Ragam Jalan Menuju Toleran
Contents
Saya ingin memulai tulisan ini dengan kisah perjalanan yang teramat personal. Kisaran kelas lima atau enam Sekolah Dasar, saya mempunyai cita-cita di luar kebiasaan anak sebaya. Jika teman-teman saya mempunyai hasrat menjadi guru, tantara, polisi di hari tua, saya tidak. Bukan tidak tertarik, melainkan ada hasrat yang lebih besar daripada itu.
Semua dimulai dari kebiasaan saya mendengar ceramah agama di telepon. Kemudian beralih mendengar debat antara seorang mualaf—yang saya ingat betul namanya—dengan seorang murtad. Sebagaimana debat pada umumnya, mereka saling mengoreksi agama lama masing-masing. Si mualaf mengkritik habis-habisan Kristen, sebagaimana juga dilakukan lelaki yang memutuskan keluar dari Islam.
Cita-cita Lugu
Melalui fragmen-fragmen tersebut, keinginan terbesar saya lahir: mematahkan iman Kristen ihwal ketuhanan Yesus. Sebuah obsesi yang di kemudian hari membuat saya malu sekaligus bersyukur. Malu karena tidak menyangka bahwa saya sudah mempunyai konsepsi negatif sejak dini. Di saat yang sama, saya bersyukur musabab hal tersebut bagian dari dinamika kehidupan. Saya tidak percaya diri untuk menyebut itu dinamika intelektual!
Pada saat hasrat tersebut membara, tidak pernah terbayangkan bahwa kelak saya akan berada di saf orang yang mengkampanyekan kebebasan beragama. Metamorfosis itu bermula menjelang kelas akhir di sekolah aliah. Secara tidak sengaja saya menonton perdebatan Ulil Abshar Abdallah (orang yang dicap liberal pada masanya) dengan forum kiai di salah satu daerah. Kentara bahwa majelis tersebut memang didesain untuk menyudutkan Ulil, yang saat itu masih kencang dengan Jaringan Islam Liberal-nya.
Tidak tahu mengapa, dari kejadian itu saya tertarik dengan gagasan Ulil. Hingga lebih jauh tertarik mengulik isu terkait dengan pluralisme agama. Empat tahun kemudian saya baru tahu itu merupakan klasifikasi yang oleh Alan Race, murid John Hick (tokoh kunci pluralism agama). Race membagi tiga tipologi orang beragama, mulai eksklusif, inklusif, hingga pluralis. Ketiganya tidak perlu saya elaborasi di sini.
Teori Kesempatan
Saya kemudian merancang sebuah teori dasar dari pengalaman tersebut. Kira-kira postulatnya berbunyi ‘setiap orang mempunyai kesempatan untuk toleran’. Saya kemudian menduga bahwa banyak orang yang tidak toleran hanya karena belum mempunyai kesempatan. Mereka belum mempunyai akses untuk bacaan yang beragam, tidak mempunyai akses berinteraksi dengan orang lintas iman.
Seandainya mereka bertemu dan duduk bersama dengan orang yang berbeda, kemungkinan konsepsi-konsepsi negatif di kepala mereka bisa terkikis. Pada titik ini saya percaya sekali pada teori kontak Gordon Allport. Sederhananya, teori Allport berbunyi “contact can reduce prejudice.“ Semakin orang melakukan kontak dan interaksi dengan orang yang berbeda, maka akan mengikis persepsi-persepsi negatif dalam kepala.
Saya pikir yang paling penting bukan hanya menyebarkan wacana toleransi dan kebebasan beragama. Lebih daripada itu, semestinya orang-orang yang mengaku toleran memberikan fasilitas terhadap mereka yang intoleran. Tatkala menghelat forum dengan tajuk besar toleransi, mestinya orang-orang yang intoleran terlihat, seminim-minimnya kita ajak.
Saya termasuk orang yang mengkampanyekan toleransi, tapi tidak jarang juga kritis. Apa yang kita harapkan dari forum dengan tajuk toleransi dan keragaman, tapi ternyata hanya berisi orang segolongan? Jangan-jangan toleransi kita juga masih suka pilah-pilih? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak butuh jawaban, melainkan kita refleksikan secara berjamaah.
Terlepas dari dua pertanyaan reflektif tersebut, saya tetap percaya bahwa kerberagama(a)n harus senantiasa kita lestarikan. Yang tersisa adalah bagaimana cara dan taktik paling efektif untuk melestarikan hal tersebut. Pada poin ini saya kira setiap elemen harus berkerjasama dan bersinergi. Tidak cukup hanya mengandalkan orang-orang yang terafiliasi dengan komunitas yang fokus pada itu kebebasan beragama dan toleransi.
Menciptakan Banyak Jalan
Sebagai penutup, saya sangat tertegun ketika mendengar ungkapan seorang mualim yang mengutip Pak Quraish Shihab. Mualim tersebut mengutip penafsiran pak Quraish terkait dengan ayat ke-7 surah Al-Fatihah, lebih tepatnya frasa shirat al-mustaqim.
Ia menyatakan bahwa tafsir frasa sirath al-mustaqim bukan hanya jalan yang lurus, melainkan juga lebar. Ini berarti bahwa jalan yang lurus tersebut tidak hanya bisa menampung satu sekte, melainkan lebih. Dengan ungkapan yang lebih lugas bahwa bisa saja kita berbeda, tapi masih di satu jalan yang lurus tersebut.
Sebagaimana saya sampaikan di awal bahwa setiap orang punya potensi untuk menjadi toleran. Saya bahkan berpikir bahwa pada dasarnya manusia ini toleran. Kendalanya cuma satu, mereka belum mempunyai akses seperti kita. Di sini, tugas bersama kita adalah menciptakan jalan itu sebanyak-banyaknya, selebar-lebarnya.
Tatkala kita sudah memberikan jalan yang bagus, selebihnya kembali kepada mereka mau lewat atau tidak. Kendati tidak melalui jalan kita, tidak menutup kemungkinan melalui jalan lain. Semoga.
Tinggalkan Balasan