free page hit counter

Menyemai Toleransi Melalui Histori, Interpretasi dan Teologi

Menyemai Toleransi Melalui Histori, Interpretasi dan Teologi

Tepat dua atau tiga tahun lalu, seorang mualim memukau saya. Ia mengutip salah seorang mufasir Indonesia kawakan, Pak Quraish Shihab. Satu frasa dalam surah Al-Fatihah yang dibahas, yakni sirath al-mustaqim. Lazimnya, terjemahan dari frasa tersebut adalah ‘jalan yang lurus’. Mengutip Pak Quraish, mualim tersebut menyatakan bahwa tafsir frasa sirath al-mustaqim bukan hanya jalan yang lurus, melainkan juga lebar. Ini berarti bahwa jalan yang lurus tersebut tidak hanya bisa dilalui oleh satu sekte, melainkan lebih. Dengan ungkapan yang lebih lugas bahwa bisa saja kita berbeda, tapi masih di satu jalan yang lurus tersebut. Interpretasi semacam ini secara tidak langsung memberikan potensi kebenaran bagi kelompok agama yang berbeda.

Membincang topik kelompok berbeda agama dan keyakinan, ada satu teori favorit saya. Teori ini dikembangkan oleh Alan Race, salah seorang teolog Gereja Anglikan. Race sendiri merupakan murid dari John Hick, tokoh kunci dalam diskursus pluralisme agama. Terlepas bahwa teori tersebut di kemudian hari dikuliti oleh Gavin D’Costa, bagi saya tetap penting untuk diajukan. Teori tersebut adalah tipologi tripolar (threefold typology). Dalam pandangan Race, terdapat tiga tipologi pandangan seseorang terkait komunitas religius di luar dirinya. Mulai dari eksklusivisme, inklusivisme, hingga pluralisme.

Eksklusivisme secara sederhana biasa diartikan sebagai pandangan yang mendudukkan agama sendiri yang paling benar, agama lain salah. Kontra dengan itu, yakni tipologi inklusivisme. Para inklusivis adalah orang-orang yang menganggap bahwa setiap agama dan keyakinan mempunyai kebenarannya masing-masing. Hanya saja hal tersebut dibatasi bahwa agamanya sendiri yang sempurna, tidak dengan yang lain. Puncak dari tipologi tersebut adalah pluralisme, sebuah term kontroversial di Indonesia. Pluralisme menegasikan superioritas agama yang satu di atas agama lainnya. Setiap agama, menurut pandangan ini, akan sampai kepada kebenarannya sendiri-sendiri.

Dua Sumber Masalah

Dari klasifikasi tersebut, hemat saya, hanya dua tipologi terakhir yang ideal. Sementara tipologi pertama (baca: eksklusivisme) merupakan pandangan yang bisa meretakkan koeksistensi. Sayangnya, pandangan eksklusif dalam beragama masih berada di poros utama. Pertanyaannya, dari mana pandangan-pandangan tersebut berasal? Saya hendak mengetengahkan dua jawaban. Pertama, dari pemahaman sejarah yang tidak komprehensif. Kedua, diakui atau tidak hal tersebut termotivasi dari kitab suci. Khusus poin kedua, saya hanya akan menyinggung bagaimana al-Qur’an kerap dibaca dengan kacamata yang eksklusif.

Sebagian besar umat muslim menganggap bahwa relasi Islam dan nonislam pada fase awal senantiasa berkonflik dan konfrontatif, padahal tidak demikian. Hubungan antara Islam dan nonislam pada fase awal bisa dibilang sangat fluktuatif. Benar bahwa terdapat konflik, namun hal tersebut tidak bisa menafikan hubungan yang baik antara Islam dan nonislam di sisi lain. Meminjam bahasa Faqihuddin Abdul Kodir, relasi baik tersebut disebut sebagai mubadalah (kesalingan). Inilah mozaik sejarah Islam awal yang kerap dilupakan. Implikasinya, sebagian besar muslim mengira bahwa pertengkaran Islam dengan komunitas religius lain sudah berakar sejak fase awal.

Dengan melakukan penelurusan sejarah yang komprehensif, kita akan mengetahui bahwa nabi mempunyai hubungan baik dengan penganut agama yang berbeda. Bahkan, beberapa orang Yahudi disebutkan membantu nabi di dalam sebuah peperangan. Pandangan-pandangan semacam ini jarang—untuk tidak mengatakan tak ada—dalam pengamatan mainstream umat Islam. Maka, dengan pengamatan historis yang komprehensif, sejatinya penghargaan terhadap umat yang berbeda agama sudah ada presedennya. Preseden tersebut dari nabi dan orang-orang pada fase Islam awal.

Hal kedua yang menjadikan seseorang eksklusif adalah motivasi dari kitab suci. Dalam hal ini saya hendak menyinggung Al-Qur’an, karena di beberapa bagian menjadi legitimasi eksklusivisme. Tidak hanya eksklusivisme, bahkan Al-Qur’an bisa saja dijadikan pijakan untuk melakukan teror dan tindakan kekerasan atas nama agama. Maka, hal terpenting yang harus diletakkan pertama adalah keterbukaan kitab suci untuk ditafsirkan kembali. Pada hakikatnya, pembacaan yang eksklusif terhadap kitab suci tersebut hanya salah satu penafsiran. Dengan kata lain, penafsiran tersebut bisa dikoreksi dan direvisi. Sudah banyak sarjana muslim belakangan yang mencoba untuk melakukan penafsiran kembali. Hal ini samata-mata agar kitab suci suportif untuk keberlangsungan koeksistensi antar umat beragama.

