Jalan Berliku Moderasi Beragama
Contents
Mengenai moderasi beragama, pemerintah memang telah banyak campur tangan dalam persoalan ini. Mungkin sikap demikian nampak paling ideal untuk mengganjal kelompok eksklusif dan ekstrem. Yakni, dengan turun tangannya pemerintah langsung. Bahkan tidak tanggung-tanggung gerakan pemerintah untuk menutup ruang gerak mereka. Pada 2017 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) resmi berlabel organisasi terlarang. Kemudian akhir 2020 giliran Front Pembela Islam yang menjadi sasaran operasi pemerintah.
Dua contoh di atas kiranya cukup untuk memperlihatkan bagaimana posisi pemerintah. Lebih jauh lagi, Kementerian Agama seolah menjadi ujung tombak dalam agresi moderasi beragama ini. Kita bersepakat bahwa moderasi beragama pada dasarnya baik—seminim dalam pandangan para eksponennya. Kendati demikian, ada catatan-catatan bahwa sejatinya gerakan tersebut bertemu jalan berlikunya sendiri.
Kesempatan Politis
Pasca lengsernya Soeharto dari tampuk kepemimpinan, kran demokrasi Indonesia terbuka. Ini berarti bahwa kebebasan berbicara, berkumpul, berserikat hingga begerak terjamin oleh konstitusi. Kesempatan politis semacam ini, adalah pintu masuk gerakan-gerakan yang kontra kebebasan beragama dan cenderung intoleran. Sejatinya, dalam hal ini pemerintah berhadapan dengan ambiguitas.
Pertama, pemerintah harus menjamin kebebasan berkumpul dan bereskpresi dari rakyatnya. Kedua, kebebasan tersebut justru menjadi angin segar bagi kelompok-kelompok yang kontra dengan nilai-nilai toleransi dan moderasi. Sampai di sini saja kita bisa membayangkan bagaimana gerakan moderasi beragama oleh pemerintah sejatinya menemukan jalan berilkunya sendiri. Tidak hanya berilku melainkan juga terjal.
Militansi vs Transaksional
Apa yang kurang dari gerakan moderasi beragama adalah sifatnya yang bersifat instruksional—transaksional bahkan. Sependek yang saya amati, itu bukanlah gerakan militan sebagaimana kelompok-kelompok yang mereka lawan. Pada titik-titik tertentu, gerakan moderasi beragama hanya program kerja tahunan (katakanlah lima tahun sekali). Ini sangat kontras dengan gerakan kelompok ekstrem yang memang secara dasariah militan untuk berjuang.
Perlu kita sadari secara seksama bahwa terkadang gerakan moderasi ini terkadang hanya sebagai pemenuhan kewajiban kepada atasan. Dengan kata lain, bukan untuk tujuan toleransi itu sendiri. Kedengarannya buruk sekali, namun demikian realita gerakan moderasi beragama yang resmi disponsori oleh pemerintah. Orang-orang yang terlibat di dalamnya, sebagian tidak bekerja untuk toleransi itu sendiri. Inilah yang saya sebut instruksional cum transaksional.
Diskursus yang Melangit
Kelompok yang kita tuding eksklusif dan ekstremis itu, lebih membumi daripada gerakan-gerakan moderasi beragama. Mereka berjalan di dalam senyap melakukan pendekatan dari akar rumput. Membentuk gerakan-gerakan di akar rumput. Hanya ini satu-satunya hal yang bisa kita contek dari kelompok-kelompok tersebut. Maksudnya adalah agar gerakan moderasi, toleransi tidak hanya menjadi konsumsi para elit: mahasiswa, dosen, hingga pejabat negara.
Apa yang tidak kalah penting adalah membumikan diskursus moderasi beragama. Hanya dengan demikian, kita bisa melakukan perlawanan yang ideal dengan kelompok-kelompok intoleran. Segmentasi seperti ini menjadi penting agar tidak terdapat submasyarakat yang terlewatkan. Lebih-lebih yang rawan terkena penyakit intoleran memang orang di akar rumput ‘kan?
Itulah tiga hal yang sepintas dalam pandangan saya yang menjadi jalan berliku toleransi. Saya akui bahwa gerakan ini memang banyak mendapat dukungan pemerintah. Pada saat yang sama realitas demokrasi juga menguntungkan kelompok eksklusif dan intoleran. Belum lagi diskursus toleransi ini hanya hanya menjangkau kalangan elit. Hal ini semakin parah karena tidak sedikit oknum yang menjadikan hal tersebut hanya bersifat transaksional semata.
Kalau demikian kenyataannya, masihkah kita berpikir bahwa moderasi beragama akan sukses menjegal intoleransi? Saya masih berpikir sepuluh duapuluh kali untuk menjawab.
Tinggalkan Balasan