free page hit counter

Dedikasi dan Perjuangan Juwariyah

juwariyah

Dedikasi dan Perjuangan Juwariyah

Contents

Juwariyah, merupakan satu dari sedikit perempuan pejuang kemerdekaan yang rela berkorban  mengabdikan masa mudanya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948  sebuah upaya Belanda untuk menjajah kembali Indonesia terutama di Yogyakarta. Pada periode tersebut, Juwariyah memiliki peran penting yakni menjadi tenaga medis dan kurir rahasia dalam usaha untuk berjuang melawan Belanda. Hal ini yang menjadikan dirinya sebagai salah satu tokoh penting dalam bentuk mempertahakan kedaulatan Indonesia pada saat peristiwa Agresi Militer II.

Awal Mula Kisah Hidup Juwariyah

Juwariah Suhardi (1933-2021), lahir dari pasangan Sahir Mangkusumitro dan Siti Sudarmi, yang lahir pada 25 Desember 1933, di kampung Nagian, Yogyakarta.[1] Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara, yaitu sang kakak Jermani, serta dua adiknya, Herminah dan Jasmani. Karena masalah keluarga, pada sekitar tahun 1943, Juwariyah pindah dan tinggal bersama Mantripustoko, kakak laki-laki sang ayah, yang bertempat tinggal di Ngasem, Yogyakarta. Meskipun Juwariah tidak berasal dari keluarga bangsawan, ia memiliki tekad dan kegigihannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, terutama di Yogyakarta. Setidaknya, terdapat dua peran penting yang dimainkan oleh Juwariyah pada periode perang kemerdekaan di Yogyakarta, yaitu sebagai tenaga medis dan kurir rahasia.

Juwariyah menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Kumendaman pada tahun 1940. Pendidikan sekolah dasar tersebut ia ikuti dengan baik, sehingga ia bisa melanjutkan pada jenjang berikutnya, yakni Sekolah Dagang Bintaran Yogyakarta.[2] Sekolah Dagang atau yang disebut pula sebagai Handelschool, merupakan sebuah sekolah kejuruan dengan fokus pembelajaran mengenai administrasi perkantoran dan ekonomi. Alasan utama Juwariyah memilih sekolah tersebut adalah karena untuk bisa mendapatkan pekerjaan pada periode sehingga di sekolah tersebut ia mampu meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan mengetik dalam usaha bersaing mencari pekerjaan.

Juwariyah.png

Gambar diambil dari buku Api Sabana Ibu Pertiwi: Api Sabana Pertiwi: Laga Tokoh-Tokoh Pejuang Kemerdekaan Bangsa di Yogyakarta pada Era Revolusi Fisik berasal dari sumber foto dari Riyadian Dwi Cahyo (2018)

Pada tahun 1952, Juwariyah menikah dengan seorang laki-laki bernama Suhardi. Atas pernikahan dengan suaminya, ia menyematkan nama belakangnya menjadi Juwariyah Suhardi. Suhardi sendiri merupakan seorang anggota polisi Brigade Mobil (Brimob). Pernikahan mereka bermula ketika di sebuah rumah makan, Juwariyah bertemu dengan Suhardi setahun sebelum pernikahan. Memasuki jenjang dunia baru, Juwariyah, mulai fokus untuk mengurus keluarga kecilnya. Pengorbanan  untuk keluarganya sampai ia rela untuk berhenti dan tidak melanjutkan pendidikannya di SMA YUP, sekaligus salah satu pekerjaan yang ia jalani sejak sebelum menikah.

Menjelang Agresi Militer II di Yogyakarta 1949

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan aksi serangan yang kedua kali (Agresi Militer Belanda II) yang membuat Presiden, wakil presiden, dan beberapa menteri ditangkap dan diasingkan ke beberapa wilayah di Indonesia.[3] Sejak itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda di dunia internasional bahwa Indonesia sudah tidak ada. Di tempat lainnya, Panglima Besar Jenderal Soedirman memutuskan berjuang melalui perang gerilya. Sepanjang Desember 1948 hingga Februari 1949, para gerilyawan melakukan serangan yang massif terhadap pos-pos Belanda TNI. Salah satu respon serangan dari Belanda terjadi di Yogyakarta oleh yakni melakukan pengeboman dengan tiga pesawat B-25 Mitchel di salah satu fasilitas pertahanan utama milik republik, yaitu Landasan Udara Maguwo[4]..Saat Belanda menduduki Yogyakarta pada pukul enam sore sirine dibunyikan ke penjuru kota yang menandakan bahwa serdadu KNIL melakukan patroli di jalanan kota.

Penduduk kota pada saat itu diarahkan untuk mengungsi ke Yogyakarta bagian Selatan, yaitu sekitar daerah Bantul. Kondisi seperti itu membuat Juwariyah dan keluarganya mengungsi menuju daerah Selarong. Selama di pengungsian, kehidupan yang ia lalui cukup sulit. Ia harus membantu ibunya berjualan agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bakti Juwariyah kepada ibunya membuka jalan untuk masuk ke medan perjuangan yang kemudian membuka pertemuannya dengan Kesatuan Komaruddin, yang merupakan bagian dari SWK (Sub Wehkreise) 102 di bawah Komando Mayor Sardjono.

Awal Mula Juwariyah Terjun ke Medan Perang

Sekitar akhir bulan Desember 1948, salah satu anggota kesatuan militer mendatangi Juwariyah untuk membeli barang dagangannya ketika ia berjualan membantu ibunya. Hal yang mengejutkan baginya karena prajurit tersebut memberi tawaran kepada Juwariyah untuk bergabung dengan kesatuannya dan menjelaskan tugas-tugas yang nantinya dikerjakan. Ia diberi tugas untuk menjadi tenaga medis membantu para prajurit yang membutuhkan pertolongan pertama. Tawaran itu kemudian dipertimbangkan oleh Juwariyah dan meminta izin kepada orang tuanya. Pada akhirnya Juwariyah memutuskan untuk menyanggupi tawaran yang diberikan oleh prajurit itu dan mengajak teman-temannya agar ikut bergabung.

Juwariyah bersama dengan teman-temannya melaksanakan tugas pertama, yaitu membantu prajurit atau pengungsi yang terkena penyakit ringan seperti flu, batuk, atau masuk angin dengan menyediakan obat-obatan bagi pengungsi atau prajurit yang membutuhkan.[5] Ia tidak merasa kesulitan dalam tugas tersebut karena sebelumnya pernah mengikuti pelatihan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) yang diselenggarakan di Suryodiningratan. Pengetahuan tentang  dasar-dasar dunia medis menjadi landasan yang kuat bagi Juwariyah untuk tetap menjalankan perannya sebagai tenaga medis. Saat di medan perang, Juwariyah harus bergabung menjadi garda terdepan sebagai tenaga medis dan harus selalu siap siaga jika ada prajurit yang terluka. Penanganan medis kepada rajurit dengan luka ringan yang dilakukan oleh Juwariyah hanya dengan memberikan pertolongan pertama dan perawatan di markas saja. Tugas yang ia emban paling berat adalah jika menemukan prajurit yang mengalami luka berat, khususnya luka tembak.

Gambar dari buku Api Sabana Ibu Pertiwi: Api Sabana Pertiwi: Laga Tokoh-Tokoh Pejuang Kemerdekaan Bangsa di Yogyakarta pada Era Revolusi Fisik berasal dari sumber foto dari Riyadian Dwi Cahyo (2018)

Menjadi Kurir Rahasia

Kemampuan dan dedikasi Juwariyah menjadi tenaga medis membuat pimpinan kesatuan, Komaruddin, memberikan tugas tambahan yang memiliki potensi cukup berisiko bagi Juwariyah. Ia mendapat tugas untuk menjadi seorang kurir rahasia yakni membawa surat-surat penting yang berita-berita dari kesatuan yang berada di luar kota (wilayah gerilya) dan senjata.

Ketika menjadi kurir, Juwariyah mendapat tugas untuk menemui Komandan SWK 1-0-1, yaitu Lestnan Marsudi dan Gusti Prabuningrat, yang merupakan adik Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selama menjadi kurir rahasia, Juwariyah mengisahkan bahwa salah satu pengalaman yang tidak dapat dilupakan adalah ketika ia hamper tertangkap oleh tentara Belanda pada saat menjalankan misinya.[6] Pada saat itu, ia ia bersama teman-temannya yang  lain mendapat tugas untuk membawa revolver yang ditaruh dibawah belanjaan dan buah-buahan. Suara sirine Belanda berbunyi ketika memasuki petang hari menandakan Belanda melakukan patroli. Tanpa disadari, di belakang Juwariyah sudah ada mobil Jeep Belanda yang berpatroli dan kemudian menawarkan tumpangan. Dengan gemetar, Juwariyah dan temannya menerima tawaran tersebut. Tanpa curiga, pasukan Belanda yang sedang berpatroli mengantarkan mereka sampai tujuan dengan selamat.

Berkat perjuangan dan dedikasi Juwariyah, perjuangannya dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta, ia resmi terdaftar menjadi bagian anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), Yogyakarta. Setelahnya, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan veteran serta sering menerima undangan untuk mengisahkan bagaimana perjuangannya di medan perang selama menjadi tenaga medis maupun menjadi kurir rahasia. Awal Oktober 2021, Juwariyah Suhardi mengembuskan nafas terakhirnya pada usianya yang ke-88 yang kemudian berkat jasa perjuangannya dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara.

Daftar Pustaka

Dwi Ratna Nurhajarini Indra Fibiona & Rizky Aditya Suryawinarno. 2023. Api Sabana Ibu Pertiwi: Laga Tokoh-Tokoh Pejuang Kemerdekaan Bangsa di Yogyakarta pada Era Revolusi Fisik. Dinas Kebudayaan DIY. Yogyakarta.

Sri Margana dkk. 2022. Naskah Akademik. Serangan Umum 1 Maret 1949 Sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara. Disbud DIY. Yogyakarta.

Artikel dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132630363/djuwariyah-kisah-kurir-penyelundup-senjata-yang-nyaris-terbongkar?page=all oleh Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 2 April 2021


[1] Dwi Ratna Nurhajarini Indra Fibiona & Rizky Aditya Suryawinarno, Api Sabana Ibu Pertiwi: Laga Tokoh-Tokoh Pejuang Kemerdekaan Bangsa di Yogyakarta pada Era Revolusi Fisik, Dinas Kebudayaan DIY, Yogyakarta, 2023  hal. 19

[2] Ibid, hal. 20.

[3] Sri Margana dkk, Naskah Akademik, Serangan Umum 1 Maret 1949 Sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara, Disbud DIY, 2022, Yogyakarta, hal. 5.

[4] Op.cit, hal. 22, Dwi Ratna Nurhajarini Indra Fibiona & Rizky Aditya Suryawinarno

[5] Ibid, hal. 23.

[6] Artikel dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132630363/djuwariyah-kisah-kurir-penyelundup-senjata-yang-nyaris-terbongkar?page=all ditulis oleh Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 2 April 2021

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *