Kacamata Apa yang Tepat untuk Memandang Ritual Agama Lain?
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya ihwal Christianity Studies for Muslim Scholars (CSMS) 2024. Pada tulisan tersebut, saya mencoba menerka bahwa kerja yang dilakukan oleh Asosiasi Teolog Indonesia (ATI) adalah langkah menenun perbedaan menjadikan satu kesatuan utuh. Wadah yang juga bertujuan agar terjadi pembelajaran dua arah antara anak muda muslim dengan umat Kristen. Ritual agama antara pemeluk agama satu dengan bahasa lain.
Hari pertama, tepat pada Kamis malam, seluruh peserta CSMS 2024 harus mengikuti ibadah Chapel Malam. Saya kesulitan untuk mencari padanan ritual tersebut dalam tradisi muslim. Sebagai praduga awal, saya menyimpulkan hal tersebut mirip dengan majelis selawat. Menariknya adalah ibadah tersebut penuh dengan nyanyi-nyanyian yang liriknya sangat religius. Tentu, tidak ketinggalan alat-alat musik kekinian.
Penghayatan Pemeluk Agama
Orang yang tidak menghayati liriknya akan dengan mudah menyatakan mirip konser musik. Karena memang suasana di dalam ruangan semeriah itu. Sebaliknya, orang yang merenungi lantunan liriknya akan menganggap kegiatan tersebut sebagai ibadah. Pada titik ini mungkin kita akan bertanya-tanya—atau mungkin hanya saya—bagaimana mungkin kegiatan menyanyi dan ditutup khotbah dianggap sebagai ibadah?
Di titik tersebut juga, kebijaksanaan perlu untuk dihadirkan. Aturan mainnya sederhana, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pesert CSMS 2024. Dengan lugas ia menyatakan bahwa kita tidak bisa mengukur agama orang lain menggunakan kacamata agama kita. Ini berarti bahwa penghayatan umat Kristen terhadap ibadah mereka memang demikian adanya. Tidak seorangpun yang berhak mengajukan pertanyaan “kok ibadah seperti itu?”
Hemat saya, ibadah setiap agama merupakan pengalaman religius (religious experience). Pengalaman ini hanya dapat dirasakan antara pemeluk agama itu dengan Tuhannya. Penghayatan tersebut memang sangat subjektif sekali, sebab memang begitu kenyataanya.
Bagaimana persepsi orang-orang nonmuslim ketika melihat orang mengelilingi Kabah. Tentu, bagi nonmuslim hal tersebut biasa saja dan tidak mempunyai daya tekan emosional. Namun, bagi orang Islam ritual tersebut mempunyai makna yang sedemikan mendalam. Karena itu, saya berkesimpulan bahwa tidak bijak menilai agama orang lain menggunakan kacamata agama kita.
Membiarkan Ritual Agama Orang Lain sebagaimana Adanya
Biarkan agama orang lain sebagaimana adanya, tanpa harus kita mengahimi. Mungkin Anda akan membantah dengan mengemukakan bahwa ritual-ritual mereka tidak masuk akal. Berbeda dengan ritual umat Islam yang lebih rasional. Saya katakan dengan tegas bahwa itu adalah persepsi keliru Anda. Kemungkinan mereka juga sama, dengan menganggap ibadah-ibadah kita umat Islam biasa saja. Karenanya, tidak ideal menghakimi agama orang lain dengan perasaan dan kacamata kita.
Satu-satunya jalan yang paling mungkin bisa kita lakukan adalah dengan tidak menghakimi. Kita cukup mengetahui bahwa terdapat perbedaan antara ritual di agama kita dengan mereka. Namun hal tersebut bukan untuk diukur lebih intim mana ritual agama kita dengan agama lain. Sebab aturan mainnya, setiap ibadah itu intim bagi pemeluk-pemeluknya.
Sebagai konklusi, pertama mengikuti ibadah Chapel Malam saya benar-benar tidak merasakan apa-apa. Bagi saya itu wajar-wajar saja karena saya memang tidak mempunyai ikatan emosional dengan ibadah agama lain. Akan tetapi, saya tidak bisa menghakimi mereka hanya beradasarkan perasaan saya. Itu bukan sikap yang baik dalam membangun koeksistensi antar umat beragama. Ingat!
Tinggalkan Balasan