free page hit counter

Fatwa MUI: Batu Sandung Toleransi

Fatwa MUI: Batu Sandung Toleransi

Contents

Martin van Bruinessen (2013) mengetengahkan lema conservative turn (pembelokan ke arah konservatif) tatkala membahas rias Islam Indonesia. Tanda paling terang atas fenomen tersebut, imbuhnya, ialah sederet fatwa kontroversial MUI. Menjelang akhir Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa tentang sekularisme, pluralisme, hingga liberalisme. Sebagai konsekuensi logis, kritik datang dari pemikir dan eksponen Islam liberal di Indonesia.

 Antara lain, tulisan Dawam Rahardjo di Tempo yang bertitimangsa 1 Agustus 2005. Tulisan bertajuk Kala MUI Mengharamkan Pluralisme itu memang tidak mengakomodir keseluruhan kritik atas fatwa. Apa yang hendak saya tunjukkan ialah kenyataan fatwa MUI kerapkali memancing diskusi dan debat hangat—kalau tidak kontroversi. Menariknya, bukan sekali duakali lembaga fatwa ini menggemparkan jagat Indonesia.

Dekade 80-an, MUI menerbitkan fatwa natal yang juga kontroversial. Fatwa ini muncul sebagai respon atas banyaknya umat muslim yang diundang untuk menghadiri perayaan natal. Kala itu, Abdurrahman Wahid (sosok kritikus MUI paling loyal) tampil mengkritik fatwa tersebut. Dengan gaya jenakanya, ia menduga-duga kalau suatu saat umat muslim tidak membolehkan orang Kristen naik taksi yang kacanya bertuliskan lafaz basmalah.

 Dari senarai fatwa di atas, kiranya tidak perlu kaget manakala hari ini MUI mengeluarkan fatwa haram salam lintas agama. Tidak hanya larangan salam lintas agama, melainkan juga ucapan selamat hari raya untuk agama lain. Pertanyaan mendasar yang hendak dikemukakan ialah mengapa fatwa tersebut lahir? Jika saya tidak silap, aturan main fatwa paling dasar ialah keberadaan orang yang meminta fatwa (mustaftī). Dalam bentuknya yang terbarukan, seminimnya ialah persoalan yang menjadi keresahan umat.

Mencari Urgensi Fatwa

 Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu mengutip analisis yang dilakukan oleh Piers Gillespie (2007) terkait fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005. Dalam tesmak Gillespie, terdapat tiga faktor yang membidani lahirnya fatwa terkait sekularisme, pluralisme, dan liberalisme itu. Salah satunya ialah rasa frustrasi MUI terhadap pemikiran neomodernis yang selama 25 tahun mendominasi. Merevisi temuan Gillespie ini, kiranya faktor yang mendorong MUI menerbitkan fawa salam lintas agama ialah kejenuhan akan narasi tafsir toleransi dan moderasi ala pemerintah (baca: Kementerian Agama).

Tidak mengherankan manakala Kemenag mempunyai posisi yang berbeda terkait topik ini. Sementara MUI menilai salam lintas agama bernuansa ubudiah, Kemenag menilai hal tersebut tidak sampai pada soal keyakinan. Dari hal ini nampak bahwa MUI mempunyai konstruksi toleransi yang berbeda dengan pemerintah. Sekaligus mempertegas posisi MUI yang tidak lagi sebagai pelayan pemerintah, melainkan umat Islam. Meskipun, frasa umat Islam di sini perlu didiskusikan lebih lanjut.

Secara sederhana dapat kita ringkas bahwa motif paling potensial dari fatwa MUI ini ialah tafsir alternatif toleransi. Dengan kata lain, fatwa salam lintas agama dan ucapan hari raya kehilangan pijakan fondasionalnya. Tidak ada situasi mendesak yang mengharuskan fatwa tersebut lahir. Kemungkinan lain ialah ketidaknyamanan para ulama di tubuh MUI melihat salam lintas agama dan ucapan hari raya. Kalau begini realitanya, tak ada seorang pun yang dapat membantah sebab terkait perasaan yang amat personal.

Fatwa dan Otoritas Semitunggal

Senada dengan Syafiq Hasyim (2011) ketika ia mengungkapkan bahwa dalam dalam persoalan teologi MUI menjadi aktor tunggal. Seolah ada kesepakatan bahwa dalam persoalan ini adalah tugas eksklusif MUI. Antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah nampaknya juga tidak ikut campur dalam hal akidah. Hari ini, ketika MUI mendeklarasikan fatwa salam lintas agama, Nahdlatul Ulama agaknya malu-malu memberikan dissenting opinion. PBNU mengaku belum melakukan kajian yang mendalam terkait ihwal tersebut.

Mereka hanya menyinggung bahwa pembahasan serupa pernah dilakukan oleh PWNU Jawa Timur tahun 2019. Kendati kesimpulan PWNU Jatim ini kontras dengan fatwa MUI, namun sama sekali tidak mewakili sikap resmi PBNU. Artinya, dalam pembahasan ini MUI nyaris menjadi otoritas tunggal. Atas dasar itu, saya menyebutnya otoritas semitunggal musabab tidak menutup kemungkinan kedua ormas besar itu akan buka suara.

Kendati demikian, otoritas semitunggal ini lebih dari sekadar cukup untuk memberikan pengaruh. Belajar dari rekam jejak, fatwa yang dikeluarkan oleh MUI kerapkali menjadi legitimasi tindakan banyak orang. Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan persekusi terhadap Ahmadiyah di antaranya berjangkar pada fatwa MUI. Walakin, MUI kerap mengelak bahwa fatwa-fatwanya menjadi basis argumentatif aksi tersebut.

Fatwa MUI sebagai Batu Sandung

Tanpa ragu saya katakan bahwa dua fatwa MUI yang masih segar ini menjadi tantangan bagi toleransi. Relasi umat beragama yang memang tidak cair tidak menutup kemungkinan menjadi beku dengan keberadaan fatwa tersebut. Padahal, salam lintas agama dan ucapan hari raya bisa menjadi medium untuk mencairkan ketegangan. Kita hanya bisa berharap cemas terdapat fatwa tandingan yang mengemuka.  

Apalagi, pembedaan antara persoalan ibadah atau tidak selama ini memang masih samar dan kerap memantik persoalan. Sebagai contoh, bagi sebagian kalangan menikah masuk ranah ibadah. Sementara bagi yang lain, hal tersebut bukan merupakan ranah ibadah karena bukan relasi dengan Tuhan. Di saat yang sama pula terdapat pendapat dualistis yang mengatakan bahwa pernikahan mengandung aspek ibadah dan sosial sekaligus.  

Ini berarti bahwa apakah satu tindakan sosial bisa masuk ibadah atau tidak bisa kita perdebatkan. Persoalannya ialah apakah ormas lain tergerak untuk memberikan fatwa tandingan atau tidak. Kalau pada akhirnya tak kunjung ada opini tandingan, konsekuensinya ialah fatwa MUI akan mendominasi. Mujurnya, namanya fatwa tidak ada kekuatan hukum yang mengikat. Dalam fatwa, seseorang mempunyai opsi untuk patuh atau tidak.

Itulah mengapa saya namakan batu sandung toleransi. Satu sisi itu menjadi ancaman dan membuat tersandung. Di sisi yang lain, kita bisa dengan mudah melangkahinya. Tinggal pilih saja. (*)  

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *