free page hit counter

R20 Menggagas Agama Damai dan Solutif?

R20 Menggagas Agama Damai dan Solutif?

Terselenggaranya R20 di Bali membuka harapan baru bagi masa depan agama. Secara sederhana, tema besar yang diusung tidak lain bagaimana agama menjadi solusi krisis dunia. Selain hal tersebut, forum yang diselenggarakan pada 2-3 November lalu juga dimaksudkan untuk mengakhiri konflik atas nama agama.

Bertemunya para pemuka agama itu dan kesediannya berdialog tentu membawa angin segar tersendiri. Hanya saja yang penting kita mafhum bersama bahwa perdamaian dunia bukanlah hal mudah. Dengan kata lain, perdamaian dunia membutuhkan kerja keras dan tentu sangat melelahkan.

Dengan memerhatikan hal ini, kita akan terus dan senantiasa mengawal gagasan paska R20. Dalam kacamata saya, simposium yang terselenggara kemarin saja itu tidak cukup. Untuk menjadikan agama sebagai solusi bagi krisis global tentu butuh tindak lanjut.

Dialog yang terlaksana selama dua hari tidak akan pernah cukup untuk mewujudkan gagasan agung itu. Harus ada inisiatif lanjutan demi terwujudnya agama yang solutif. Demikian juga jika hendak mengakhiri konflik atas nama agama, harus ada inisiatif lanjutan.

Pertanyaannya kemudian, apa yang mungkin kita lakukan untuk menyongsong gagasan besar R20 itu? Sebagai orang yang berada di akar rumput, tentu satu-satunya gerakan yang ideal bagi kita adalah edukasi di mana kita berpijak.

Saran ini juga berlaku bagi orang-orang yang menggagas dan terlibat pada pergelaran R20 kemarin. Agar gagasan tersebut tidak hanya pada tahap wacana, maka penting untuk bersinergi dengan masyarakat di bawah. Hal tersebut juga sebagai bentuk perhatian dan juga agar pergelaran R20 dengan tajuk yang agung itu tidak terkesan elitis.

BACA JUGA: Filosofi Merantau Suku Minangkabau, “Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang,”

Problem Kampanye Damai

Dalam tesmak saya, salah satu problem tersebar dalam kampanye perdamaian tidak lain adalah keterpisahannya dengan objek yang ia tuju. Dengan lugas bisa saya katakan bahwa gagasan di R20 itu bisa menemukan relevansinya jika ia dapat menyentuh problem rakyat. Ia harus berbaur dengan orang-orang di bawah demi menyuksekan angan-angan perdamaian dunia.

Sejujurnya, apa yang terlaksana kemarin sudah berada pada jalur yang benar. Kita tinggal memaksimalkan rencana-rencana lanjutan tentang hal itu. Selain keterpisahan dengan objek yang ia tuju, problem lain yang menjadi batu sandung adalah pemahaman terhadap masalah.

Persoalan yang dihadapi agama, jika benar hendak dijadikan agama yang solutif, tentu sangat kompleks. Kita tidak bisa menyederhanakan persoalan itu pada konflik atau kekerasan antara agama. Ada banyak sekali problem yang dihadapi dan itu yang harus dipecahkan. Ini juga salah satu alasan mengapa saya berani mengatakan bahwa gagasan besar pada R20 bukan perkara yang mudah.

Problematika Strategis

Ketimpangan di masyarakat, kemiskinan, adalah contoh-contoh masalah yang tidak boleh kita lewatkan begitu saja. Musabab apa yang forum itu gagasa adalah solusi bagi krisis global. Lema krisis di sini tidak mempunya batasan, sehingga cakupannya sangat universal.

Segala krisis harus menemukan jalan keluar dan agama mesti menjadi solusi untuk itu. Bukankah itu adalah angan-angan yang sangat besar dan tidak cukup waktu semalam untuk mewujudkan?

Untuk itu keberhasilan pergelaran R20 kemarin tidak dapat dipandang berhasil sebelum membawa dampak yang nyata. Akan sangat naif memandang keberhasilan suatu ide besar hanya dari acara-acara seremonial belaka. Satu-satunya hal yang kita butuhkan adalah tindak lanjut dari kegiatan tersebut dan bukan hal lain.

Akhirnya, cukup saja pergelaran kemarin kita anggap sukses sebagai suatu acara seremonial. Namun, untuk melihat sejauh mana suksesnya ide-ide besar yang tertuang di sana, perlu kita saksikan langkah selanjutnya.

Itulah mengapa saya memberi tajuk tulisan ini dengan pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Sebagai penutup saya akan kembali mengajukan pertanyaan, benarkah R20 dapat menjadi solusi yang sebenar-benarnya? Menarik kita lihat dan saksikan bersama.

Editor: Bennartho Denys

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *