free page hit counter

Menyambut Kemerdekaan Kita

Menyambut Kemerdekaan Kita

Setiap tahun, kita tidak pernah alpa untuk merayakan kemerdekaan Indonesia. Menjelang hari penting ini, semarak lomba bertebaran di mana-mana. Ya, semua hanya untuk merayakan hari yang paling agung menurut kita. Sayangnya, perayaan tersebut tidak akan pernah lengkap jika taka da refleksi. Apa yang harus bangsa ini benahi ke depannya?

Pertanyaan inilah yang tidak kita ajukan setiap kali menyambut kemerdekaan. Alih-alih mengajukan pertanyaan mendasar seperti ini, kita malah sibuk dengan eufroria. Tidak ada yang mengatakan bahwa euforia semacam itu keliru. Sama sekali tidak. Namun, sampai kapan sibuk merayakan tanpa membenahi hal-hal yang kurang dari perjalanan negara ini?

Sebabnya, setiap kali kemerdekaan ini tiba, hal pertama kali yang harus kita lakukan (utamanya pejabat) adalah muhasabah. Tidak melulu hanya bersenang-senang dengan upacara yang menghabiskan dana luar biasa. Sadar atau tidak, Indonesia sedang menghadapi persoalan yang teramat kompleks. Kekerasan beragama, kerusakan lingkungan, hingga korupsi dan nepotisme yang makin marak.

Melampaui Euforia Kemerdekaan

Saya kira, euforia itu hanya cukup sekali saja, yakni pada tahun 1945. Manakala terus-terusan tiap tahun ueforia, apa tidak bosan? Jika Anda alasannya adalah untuk mengenang para jasa pahlawan, maka banyak jalan untuk itu. Mengenang jasa mereka tidak hanya melulu melalui kegiatan setahun sekali. Harusnya jasa-jasa dan pengorbanan mereka mandarah daging di kesadaran benegara kita.

Apa yang saya maksud adalah kesadaran bahwa kemerdekaan ini tercapai dengan tidak mudah. Dengan kesadaran semacam ini, mestinya tidak ada orang yang menyelewengkan kepentingan bersama. Apalagi mengesampingkan kepentingan bersama demi kepentingan pribadi dan golong. Tentu sangat tidak layak untuk kita sebut sebagai upaya menghargai jasa pahlawan.

Begini, sepanjang tahun para pemangku kebijakan tidak pernah memperhatikan kemasalahatan umat. Korupsi, kolusi, hingga nepotisme sudah mandarah daging. Lalu, tiba-tiba ketika Agustusan mendadak merayakan kemerdekaan dan mengenang jasa pahlawan. Alih-alih mengenang dan menghargai jasa leluhur, yang ada malah nampak hipokrit.

Solusi Bukan Selebrasi

Permasalahan yang saya sebut sebelumnya, butuh solusi segera. Kemerdekaan ini, kiranya waktu yang paling pas untuk memikirkan itu. Sekali lagi, tidak hanya melulu soal selebrasi setahun sekali. Melainkan Solusi untuk ke depannya menuju Indonesia yang lebih baik. Namun, apakah hal semacam ini ada di benak para pamangku kebijakan dan pemerintah? Saya pesimis—untuk tidak mengatakan ‘tidak ada’.

Akhirnya, kalau pemerintah tidak bisa, maka kita memulai lebih dulu. Tidak melulu fokus pada selebrasi dan kesenangan belaka, melainkan berefleksi bersama. Berefleksi inilah yang jarang kita lakukan, baik secara individu maupun kelompok. Padahal, di dalam setiap refleksi kita senantiasa menemukan celah untuk diperbaiki ke depannya. Yakin, masih mau habis-habisan untuk selebrasi tanpa relfeksi? Saya tidak!

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *