian serupa pernah terjadi di Bali tahun 2014. Ketika itu, terjadi kasus pelarangan jilbab di SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Sedangkan pada tahun 2019, ada surat edaran di SDN 3 Karang Tengah, Gunungkidul Yogyakarta yang mewajibkan siswanya untuk mengunakan seragam muslim.
Baca juga Potret Toleransi Antara Ada dan Tiada
Di tengah geliat modernitas saat ini, intoleransi dalam pemaksaan berjilbab (jilbabisasi) menjadi momok menakutkan di tengah gelombang besar informasi. Intoleransi bukan hanya terjadi di ruang publik, namun juga sudah merambah ke dunia maya. Jilbabisme Jilbabisasi menjadi perbincangan publik antara kearifan lokal dan kewajiban agama.
Jilbab di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, jilbab sendiri merupakan suatu simbol identitas muslim. Pada praktiknya agama tidak terlepas dari suatu simbol, karena dalam aktualisasinya, realitas simbolik memenuhi aspek agama. Jilbab sendiri merupakan realitas budaya simbolik Islam di Indonesia. Jadi proses penghimbauan pemakaian jilbab terhadap siswa di sekolah negeri merupakan pelanggaran hukum, apalagi disertai pemaksaan. Maka hal ini merupakan bentuk dari kekerasan agama.
Kita saat ini menghadapi bahaya akut intoleransi. Intoleransi dapat muncul dalam berbagai ranah kehidupan sosial, khususnya yang paling banyak adalah dalam ajang kehidupan beragama dan berkeyakinan, yang aktualitasnya dapat pula terjadi pada hal-hal di luarnya.
Selain itu seperti banyak kasus yang terjadi, mereka yang tidak toleran terhadap beberapa aspek kehidupan sosial di luar aktivitas keagamaan juga seringkali terjadi. Seperti bentuk-bentuk ekspresi seni tertentu, diskusi dan penerbitan buku kajian pemikiran kiri. Atau advokasi hak-hak perempuan atau kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Ajaran Agama Tentang Toleransi
Dalam realitas masyarakat dengan obsesi integrasi segala urusan ke dalam jubbah agama, intervensi agama ke dalam seluruh urusan dalam kehidupan sosial itu cukup mangakar kuat, seperti terjadi pada beberapa kalangan di Indonesia belakangan ini. Agama dan kelompok agama pasti akan menjadi salah satu titik pusat perhatian setiap diskusi politik. Menyoal hal ini, realitas masyarakat cukup sukar dalam mengintegrasikan komitmen keterikatan antar agama. Misalnya, soal romantisme cinta, cinta beda agama masih banyak mengalami intoleransi di ruang publik Indonesia.
Untuk itu, penting membumikan toleransi di tengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Karena toleransi dapat mewujudkan harmonisasi sosial di masyarakat. Dengan toleransi sekat primordial di masyarakat dapat direduksi. Toleransi merupakan modal ideal yang mampu memupuk kesadaran beragama yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.
Menurut Andrew Jason Cohen (2004), toleransi merujuk pada kesanggupan seseorang atau sesuatu untuk menerima beban dari adanya perbedaan. Toleransi seseorang atau sekelompok orang menunjukkan ambang batas penerimaannya atas perbedaan dari orang atau kelompok lain. Batasan umum toleransi adalah bahwa seorang individu dapat dikatakan bersikap toleran pada sebuah tindakan ketika ia tidak menyukainya atau menurutnya tindakan tersebut salah, punya kemampuan untuk mencegahnya kalau dia mau, tetapi dia tidak melakukannya.
Sedangkan bagi Ahmad Wahib, toleransi adalah konsekuensi dari kenyataan hidup yang beragam, heterogen dan penuh warna. Menghormati manusia itu dalam keseluruhan adanya, manusia harus dipandang dalam kemanusiaannya yang utuh. Toleransi baginya hanya dapat dicapai melalui pelepasan baju-baju identitas parsial yang menghalangi seseorang untuk memandang manusia secara apa adanya, memandang manusia sesuai fitrahnya, atau memandang manusia dari sisi kemanusiaanya. Bukan latar belakang etnik, ras, agama, golongan, aliran dan seterusnya (Pergolakan Pemikiran Islam: 2013, 71).
Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter di sekolah harusnya dengan benih toleransi bukan intoleransi. Selain itu, para pendidik harus ikut pelatihan penguatan wawasan kebangsaan dan nasionalisme melalui berbagai pelatihan. Karena pada dasarnya guru pun juga berpotensi menaman benih intoleransi di ranah sekolah. Wawasan kebangsaan bagi para pendidik bisa menjadi dasar mencegah munculnya polemik jilbabisasi.
Pada dasarnya, intoleransi merupakan penyakit sosial yang harus musnah dari realitas masyarakat. Penguatan wawasan kebangsaan adalah salah satu cara melawan dan menghancurkan benih intoleransi yang mengakar di sekolah formal kita dewasa. Konsekuensi logisnya, siswa akan menjadi menerima perbedaan dan mencintai kemanusiaan.
Toleransi bukanlah sebuah produk pemikiran, melainkan tindakan penerimaan. Penerimaan untuk hidup bersama, dan menghargai realitas plural yang menjadi fitrah kehidupan manusia.
Pada akhirnya, bukanlah segudang teori pemikiran tentang toleransi yang dapat menjadikan pelajar mempunyai rasa tepa selira. Namun keberanian makhluk manusia untuk telanjang menghadapi perbedaan yang ada, seperti di hadapan yang dicintainya: penuh kesadaran, penuh kejujuran, ketulusan, dan penerimaan.
Tinggalkan Balasan