Anak KIP-K Penuh Gaya, Salahkah?
Contents
Saya mendapat cerita seorang penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Sementara orang tuanya tidak paham bahwa anaknya mendapat bantuan dari pemerintah, sang anak juga memilih diam-diam saja. Akibatnya, uang bulanan tetap mengucur deras dari saku orang tua.
Sudah bosan rasanya saya mendengar cerita sejenis di kampus yang berbeda. Ditambah, belakangan juga mencuat warta beberapa penerima KIP-K di salah satu Universitas di Semarang. Banyak orang menganggap mereka tidak pantas menerima bantuan ini dengan beragam alasan. Di antaranya musabab mereka dipandang mampu—kasarnya, bukan orang miskin!
Di negara yang apa-apa serba tidak beres ini, hal tersebut seharusnya tidak membuat kita kaget. Apa yang harus dikagetkan di negara yang kalau ngurus administrasi masih harus bawa fotokopi KTP? Lagi pula, persoalan bantuan yang tidak tepat sasaran ini adalah lagu lama. Dan pihak yang paling bertanggungjawab atas hal tersebut ya pemerintah, kalau tidak pejabat kampus.
Penerima KIP Adalah Orang Pintar
Berbeda dengan lazimnya orang yang memandang bahwa penerima KIP-K harusnya mereka yang tidak mampu. Saya meyakini bahwa bantuan ini hanya sebagian saja terberikan kepada orang yang tidak mampu. Selebihnya, orang-orang pintar melihat suasana dan peluanglah yang menjadi penerimanya. Peluang untuk itu memang ada dan terbuka tanpa kita harus menjadi tidak mampu terlebih dahulu.
Di beberapa kampus yang saya ketahui, rasanya tidak ada proses verifikasi yang ketat terkait hal ini. Artinya, layak atau tidak seseorang menerima KIP-K tidak bisa terbukti secara faktual. Memang benar bahwa pada proses pendaftaran menyertakan berkas-berkas yang pihak kampus minta. Sayangnya, tidak susah untuk memanipulasi data-data tersebut. Apalagi cuma sekadar foto rumah.
Karena itu, saya tidak terima kalau ada yang bilang penerima KIP-K tidak secemerlang awardee beasiswa lain. Padahal, tidak sedikit penerima beasiswa ini notabene orang yang pintar dan luar biasa dalam membaca keadaan. Saat panitia seleksi lengah, di situlah para orang kaya dan pintar ini mendaftarkan di mereka.
Orang Mampu Daftar KIP-K
Sejak dari awal masuk kuliah, mahasiwa berhadapandengan Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang salah sasaran. Tanyakan saja berapa banyak mahasiswa baru yang mengisi data dengan sebenar-benarnya namun tetap saja mendapat tagihan UKT yang mencekik. Dengan realitas yang semacam itu, manipulasi data bukan sesuatu yang naif di negara kita.
Sepintas yang terpikir bahwa menjadi jujur di dalam persoalan ini benar-benar tidak menguntungkan. Bahasa lainnya, kita memang terpaksa untuk tidak jujur agar tidak menyusahkan diri sendiri. Kenyataanlah (kalau tidak sistem) yang memaksa kita untuk berbuat demikian. Sehingga, orang-orang yang kita pandang mampu itu juga turut larut dalam perasaan tidakmampu dan merasa tercekik. Tepat pada titik inilah, KIPK adalah solusinya.
Tidak Apa-apa Anak KIP-K Bergaya
Ada yang ganjil ketika banyak pihak berang kepada penerima bantuan ini yang melakoni gaya hidup glamor. Padahal, hal yang sama tidak terjadi—sependek pengamatan saya—pada penerima beasiswa lain. Kendati begitu, saya bisa memahami mengapa hal ini bisa terjadi. Alasan paling masuk akal tidak lain karena penerimanya senantiasa dianggap orang tidak berada. Namanya orang tidak punya, maka mereka sangat terlarang untuk hidup penuh gaya.
Padahal, sebagaimana saya sampaikan, penerima KIP bukan orang tidak mampu. Mereka adalah orang mampu dengan otak yang cemerlang dalam membaca peluang. Karenanya, tidak apa-apa anak KIP-K bergaya toh dari awal memang mereka mampu untuk hidup sedemikian mewah. Yang harus kita maki-maki di persoalan ini adalah para penyeleksi. Kenapa para penyeleksi bisa meloloskan mereka? Kalau bukan ‘tidak becus’ apalagi?!
Comment (1)
[…] pandangan saya ini sangat naif, kalau tidak bodoh. Bagaimana mungkin seorang sarjana (predikat cumlaude pula) menyetujui bahwa pendidikan hanya kebutuhan tersier. Apabila praduga ini muncul di benak […]