Belajar Memanusiakan Manusia
“Tetaplah menjadi manusia. Mengertilah manusia. Manusiakanlah manusia, sebab Tuhan sangat memuliakan manusia.” Wejangan singkat dari Gus Mus, mengenai memanusiakan maunusia.
“Memanusiakan Manusia” dua kata yang kerap kita dengar di kehidupan sehari-hari. Kata-kata indah sarat akan makna yang menyentuh hati. Gaung-gaunnya kerap kita dengar, namun seakan hanya sekadar ucapan tanpa pembuktian. Masih banyak sekelompok atau bahkan segerombolan manusia yang hidup dalam ketidakadilan, konflik, penyiksaan dan bahkan kemelaratan.
Memanusiakan manusia seakan hanya menjadi rangkaian kata menyenangkan hati tentang pedulinya kemanusian tanpa mengerti makna, kenapa mereka harus memanusiakan manusia. Sejatinya, manusia membawa sifat kemanusian yang ada sejak manusia diciptakan. Kemanusian menjadi sifat yang tertanam pada setiap diri manusia. Dalam menjalin pergaulan sehari-hari sifat kemanusian sangat diperlukan agar terjalinnya hubungan saling menghargai satu sama lain.
Di kehidupan sehari-hari kita kerap menjumpai orang-orang yang bersikap sebaliknya, banyak manusia yang bertindak tanpa memanusiakan orang lain. Terlebih di tengah pandemi seperti saat ini, banyak terjadi krisis kemanusian. Rasa ketakutan seakan membutakan rasa kemanusian mereka.
Belum hilang dari ingatan kita tentang tenaga kesehatan Semarang yang positif Covid-19 ditolak pemakamannya oleh warga setempat. Sungguh miris mendengar pemberitaan tersebut, tenaga kesehatan yang berjuang bertaruh nyawa demi menyelamatkan pasien harus mengalami tindakan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa memanusiaakan manusia hanya sekadar slogan dalam kehidupan sehari-hari tanpa pembuktian yang berarti.
Sering kali kita menemui jabatan, pangkat, kekayaan seseorang dapat menggelapkan mata yang membuat seseorang dengan mudah bertindak tanpa menghargai perasaan orang lain. Bertindak tanpa memanusiakan manusia, lupa darimana asalnya. Menyombongkan apa yang dia dapat. Menghakimi orang lain dengan pengetahuan yang didapat.
Beberapa kali saya melihat secara langsung, pelayan kafe atau rumah makan yang mendapat makian secara langsung dari pembeli di hadapan banyak orang. Rasa kecewa dan tidak puas yang mereka alami disalurkan secara langsung tanpa melihat situasi. Tindakan demikian amat disayangkan, karena hal ini dapat membuat pelayan tersebut merasa direndahkan di hadapan oranng lain. Bahkan, tindakan demikian akan membuat malu dan sedih bagi pelayan tersebut. Saat tengah mengalami hal yang tidak mengenakan tersebut ada baiknya dibicarakan secara personal agar tercipta saling menghargai satu sama lain.
Begitu juga saat tengah bersama dengan teman kita lebih asyik dengan gawai kita dibanding mengobrol atau bernostalgia. Seakan menatap gawai lebih menyenangkan dibandingkan bernostalgia bersama teman. Cobalah untuk berhenti menatap layar gawai dan mulailah berbicara dengan temanmu, karena hal ini dapat membuat mereka merasa dihargai sebagai individu dihadapan kita.
Terkadang memanusiakan manusia memang sulit diterapkan, namun tetaplah menjadi manusia yang terus berusaha memuliakan orang lain. Mengerti orang lain, menghargai orang lain tanpa memandang apapun yang tersemat dalam dirinya karena dihadapan Tuhan kita semua sama.
Tinggalkan Balasan