Mun’im Sirry, salah seorang asisten profesor di Notre Dame, menulis sebuah buku yang mencoba melihat penafsiran sarjana muslim reformis terhadap ayat-ayat polemik. Buku tersebut bertajuk Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions. Secara sederhana, ayat-ayat polemik ini merupakan ayat Al-Qur’an yang menyinggung agama lain dengan nada polemis. Salah satu ayat yang dianggap bernada polemis adalah Al-Imran ayat 19. Potongan ayat tersebut menyatakan bahwa ‘agama yang benar di sisi Tuhan ialah Islam’. Lazimnya, ayat ini diartikan bahwa yang selamat di hari akhir hanyalah agama Islam. Padahal, beberapa sarjana muslim reformis menafsirkan term ‘Islam’ pada ayat tersebut tidak spesifik seperti Islam yang kita kenal saat ini. Islam di ayat tersebut dimaknai sebagai kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan, kendati tidak memeluk Islam sebagaimana yang terlembagakan sekarang.

Pembacaan semacam itu, tentunya menjadi alternatif yang tepat untuk membuang keselamatan yang eksklusif. Sebab, keselamatan eksklusif akan melahirkan anggapan bahwa agama di luar Islam keliru dan sesat. Melalui dua langkah yang saya ajukan di atas, kemungkinan keterbukaan untuk menerima kelompok agama yang berbeda semakin menemukan jalan terangnya. Sejatinya, ada salah satu langkah lagi yang saya sadur dari salah seorang intelektual muslim Turki, Mustafa Akyol, dalam buku-nya, Reopening Muslim Minds. Akyol mengajukan tawaran toleransi dengan berbasis kepada teologi, secara spesifik teologi irja’ (ingat golongan Murji’ah!).

Teologi Penangguhan

Terkait irja’ ini kita dapat menariknya pada perseteruan antara Muawiyah dan Ali. Dua sekte besar lahir akibat proses arbitrase (tahkim) yang dilakukan keduanya. Orang-orang yang setia pada Ali (disebut Syiah) dan orang yang mengutuk Ali. Golongan terakhir ini masyhur dengan sebutan Khawarijarti literalnya adalah orang-orang yang keluar. Kelompok Khawarij menilai bahwa tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan. Dengan demikian, arbitrase yang dilakukan Ali-Muawiyah tidak selaras dengan hukum Tuhan. Akibatnya, Ali menghembuskan nafas terakhir di tangan salah satu pentolan Khawarij, musabab dianggap telah melakukan dosa besar.

Di tengah kecamuk tersebut, gagasan irja’ mengemuka dan pengikutnya disebut sebagai Murji’ah. Secara terminologi irja’ dapat dimaknai sebagai penundaan, secara spesisifik orang yang memberikan penundaan vonis untuk Ali dan Muawiyah. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa vonis hanya diberikan kelak di hari penghakiman. Satu-satu zat yang dapat memberikan vonis, mana yang salah dan mana yang benar, hanyalah Tuhan. Vonis diletakkan semata-mata sebagai hak prerogatif-Nya.  Di sinilah teologi irja’ ini menemukan signifikansinya sebagai kredo agar kita menunda untuk memberikan penghakiman terhadap kelompok yang berbeda.

Sebagai pamungkas tulisan ini, saya tertarik pada sebuah drama Nathan the Wise yang disinggung Akyol dalam bukunya. Drama tersebut merupakan buah karya dari Gotthold Ephraim Lessing (m. 1781) yang digambarkan pada tiga (jumlah ini tentu bisa bertambah) cincin. Tiga agama Abrahamik, misalnya, diibaratkan sebagai tiga cincin yang sama berharganya. Dari ketiganya hanya satu yang benar-benar asli, namun orang yang memakainya tidak akan pernah mengetahui. Hingga kelak datang juru penengah, Tuhan, untuk memberikan putusan yang inkrah terkait keasliannya. Baik drama Nathan the Wise maupun teologi irja’ sama-sama menekankan pada penundaan vonis.

Kiranya, tidak layak untuk terburu-buru memberikan vonis dan klaim terlebih dahulu. Sebab, secara dasariah kita tidak dapat memastikan secara presisi mana yang paling benar. Ingat kata Pak Quraish yang saya kutip di muka, jalan yang lurus tidak tidak semata-mata lurus, melainkan juga lebar.(**)

Daftar Bacaan:

Mun’im Sirry. Koeksistensi Islam-Kristen. 2022. Yogyakarta: Suka Press.

Mun’im Sirry. Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions. 2014. New York: Oxford University Press.

Mustafa Akyol. Reopening Muslim Minds. 2021. New York: St. Martin’s Essentials.

Gavin D’Costa, “Impossibility of a Pluralist View of Religion”. Religious Studies, Jun 1996, vol. 32, no. 2, 223-232.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *