Irrelevansi Jihad dalam Bingkai Keindonesiaan
Kendati tidak senyaring beberapa tahun lalu, namun suara sumbang terkait jihad masih terdengar samar-samar. Gerakan-gerakan semacam itu memang akan senantiasa ada dan terus terpelihara. Hanya saja intensitasnya kemungkinan tidak lagi kencang. Kendati demikian, diskursus terkait jihad merupakan satu tema menarik. Musabab, sebuah pembunuhan agar dianggap legal dalam agama, maka dinamai jihad. Pada titik tersebut sejatinya terjadi kerentanan eksploitasi jihad atas kepentingan-kepentingan tertentu. Artinya, term jihad menjadi rawan disalahgunakan.
Sasarannya pun menjadi tidak jelas. Apakah orang yang bersebarangan secara iman, ideologi, atau hanya politik semata. Takutnya hanya karena perbedaan politislah yang menyebabkan jihad dibawa masuk gelanggang. Hanya karena perbedaan pilihan politis semata-mata. Apalagi mengingat bersandar pada kerawanan ekspolitasi konsep jihad itu sendiri. Tentu, jihad dalam pemaknaannya yang politis itu tidak dapat diafirmasi.
Pertanyannya, apakah jihad beradasarkan landasan perbedaan iman dapat dibenarkan? Maksudnya berjihad agar orang-orang nonislam memeluk agama Islam. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua pendekatan. Pertama, secara historis persebaran Islam di Nusantara tidak dengan jalan kekerasan. Mengingat Islam datang belakangan setalah mengakarnya kepercayaan lain. Ditambah anatomi wilayah kita yang heterogen. Kedua, secara normatif hal tersebut dapat ditilik dari pandangan Al-Qur’an.
Di dalam kitab suci umat muslim tersebut, terdapat satu ayat yang menarik. Pada suruh Yunus:99 digambarkan bagaimana Tuhan sejatinya tidak menginginkan manusia seragam. Sehingga, ketika terjadi pemaksaan agar semuanya seragam (memeluk agama Islam dan satu iman) hal tersebut berbenturan dengan Al-Qur’an. Dengan kata lain, keberagaman adalah hal yang memang diafirmasi dalam kitab suci.
Menariknya, pada saat yang sama tidak sedikit ayat-ayat yang secara lahiriah menganjurkan jihad. Sehingga, seolah-olah terjadi keharusan berjihad di dalam Islam. Ini yang menjadi batu pijak beberapa golongan pembawa bendera jihad. Sayangnya, ada hal yang dilupakan dalam membahas persoalan tersebut. Yakni, apakah jihad dapat diberlakukan atau dipraktikkan di negara yang aman-aman saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting dikemukakan bagaimana pendapat ulama terkait jihad itu sendiri. Saya kutip ungkapan Hasyim Jamil terkait dengan jihad ini. Ia mengatakan bahwa tidak ada perbedaan di antara fukaha terkait kewajiban jihad ini. Hanya saja, hal tersebut dibatasi pada tiga keadaan yang mendesak. Bukan disebabkan perbedaan pilihan politik, apalagi berjihad tanpa sebab.
Keadaan yang pertama yakni ketika sekelompok musuh telah menyerang. Atau sekelompok musuh telah merangsek masuk ke sebuah daerah. Pada kondisi tersebut maka sebuah keharusan untuk menghalau mereka. Seterusnya, yaitu pada keadaan di mana sultan (penguasa) mengerahkan untuk berjihad. Namanya penguasa tentu tidak akan semena-mena mengerahkan untuk berjihad. Ada pertimbangan dan pembacaan logisnya. Atas dasar itu pula, maka semestinya bukan penguasalah yang justru menjadi sasaran tembak dalam jihad.
Terakhir, yakni kondisi ketika sudah berhadap-hadapan. Maka tidak diperbolehkan untuk mundur ketika sudah pada posisi yang konfrontatif tersebut. Dengan tiga batasan ini, rasa-rasanya sulit untuk diaplikasiakan dalam konteks keindonesiaan. Kita sedang dalam kondisi aman-aman saja, tidak ada musuh menyerang. Kalau pun ada persoalan dan tetek bengek kenegaraan, hal tersebut mesti bisa diatasi tanpa tumpah darah.
Ini semakin menegaskan kepada kita, betapa jihad merupakan suatu perintah dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak lain karena berkenaan dengan nyawa manusia, kendati dianggap sebagai musuh. Artinya, Islam sejatinya lebih condong terhadap pemeliharaan nyawa dan martabat manusia. Ketika masuk dalam kecamuk perang sekalipun, ada etika perang yang mengatur dan harus dipegang. Di luar Islam misalnya, ada hukum hukum humaniter Internasional yang mempunyai kerangkanya. Bagaimana sepantasnya sebuah perang itu dilakukan. Dengan memahami model jihad yang semacam itu, tidak dalam pemahaman yang kosong dari pendekatan sosiologis, maka akan sampai pada kesimpulan ketidakharusan jihad. Secara spesifik dalam konteks Indonesia hari ini.
Kalaupun nanti hendak mengaplikasikan jihad, maka harus dipenuhi dulu persyaratan-persyaratan tersebut. Sayangnya, hal ini sering dilupakan oleh kelompok yang mengkampanyekan jihad. Apalagi mengingat pembacaan mereka terhadap ayat yang kerap kalis dari pendekatan kondisi sosio-historis masyarakat pada turunnya Al-Qur’an. Satu-satunya pertanyaan yang mungkin bisa menjadi peringatan adalah ‘bagaimana mungkin pada keadaan damai hendak dibuat ricuh atas nama jihad di jalan Tuhan?’ Nyaris tidak masuk akal dan memang di luar kerangka berpikir manusia normal.(**)
Tinggalkan Balasan