Perempuan Tidak Bercerita, Ia Berdamai Dengan Keadaan
Contents
Perempuan Tidak Bercerita Sembarangan
Pernahkah kamu duduk di ruang tunggu rumah sakit, selasar stasiun/ bandara atau sekadar duduk di mana saja lalu tiba-tiba terdengar tangis dari perempuan yang duduk tidak jauh darimu? Jika belum pernah, cobalah bayangkan. Bayangkan betapa beratnya beban dia hingga perempuan tidak bercerita kepada sembarang orang dan memilih menangis.
Sebagian perempuan punya banyak cara untuk mengekspresikan perasaan. Tidak sedikit pula perempuan yang hanya bisa menangis atau terdiam karena tidak tahu lagi harus berlaku seperti apa. Terlalu banyak beban menghimpit menjadikan perempuan kehilangan rasa. Tanggung jawab dan keinginan kadang bertabrakan tidak saling beriringan menjadikannya terpaksa memilih. Celakanya pilihan itu kadang menyakitkan.
Ketika Perempuan Tidak Bercerita
Ketika kebetulan di taman kau melihat seorang perempuan menangis dan kau tidak kenal siapa dia, pura-pura sajalah untuk tidak peduli. Saya tahu kalian banyak pertanyaan atau justru jurus penghiburan, tapi percayalah perempuan yang memilih menangis dalam sepi adalah karena dia tidak tahu lagi cara bercerita.
Kenapa memilih tidak bercerita? Perempuan adalah makhluk kompleks. Banyak yang ia pertimbangan juga pikirkan. Belum lagi yang ia rasakan. Bahkan untuk cerita pada keluarga tentang masalahnya saja kadang harus mikir panjang. Perempuan seperasa itu. Jika dia mampu menangis, setidaknya itu emosi yang sanggup ia salurkan. Tolong jangan hakimi. Jangan pula sok tahu bahkan sampai memberi nasihat. Bisa jadi semua nasihat yang kau tawarkan adalah hal-hal yang sudah ia lakukan sepanjang ini namun tanpa hasil.
Sekali lagi tidak perlu kau repot memberi penghiburan. Cukup diam saja. Tangisan itulah cerita panjang si perempuan.
Saya pernah duduk menunggu bus, tiba-tiba seorang Perempuan datang sambil mengusap air mata. Sebentar kemudian terdengar isak tangisnya. Orang yang tadi berdiri menhampiri si Perempuan dan bertanya kenapa. Tidak mendapat jawaban, justru tangisnya makin kencang. Pernah di suatu hari yang lain, seorang Perempuan yang tadinya nangis mendadak berhenti ketika ponselnya berdering. Perempuan itu menjawab telpon dengan gemetar namun bibirnya berkabar kalau dirinya baik-baik saja. Ternyata itu telpon dari anak-anaknya yang menanyakan kapan si ibu pulang.
Begitulah Perempuan, bebannya bukan perkara dirinya sendiri tapi juga seluruh jiwa yang ada di sekitarnya.
Perempuan Tidak Lemah Tapi Mereka Lembut
Sekelas Plato mengatakan jika Perempuan dari segisi fisik maupun spiritual, mental Perempuan lebih lemah dibanding laki-laki. Meski begitu hal ini tidak menyebabkan perbedaan dalam bakatnya.
Carl Jung seorang ahli psikologi menjelaskan pada dasarnya manusia mempunyai dua aspek sekaligus dalam dirinya. Dua aspek itu adalah feminism dan maskulin. Dalam psikologi dikenal istilah androgenitas. Andro berarti laki-laki dan gyne berarti Perempuan.
Pada dasarnya setiap makhluk hidup punya kelebihan dan kekurangan. Hanya saja sebagai manusia, sering kali budaya atau pandangan turun temurun selalu melabeli bahwa Perempuan lemah dan laki-laki yang kuat. Padahal tidak selalu demikian. Perempuan tidak lemah, Perempuan lebih dominan lembut dibanding laki-laki. Pun laki-laki tidak selalu arogan atau kasar, ada laki-laki yang juga mendapat karunia feminism. Lagi-lagi tidak benar jika menganggapnya kaum melambai.
Perempuan Tulang Rusuk Sekaligus Tulang Punggung
Kawan saya yang hari ini merantau di Taiwan pernah bertutur bahwa keputusannya untuk merantau adalah pilihan berat. Dia tidak ingin meninggalkan anak-anaknya yang kala itu masih bayi, tapi satu sisi hanya itu satu-satunya cara agar dia bisa mencari nafkah. Dan benar saja, ketika beberapa tahun kemudian dia pulang ke anak-anaknya, si anak seolah menolak. Lebih tepatnya si anak tidak mengenal sosok ibunya. Inilah yang membuat kawan say aitu hancur dalam sekejap.
Dia paham dengan kemungkinan itu namun tetap saja kenyataan itu membuatnya lunglai. Seorang ibu mendapat penolakan anaknya karena tidak terbiasa. Sejak itu kawan saya ini selalu menempel dan membersamai anak-anaknya. Ia belajar parenting, belajar bagaimana agar si anak dan ibu saling terkoneksi. Hingga si anak-anak beranjak remaja, si ibu dan si anak jadi sosok yang kompak.
Kini meski balik lagi ke Taiwan, sebab selain sebagai tulang rusuk beliau juga tulang punggung, ia tidak lagi begitu takut. Anak-anak telah remaja. Telah dia ajarkan banyak kehidupan pada si anak.
Tinggalkan Balasan