free page hit counter

Islam dan Feminisme di Indonesia: Sebuah Refleksi

Islam dan Feminisme di Indonesia: Sebuah Refleksi

Saya membuka kembali pidato-pidato guru besar perempuan UIN Sunan Kalijaga. Ada sekitar lima pidato yang saya baca selama beberapa hari terakhir. Pidato tersebut mereka sampaikan pada pengkuhan sebagai guru besar.

Pidati-pidato tersebut bertitimangsa mulai dari 2018 hingga 2024. Tidak usah berpikir mengapa sangat sedikit, hanya 5 pidato selama 6 tahun terakhir. Ingat bahwa pidato tersebut bukan keseluruhan dari guru besar perempuan di UIN Sunan Kalijaga. Selain lima orang tersebut ada banyak guru besar di kampus itu.

Saya hanya membaca 5 pidato musabab itu yang bisa saya akses. Di sisi lain, pidato-pidato tersebut secara spesifik membahasa isu perempuan. Mulai dari kajian terhadap hadis misoginis, pembaharuan hukum yang berkeadilan gender, hingga arah gerakan feminis muslim di Indonesia.

Apa yang menggugah bagi saya tidak lain adalah keberanian mereka. Mengingat bahwa orang yang memperjuangkan hak-hak perempuan kerap mendapat stigma negatif. Perempuan pembangkang hingga pro LGBT adalah pandangan yang kerap mengarah pada mereka.

Islam dan Feminisme

Dua lema ini ketika bersanding mengundang banyak perdebatan. Namanya perdebatan tentu ada yang pro dan kontra. Pihak pro menganggap bahwa Islam dan feminisme selaras sebab preseden dari Nabi Muhamamd banyak yang menunjukkan demikian. Kalangan kontra tentu mempunyai argumentasi tersendiri—yang menurut saya pasaran. Bahwa feminisime adalah ide Barat yang bertentangan dengan Islam.

Akibatnya, tidak jarang orang yang lekat dengan wacana kesetaraan mendapat label ‘liberal’. Saya pikir hal tersebut adalah konsekuensi logis, kendati simplistis. Padahal, hemat saya, meski sesuatu tidak lahir dari rahim tradisi Islam sendiri bukan berarti bertentangan. Apalagi, semangat kesetaraan ini di banyak hal mendapat legitimasi teologis. Saya tidak akan membincang hal tersebut di sini.

Ada tiga pemetaan sikap muslim Indonesia, utamanya para klerus muslim. Mulai dari konservatif, moderat hingga progresif. Kalangan konservatif menolak ide-ide kesetaraan yang menurut mereka ruhnya berasal dari Barat. Barisan progresif mencoba untuk tidak hanya menemukan keselasaran Islam dan feminisme melainkan juga membongkar tradisi Islam yang tidak ramah gender. Sementara itu, kalangan moderat mencoba menengahi dua sisi tersebut. Saya tidak paham betul bentuk penengahan kalangan moderat ini.

Sebuah Refleksi Personal

Ini adalah kesan yang sangat personal dan barangkali tidak teoretis. Saya akan memulai dari penerimaan terhadap ide-ide kesetaraan. Hari ini saya rasa ide kesetaraan relatif lebih diterima kendati tidak sepenuhnya. Tentu, berbeda dengan awal-awal kemunculan diskursus tersebut. Ini adalah angin segar tersendiri, menurut saya. Seminimnya, diskursus tersebut bukan lagi suara satu dua orang, melainkan lebih.

Refleksi kedua saya adalah tantangan terhadap ide-ide tersebut yang datang tidak sedikit dari kalangan agamawan. Orang-orang yang masih menggunakan tesmak Islam tradisional untuk melihat segala persoalan. Akibatnya, apa yang tidak ada dalam khazanah Islam tradisional mereka anggap sebagai tidak selaras dengan Islam. Kendati demikian, tidak sedikit para agamawan yang membuka mata untuk persoalan ini.

Terakhir, saya melihat adanya angin segara di kampus Islam negeri terkait topik ini. Rektor, dekan, guru besar perempuan merupakan angin segar untuk mengarusutamakan ide-ide kesetaraan. Meskipun, di kalangan kampus Islam sendiri tidak sedikit yang menolak. Saya berpikir itu adalah sebuah jalan bagaimana sebuah ide dapat tahan banting melawan cobaan. Pelaut handal tidak lahir di lautan yang tenang ‘kan?

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *