free page hit counter

Filosofi Merantau Suku Minangkabau, “Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang.”

Filosofi Merantau Suku Minangkabau, “Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang.”

Tradisi merantau adalah suatu hal yang lazim bagi masyarakat Minang atau Minangkabau di Sumatera Barat. Tradisi migrasi yang terdapat di suku Minang terkait dengan sistem matrilineal. Sistem kekerabatan Minangkabau didasarkan pada garis keturunan ibu.

Salah satu pepatah Minangkabau yang sudah akrab di telinga kita ialah, “Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang.” Pepatah tersebut, hakikatnya mengajak supaya dapat menempatkan diri dengan lingkungan sekitar. Artinya, dimana pun kita tinggal, seyogyanya dapat menghormati berbagai macam adat istiadat serta kebudayaan masyarakat setempat (Afaz, 2020).

Menurut catatan sejarah, menunjukkan bahwa tradisi merantau di Minangkabau berkembang sejak abad ke-7 Masehi, dan tradisi ini dimulai pada abad ke-14, ketika orang Minangkabau merantau ke Negeri Sembilan secara besar-besaran untuk menyeberangi Semenanjung Malaya. Tradisi mendaki gunung telah dibudayakan sejak zaman dahulu, dan budaya ini masih dibudayakan hingga saat ini (Putri, 2022).

BACA JUGA: Gerakan Perdamaian di Hari Santri Nasional

Dampak Sistem Matrilineal Terhadap Budaya Merantau di Minangkabau

Berikut ini kaitan antara sistem matrilineal dengan budaya merantau di Minangkabau (Daniswari, 2022).

  1. Sistem matrilineal

Sistem Kekerabatan (hubungan pertalian darah) merupakan aspek budaya yang dapat mempengaruhi adat dan kebiasaan suatu masyarakat. Salah satu adat Minangkabau adalah merantau, ini berarti migrasi.

Laki-laki Minangkabau didorong untuk bermigrasi karena mereka tidak mewarisi harta benda. Dalam sistem matrilineal, perempuan menempati posisi khusus dalam marga, salah satunya adalah penguasaan harta warisan. Laki-laki Minangkabau dapat bekerja dalam pekerjaan warisan, tetapi mereka tidak dapat mewariskan harta kepada anak laki-laki mereka karena mereka berasal dari suku lain (karena sistem matrilineal). Bagaimanapun, anak-anak termasuk dalam suku yang sama dengan ibu mereka. Bagi laki-laki Minangkabau, sistem matrilineal adalah kekuatan pendorong untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.

2. Budaya merantau

Ialah bentuk bermigrasi untuk mencari kehidupan yang layak di tempat lain. Motif migrasi saat ini bermacam-macam, tetapi mereka memulai bisnis, mencari pendidikan yang lebih baik, dan bekerja di sektor formal dan informal. Bagi laki-laki Minangkabau, ini merupakan gerbang yang harus mereka lalui untuk menjadi pria tangguh, dan itu dilakukan saat mereka masih muda. Rata-rata orang Minangkabau bermigrasi pada usia remaja.

Saat hijrah, orang Minangkabau tidak membawa modal berupa uang, hanya semangat dan ketekunan. Bagi orang Minangkabau, mendaki berarti memerangi kemiskinan. Mereka menyadari bahwa menjadi pengangguran adalah hal yang memalukan, terutama bagi tetangga, ibu dan saudara perempuan.

Menurut dinas kebudayaan provinsi Sumatera Barat, kepala bidang sejarah adat dan nilai-nilai tradisi, yakni Drs.Januarisdi, M.LIS mengatakan bahwasanya merantau dan menuntut ilmu di negeri orang merupakan ciri khas orang Minangkabau sejak dahulunya. Sesuai dengan pepatah adat yang berbunyi, “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun,” artinya jika di kampung belum dapat berbuat banyak untuk banyak orang, maka sebaiknya merantaulah dahulu,”(Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat 2017).

Suku ataupun masyarakat Minang sejatinya memang lebih suka merantau. Dimana pun mereka berada, maka nasihat lama itu pasti akan menjadi panduan hidup. Ketika pepatah tersebut diterapkan, maka insya Allah, dimanapun mereka berada, pasti akan merasakan ketentraman dalam kehidupannya.

