free page hit counter

Refleksi atas Polemik Nasab Ba’alawi di Indonesia

Refleksi atas Polemik Nasab Ba’alawi di Indonesia

Sejak tahun lalu, Polemik Nasab Ba’alawi atau perdebatan seputar apakah nasab Ba’alawi (lazimnya orang-orang menyebut habib) di Indonesia tersambung kepada nabi atau tidak. Pemicu utamanya adalah penelitian dari Imaduddin al-Bantani (Kiai Imad) yang menyatakan bahwa nasab keturunan nabi di Indonesia itu tidak bersambung kepada nabi. Menurut Kiai Imad ada salah satu tokoh yang ditambahkan, padahal hal tersebut tidak terbukti.

Tentu, karya Kiai Imad tersebut tidak leluasa bergerak begitu saja. Tidak sedikit kalangan yang merespon dengan ketidaksetujan atas karya tersebut. Salah satu tokoh yang sangat artikulatif membantah adalah Rumail Abbas. Saya tidak akan menyodorkan bantahan-bantahannya di sini. Namun, saya ingin mempertegas bahwa perdebatan tersebut hingga detik ini ibarat bola yang terus menggelinding. Majalah sekelas Tempo bahkan menjadikan topik ini sebagai liputan khusus edisi lebaran.

Saya tidak hendak memberikan dukungan atau bantahan kepada dua pihak atas polemik Nasab Ba’alawi. Baik pihak yang percaya bahwa habib di Indonesia bersambung kepada Nabi Muhammad atau tidak, masing-masing mempunyai argumentasi. Apa yang hendak saya refleksikan di sini adalah keadaan masyarakat di seputar perdebatan tersebut. Sejatinya, perdebatan ini terlihat produktif karena tetap saling sanggah. Namun, ada satu hal yang membuat kurang menarik adalah keberadaan fans dari kedua belah pihak.

Tidak Mau Berbeda

Baik pihak yang pro dan pihak yang kontra ini mempunyai penggemar. Tepat di titik inilah yang menjadi kurang asyik karena beberapa penggemar tidak mempertahankan semangat ilmiah. Sebenarnya, sah-sah saja namanya juga penggemar toh bukan aktor utama. Namun, ketika sudah sampai pada menghina dan menjelek-jelekkan satu sama lain, berarti ada sesuatu yang tidak beres.

Saya melihat bahwa sebagian besar masih tidak mau berbeda. Artinya, ketika ada pandangan yang berbeda dan pandangan tersebut berdasar pada penelitian ilmiah, maka seharusnya sah-sah saja. Di fenomena ini tidak begitu. Sebab, perbedaan tersebut justru membuat saling sikut—seminimnya di media sosial—antar fans. Memang yang paling ribut adalah penggemarnya, padahal yang berbeda masih sempat ngopi berdua.

Kemungkinan Salah

Para penggemar tersebut juga tidak mempunyai sikap kritis terhadap apa yang mereka ikuti. Tidak memberikan peluang probabilitas kesalahan. Padahal, baik pihak pro ataupun kontra di polemik ini sama-sama berpeluang keliru. Akhirnya, para penggemar merasa yang mereka ikuti pasti benar tanpa mempertimbangan pendapat lain. Lagi-lagi hal semacam ini menumpulkan semangat kritis terhadap sebuah pendapat.

Padahal, jika hal ini kita pahami dengan baik, maka tidak aka nada fanatisme. Penyakit fanatisme eksis sebab orang merasa apa yang mereka ikuti pasti benar. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan ingin agar orang lain juga mempercayai hal yang sama. Di polemik Ba’alawi ini, penggemar kedua belah pihak sama-sama tidak memberikan peluang salah atas apa yang mereka ikuti. Kendati saya sadar bahwa manusia memang lazim demikian.

Kesimpulan saya adalah, refleksi atas polemik Nasab Ba’alawi tersebut ada dua hal. Mulai keengganan untuk berbeda hingga menutup pintu kemungkinan salah. Hal semacam ini harus kita hindari dalam menjunjung semangat yang ilmiah. Mempertahankan pendapat boleh, tapi tidak mau salah adalah penyakit.

 

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *