Merawat Islam Penuh Kasih Sayang di Tengah Arus Modernisasi
Contents
Pada tulisan ini saya hanya ingin bercerita mengenai makna ‘Merawat Islam Penuh Kasih Sayang’. Sebenarnya judul ini saya sadur dari subbab sebuah buku yang menceritakan Dakwah Nusantara utamanya pada masa modern seperti saat ini.
Berbicara tentang pengalaman tersebut saya mengaku tidak begitu paham mengenai latar belakang sejarahnya. Walaupun setidaknya setelah membaca buku yang ditulis oleh Febrian Putra itu saya sedikit tahu kurang lebih mengenai ikatan persaudaraan yang terjalin di antara umat Islam di Indonesia.
Menarik bagi saya setelah melihat perjalanan sejarah dakwah Islam yang begitu panjang di Nusantara. Istilah Nusantara dipakai dalam konteks ini karena menurut latar sejarahnya Islam sudah terlebih dahulu masuk sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamirkan ketika itu (Putra, 2020).
Gerakan Islam Sejak Kolonialisme
Perjalanan panjang inilah yang membawa gerakan Islam telah banyak ikut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan bumi Nusantara dari kolonialisme. Lebih spesifiknya Islam bergerak melalui pondok pengajaran atau sekarang lebih dikenal sebagai pesantren.
Dahulu pondok pesantren tidak hanya digunakan sebagai ‘kawah candradimuka’ bagi para pelajar, namun sekaligus berfungsi sebagai pusat perjuangan. Pesantren juga dikenal sebagai ‘benteng umat’, dalam arti di tempat inilah masyarakat dan manusia terbentuk (Putra, 2020).
Menuntut ilmu di pondok pesantren juga melatih kemandirian bagi para pelajar. Mereka sudah berkomitmen untuk secara tekun berproses menjadi manusia yang unggul baik dari segi moral maupun intelektual.
Belajar dari Pondok Pesantren
Pengajaran di pondok pesantren pun tidak pernah memandang kasta atau status sosial seseorang. Semua pelajar diperlakukan secara adil tanpa membeda-bedakan latar belakang budaya dan sebagainya. Prinsip inilah yang sangat penting untuk dipelajari terutama untuk menghadapi modernitas seperti sekarang.
Dalam buku bacaan tersebut juga ada lima nilai yang dibahas sebagai bahan diskusi diantaranya yaitu agama (ad-din), keturunan (an-nasab), kekerabatan (al-mushaharah), kasih sayang (al-mawaddah), kebajikan (al-birru). Dari kelima nilai itu dijelaskan bahwa dasarnya adalah rasa kebersamaan sebagai makhluk hidup. Dengan kata lain agama terutama seharusnya melahirkan rasa kesamaan nasib. Berawal dari konsep inilah maka narasi yang dibawakan oleh agama manapun seharusnya menyatukan bukan memecah belah.
Memahami Islam Penuh Kasih Sayang
Nilai kasih sayang juga termasuk dalam prioritas yang selalu ada dalam setiap agama. Apabila ada agama yang tidak memiliki nilai kasih sayang di dalamnya maka dapat dipertanyakan kembali esensi ajaran tersebut. Nilai ini dapat dikatakan cukup universal sehingga sesungguhnya tidak sulit untuk dipahami ataupun diterapkan dalam kehidupan. Hanya saja terkadang egoisme seringkali menyebabkan justru nilai kasih sayang ini dilupakan dalam penerapan agama. Sehingga banyak perbuatan tercela yang dilakukan atas nama agama.
Menyangkut nilai kasih sayang sebenarnya tidaklah sulit untuk diimplementasikan apalagi dengan eksistensi negara. Dalam sistem masyarakat yang kompleks ini secara sah ikatan sosial diperkuat dengan adanya kesamaan rasa memiliki tanah air. Meskipun manusia tidak pernah dapat memilih tempat dirinya akan dilahirkan, namun hal ini seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Sebab kemudian manusia tetap memiliki ingatan atau kenangan terhadap asal kelahirannya yang menciptakan makna di perjalanan kehidupan.
Secara sederhana sesungguhnya kehadiran konsep sosial seperti negara inilah yang memudahkan manusia untuk saling terhubung. Maka dari itu perasaan cinta terhadap tanah air juga penting sebagai landasan kuat ikatan sosial diantara masyarakat. Bahkan apabila melihat konsep sosial yang lebih luas agama telah hadir dengan gambaran universal.
Nilai Korelasi di Tengah Arus Modernisasi
Dalam Islam ada istilah Rahmatan Lil’Alamin yang mana konsep ini melahirkan rasa kebersamaan hidup di semesta yang luas (Saby, 2015). Contoh konsep seperti inilah yang banyak ditemukan dalam setiap agama. Berawal dari konsep inilah juga sebenarnya banyak sekali nilai-nilai yang dapat kita pelajari untuk lebih memanusiakan manusia sebagai salah satu makhluk hidup yang ada di alam semesta ini.
Zaman Modern apalagi dapat mempermudah manusia untuk mengakses berbagai jenis informasi. Hadirnya internet dan sosial media membuat seakan manusia dapat mengakses berbagai sumber pengetahuan. Dalam hal ini baik pengetahuan agama maupun moral. Jadi menurut saya justru cukup aneh apabila manusia di zaman modernisasi teknologi ini masih belum dapat menemukan alasan untuk kemanusiaan. Terlebih tentang menjaga hubungan baik dengan eksistensi kehidupan lain.
BACA JUGA: Meterai, Benarkah Sakti Menyelesaikan Perkara?
Tidak peduli makna apapun yang coba kita temukan dalam kehidupan pribadi setidaknya tidak mencederai nilai korelasi. Saya disini tidak hanya berbicara soal manusia namun juga hal-hal lain yang mungkin belum kita sadari secara utuh.
Referensi
Saby, Yusny. 2015. Rahmatan Lil’Alamin Dalam Pemeliharaan Sumber Daya Alam Hayati. Prosiding Seminar Nasional Biotik. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Banda Aceh.
Putra, Febrian. 2020. Dakwah Nusantara Tuan Guru Bajang Islam Wasathiyah. Inti Grafika Sukses Mulia. Surabaya.
Tinggalkan Balasan