Sebenarnya, bukan hanya suku minangkabau saja yang memiliki budaya merantau ini. Namun, setiap daerah maupun suku juga, sudah tentu memiliki adat dan istiadat merantau. Sebagai perantau, sudah semestinya kita menghormati adat dan budaya masyarakat di mana saja kita berpijak. Jika hal itu tidak dilaksanakan, maka sudah barangpasti akan menjadi suatu hal yang celaka.

Merantau, memanglah bukanlah hal asing yang terdengar di telinga kita. Budaya merantau telah ada sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Ya, merantau intinya berpindah tempat dari suatu daerah ke daerah lainnnya yang bukan daerah asalnya sendiri. Menurut Naim (2013), merantau adalah meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama, dengan tujuan tertentu, menuntut ilmu dan mencari pengalaman, namun suatu saat akan kembali pulang.

Pepatah Minangkabau yang telah diterangkan diatas memiliki makna bahwa, seseorang seharusnya dapat  menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan masyarakat dan tempat di mana ia berada. Dengan menghargai adat serta budaya setempat, tanpa harus kehilangan jati dirinya (Wikiquote, 2020).

Nilai-nilai Positif Merantau

Di bawah ini merupakan nilai-nilai positif yang dapat diambil dari tradisi merantau (Putri, 2022).

  1. Belajar hidup mandiri

Migrasi adalah keputusan yang diambil oleh seseorang yang ingin keluar dari ‘zona aman’ dan hidup dalam suasana yang berbeda dari kampung halamannya. Oleh karena itu, siapapun yang memutuskan untuk merantau harus siap dengan segala resiko yang ada, mempersiapkan segala persiapannya sendiri, dan mempertimbangkannya dengan matang.

  1. Belajar menghargai keragaman budaya lain

Merantau adalah tradisi orang meninggalkan kampung halamannya untuk tujuan lain. Tentunya ketika sampai di tempat tujuan, tetap harus mempelajari hal-hal baru yang berbeda dengan saat ketika berada di daerah asal. Dalam proses mempelajari hal-hal baru tersebut, seharusnya dapat memahami perbedaan yang menimbulkan sikap toleransi, perdamaian, dan tidak hanya berpegang teguh terhadap tempat asalnya.

  1. Membuka Peluang Peningkatan Standar Ekonomi

Dalam tradisi nomaden, tentu ada faktor yang memotivasi perantau untuk meninggalkan tanah airnya. Salah satu pendorong yang paling penting adalah faktor ekonomi ketika seseorang mengalami kesulitan ekonomi di rumah, dan harapan dengan tinggal di luar negeri akan memungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Minang sendiri menganut prinsip “jangan pulang sebelum punya sesuatu.” Itulah sebabnya banyak orang Minangkabau di luar negeri yang membangun usaha dari nol dengan modal keuletan dan ketekunan, meraih hasil dalam usaha yang mengubah perekonomian, dan membawa pulang hasilnya.

  1. Dapat melihat perkembangan daerah lain dan menerapkannya di tanah airnya sendiri

Pengembara yang baik adalah orang yang dapat mengambil hal-hal positif dari wilayah luar negeri dan menerapkannya ke tanah airnya, membangun kembali koneksi. Pengembara bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan dari mana mereka berasal, karena wajar bagi seseorang untuk pergi merantau.

 

Referensi

Afaz, Yulfia. 2020. “Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang (194).” gurusiana.id. https://www.gurusiana.id/read/yulfiaafazspd/article/dima-langik-dipijak-disinan-langik-dijunjuang-194-1480032#:~:text=Salah satu pepatah minang yang,adat dan budaya masyarakat setempat.

Daniswari, Dini. 2022. “Mengapa Orang Minang Suka Merantau?” Kompas.com. https://regional.kompas.com/read/2022/05/06/220933878/mengapa-orang-minang-suka-merantau?page=all.

Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat. 2017. “Peningkatan Motivasi Generasi Muda Minang Di Perantauan.” Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. https://disbud.sumbarprov.go.id/details/news/13#:~:text=Merantau dan menuntut ilmu di,untuk orang banyak%2C sebaiknya merantau.

Putri, Auliya Divina. 2022. “Nilai – Nilai Positif Merantau.” Antaranews.com. https://sumbar.antaranews.com/berita/479645/nilai–nilai-positif-merantau.

Wikiquote. 2020. “Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang.” Wikiquote. https://id.wikiquote.org/wiki/Dima_bumi_dipijak,_di_sinan_langik_dijunjuang/.

Editor: Bennartho Denys

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *