Berpuasa untuk Kemanusian
Hari yang kenyang, bukanlah hari terbesar
Hari terbaik ialah hari yang diwarnai kehausan
Memang ada tujuan dan makna dalam perjalanan kita
Tapi jalan yang menuju ke sanalah yang patut dinikmati
Tujuan terbaik adalah tidur sepanjang malam
Di mana api dinyalakan dan roti dibagi secara cepat
Di tempat-tempat yang hanya dikunjungi sekali
Tidur menjadi aman dan mimpi penuh dengan nyanyian
Mari, mari! Matahari sedang menyingsing
Petualangan kita tanpa batas
Puisi penyair Swedia, Karin Boye (1900-1941) ini indah sebagai doa pengiring berpuasa. Hari yang kenyang, bukanlah hari terbesar menggambarkan kekenyangan bukanlah sesuatu yang besar atau diagungkan. Hari terbaik ialah hari yang diwarnai kehausan seperti ingin mengatakan kemuliaan seorang yang sedang berpuasa.
Dengan lapar kita merasakan tubuh yang sekian lama selalu dikenyangkan dengan ingin-ingin ragawi, baik yang dimakan atau digunakan. Ingin makan apa langsung dipesan, ingin pakai apa langsung dibeli, ingin pergi kemana langsung dikunjungi, ingin pamer apa langsung diunggah.
Saat hidup serba spontan dan tak ditahan, komunikasi antara raga dan batin terputus. Dengan “memaksa” lapar, pikiran dan batin mulai memperhatian raga yang selama ini selalu dipuaskan. Self awareness menciptakan komukasi lintas batin – pikiran – raga, saling menyeimbangkan kembali ketiganya yang mungkin pernah timpang.
Batin – pikiran – raga antar anggota keluarga menjadi kembali bersilaturahmi karena seperasaan selama bulan suci. Masing-masing mulai menahan marah dan membuka arah perbincangan. Tapi, bulan puasa juga mempersatukan umat Islam lokal, nasional, bahkan internasional karena saling berbela rasa dan bersolidaritas. (Andre Moller, Ramadan di Jawa, 2005).
Persatuan dan bela rasa dari batin ke batin merupakan sebuah keniscayaan bersama untuk menolak fundamentalisme berpikir dan beragama yang terjadi diberbagai belahan dunia di era post-truth: mengesampingkan fakta dan menerima hanya hal-hal yang menyenangkan perasaannya.
Sebab, ada kebutuhan untuk menemukan sistem politik yang tepat bagi masyarakat dalam peradaban Islam, tetapi dengan mombolak-balik literatur fundamentalisme Islam, kita menemukan bahwa pemikiran politik jarang diekspresikan di luar penegasan penyelamatan-diri bahwa tatanan Tuhan pada umumnya dipilih sebagai akternatif tatanan sekuler. (Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, 2000).
Profesor Bassam Tibi menilai khalifah yang dipercaya sebagai tatanan politik yang paling baik oleh sebagian umat tidak memiliki bukti yang sahih untuk dapat menjamin kehadiran tatanan yang sempurna. Bahkan negara-negara penganut sistem ini justru mengalami peperangan saudara.
Jika utopia yang ditawarkan demi kepentingan segelintir orang untuk meraih kekuasaan, hal ini sangat meretas kedamaian dan bela rasa sesama manusia yang selama ini telah terwujud di tengah-tengah kita.
Puasa tak sekedar urusan masing-masing pribadi untuk kembali pada masing-masing diri. Puasa dapat dijadikan sarana membela kemanusiaan global, seperti yang dilakukan Mahatma Ghandi pada 1924 untuk melawan Inggris dan menentang konflik Hindu – Islam kala itu. “Yang perlu pada saat ini bukanlah suatu agama, melainkan saling menghormati dan toleransi antar pemeluk berbagai agama,” tulisnya pada hari kedua puasanya. Gerakan aktif tanpa kekerasan ini bahkan mengilhami Nelson Mandela dan Luther King.
Jika puasa dimaknai tak sekedar menahan lapar, tetapi hingga komunikasi kedalam diri, maka seseorang dapat menahan diri untuk tidak mengonar bangsa sendiri dengan menyebarkan kebencian, intoleransi, fitnah, dan hoax. Karena pada dasarnya setiap batin yang murni tidak mengandung kejahatan.
Sebagai penutup, mari kita kembali ke bulan suci ramadan 74 tahun silam, tepatnya dini hari 17 Agustus 1945. Saat Soekarno, Hatta, Subardjo, Soekarni, dan Sayuti Melik berada di rumah Laksamana Tadashi Maeda. (Mohammad Hatta, Untuk Negeriku, 2011).
“Setelah duduk sebentar menceritakan hal-hal yang diperdebatkan Nishimura, Soekarno dan aku mengundurkan diri ke sebuah ruang tamu kecil bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni, dan Sayuti Melik. Kami duduk sekitar meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta,” tulis Hatta.
Dalam peristiwa tersebut, Soekarno berkata, “Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.” Hatta menjawab, “Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya.” Soekarno yang mengakui bahwa kebahasaan Hatta adalah yang terbaik.
Kiranya setiap kita makan sahur dan mendengar azan subuh, sejenak kita bayangkan ada peristiwa besar terjadi, peristiwa berdirinya Republik Indonesia. Sehingga bulan suci tak hanya sebagai kemerdekaan batin dari godaan roh jahat tetapi juga kemerdekaan bangsa.
Yohanes Bara
Duta Damai BNPT
Comments (2)
[…] Puasa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Kita bisa menemukan kembali momentum, merekatkan kembali semua hal yang membuat kita menjauh untuk kembali mendekat kepadaNya. […]
[…] Puasa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Kita bisa menemukan kembali momentum, merekatkan kembali semua hal yang membuat kita menjauh untuk kembali mendekat kepadaNya. […]