Potret Toleransi Antara Ada dan Tiada
Contents
Potret toleransi agaknya kembali terguncang. Belum lama media sosial ramai dengan polemik wajib jilbab di SMKN 2 Padang bagi non-muslim. Adanya aturan non-muslim wajib berjilbab tidak sesuai dengan syariat agama dan juga UUD 1945. Ini yang menjadi pencegal kemerdekaan dan hak dalam beragama.
Fenomena semacam ini mendapat sorotan dari publik juga aktivis HAM. Wendra Rona Putra, seorang aktivis HAM Sumbar mengatakan bahwa masalah tersebut tidak lepas dari intruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005. Kebijakan semacam ini dinilai kontroversial dan tidak melihat kaidah-kaidah kebebasan dalam mengekspresikan ajaran agama. Justru malah menjadikan simbol-simbol agama tertentu dominan dalam dunia pendidikan.
Baca juga Prioritas Agama Bukan Kekerasan
“Permasalah timbul ketika sekolah menerapkan kebijakan tersebut dan mengabaikan prinsip-prinsip agama, konstitusi, dan hak asasi manusia yang menjamin kemerdekaan setiap orang dalam menjalankan nilai-nilai agama yang diyakini,” tegas Wendra Rona Putra, dalam keterangan tertulisnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/1).
Intoleransi
Alissa Wahid juga bersuara atas kejadian tersebut. Ia tidak membenarkan aturan pemaksaan jilbab di sekolah negeri atas dasar menghormati mayoritas. Alissa mengungkapkan bahwa adanya pemaksaan dan pelarangan jilbab ternyata ada susupan ideologi mayoritarianisme dan ekslusivisme beragama.
Jadi, pemaksaan yang terselubung itu tidak serta merta dipahami sebagai gejala yang sudah biasa atau kejadian berulang-ulang. Melainkan ada satu agenda agamaisasi pendidikan sejak dini.
Intoleransi di dunia pendidikan bukan hanya terjadi baru-baru ini. Jauh sebelum itu juga ada kasus yang motifnya sama. Misalnya di Bali pada tahun 2014, melarang siswa perempuan memakai jilbab di sekolah negeri. Kasus serupa juga terjadi tahun 2016 di Yogyakarta, ada sekolah yang mewajibkan siswa baru memakai jilbab saat pelaksaan Masa Orietasi Siswa (MOS).
Makna Potret Toleransi
Hal semacam ini menarik bila kita mau menelaah kembali makna toleransi di Indonesia. Khususnya dalam kaitan keberagamaan dalam masyarakat yang plural. Jangan-jangan gejala sosial yang dianggap sebagai potret intoleran dalam dunia pendidikan justru merupakan label yang kurang tepat? Atau malah keliru sama sekali?
Saya teringat satu perkatakan dari seorang teman seperkopian. Bahwa toleransi bagi teman-teman adalah ketika kita duduk di satu meja makan, menu yang dipesan berbeda-beda sesuai dengan selera masing-masing tanpa harus mengucilkan yang lain. Itulah potret toleransi di atas meja makan. Titik tekannya terhadap rasa saling menghargai dan sama-sama menikmati meskipun hal itu berbeda. Seperti jargon lama, “berbeda-beda, tapi tetap satu (rasa)”.
Agama dan Toleransi
Semua kalang masyarakat, lebih-lebih tokoh agama dan ormas perlu memperhatikan betul perkara toleransi dan intoleran dalam beragama. Jangan-jangan selama ini kita salah dalam memahami nilai-nilai ajaran agama? Atau malah terjebak pada keagkuhan beragama. Menilai bahwa yang tidak sama dengan cara kita beragama merupakan bentuk dari kesalahan yang fatal? Dari sini lah saya kira pemahaman terhadap nilai-nilai agama itu penting.
Agama lahir untuk memanusiakan manusia. Tapi oleh justru satu atau dua manusia yang mengatasnamakan agama mencoreng agama itu sendiri dalam menyalurkan hasrat keagamaannya. Apalagi sampai ada unsur pemaksaan ke dalam bangku sekolah.
Toleransi sendiri juga perlu disuarakan kembali dalam konsep kehidupan sosial masyarakat. Di antaranya, dengan cara memberikan edukasi sejak dini. Baik melalui pendidikan keluarga, lingkungan bermain anak, dan sistem pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Menanamkan rasa toleransi sedini mungkin. Karena di usia dini memori otaknya begitu kuat menyimpan ingatan.
Utamanya dalam menyikapi intoleransi adalah mencegahnya sedini mungkin. Supaya kejadian yang merugikan tidak mencuat ke publik. Sehingga apa yang kita harapkan dan cita-cita hidup damai dalam negara Indonesia tercapai.
Harusnya kita bisa mengikis sikap abai pada hak orang lain. Sebelum meledak menjadi intoleran. Karena selama ini kita hanya ribut ketika polemik intoleransi muncul kepermukan. Mencacimaki masyarakat yang berwajah intoleran. Menghujat pihak-pihak yang kadung kecebur dalam sikap intoleran.
Memahami potret Toleransi di Indonesia harus dengan cara merangkul perbedaan. Tanpa harus menyamakan dengan yang lain. Tak kalah penting ada cita rasa di dalamnya. Lalu, bagaimana kita menerapkan toleransi? Atau jangan-jangan toleransi hanya mitos dalam kehidupan masyarakat Indonesia?
Comments (3)
[…] Baca juga Potret Toleransi Antara Ada dan Tiada […]
[…] kasus intoleransi di sekolah, kampus dan masyarakat masih menjadi PR besar kepada masyarakat. Padahal multikulturalis […]
[…] Baca juga Potret Toleransi Antara Ada dan Tiada […]