Kritik Pancasila, Relevankah?
Contents
Sejak awal ihwal konfrontasi antara menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau tidak, hangat untuk kita perbincangkan. Salah satu yang menarik—saya mencoba merekam satu saja—adalah apa yang NU coba konsepsikan perihal ini. Lewat Munas Alim Ulama satu tahun sebelum Muktamar ke -27 di Situbondo, NU menegaskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Lebih tepatnya merumuskan relasi dan korelasi Islam dan Pancasila. Lewat rumusan Achmad Shiddiq, NU kemudian menerimanya sebagai asas negara Indonesia. Namun, rumusan dari NU sendiri sejatinya mengalami gejolak yang sangat panjang.
Sejarah NU dan Pancasila
NU merupakan satu-satunya organisasi saat itu yang menerimanya sebagai asas tunggal. Di sini, yang hanya dan hendak menjadi tajuk adalah halal–haram tersebut. Dengan kata lain, kebolehan atau tidak menggunakannya sebagai dasar dari negara. Sekarang? Hal tersebut sudah selesai, puluhan bahkan ratusan buku dan jurnal telah membahas relasi Islam dan Pancasila tersebut. Sementara, pertanyaan saya di atas (di bagian judul) muncul bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila. Pada tahun 2016 lewat Kepres no. 24/2016 menetapkan 1 Juni sebagai hari Lahir Pancasila.
dasar negara indonesia
Hari ini tidak sedikit individu atau kelompok yang menentang Pancasila sebagai dasar negara. Yang paling segar dalam sejarah adalah ide soal Khilafah Islamiyyah. Pancasila sebagai asas tunggal seringkali bentrok dengan ide politik agamis tersebut. Sehingga, tidak sedikit yang menelan propaganda atas nama agama. Puncaknya, meski bukan akhir, pada tahun 2017 salah satu ormas yang selaras dengan ide tersebut resmi bubar barisan. Tentu, pemerintah yang membubarkan.
Saya mengasumsikan bahwa pertanyaan seputar halal-haram menggunakannya sebagai dasar negara sudah selesai. Kita semestinya tidak selalu masuk dalam arus itu. Sebab, yang menjadi pokok bahasan utama adalah soal ideal atau tidak. Yang kita cari adalah yang bisa mengakomodir seluruh lapisan masyarakat atau tidak. Sehingga, ketika sudah bisa mengakomodir seluruh kepentingan lapisan masyarakat, saya kira hal tersebut bisa kita terima. Maka, pada titik itulah Pancasila yang kita anggap dapat mengakomodir kebutuhan seluruh masyarakat bisa kita terima juga.
baca juga Hari Lahir Pancasila
Namun, tetap dengan catatan tidak boleh ada pengkultusan final dan ortodoksi yang pada puncaknya membuat Pancasila anti kritik. Kritik di sini mengarah pada taraf implementasi. Sehingga masih relevan sampai kapanpun. Kritik di sini tidak hendak membahas kebolehan (atau halal-haram) penggunaannya. Lebih dari kedua hal tersebut, ia hendak mempertanyakan sejauh mana nilai-nilai ideologisnya menyatu dalam tataran kehidupan.
Implementasi nilai
Jika memang ada satu konsepsi yang melebihi Pancasila semestinya sah-sah saja untuk menerapkan dalam bernegara. Bagaimana dengan ide Khilafah Islamiyyah? Saya kira tidak memungkinkan. Selain karena bersumber dari satu doktrin keagamaan tertentu, ide tersebut rawan mendapat penolakan oleh penganut agama lain karena persoalan teologis. Memang Islam menjadi agama yang mayoritas, namun ada banyak agama lain
Seumpama, dasar negara kita saat ini letakkan di meja ijtihad baru, yang kemudian kita carikan hal-hal yang lebih segar darinya, maka tidak salah. Namun, sampai saat ini yang patut untuk sulam tambal (kritik) adalah perihal implementasi dari nilai Pancasila itu sendiri. Sejauh mana nilai-nilai itu sudah termanifestasi. Jika memang telah menyatu dengan lapisan masyarakat dan masyuk di tengah-tengah, maka rasa-rasanya tidak memungkinkan untuk menggantinya.
Comments (4)
Saya setuju sekali memang penting bagi kita untuk kritis terhadap implementasi pancasila terutama pada sektor kebijakan. Sedangkan upaya untuk pengkultusan final suatu ideologi tertentu apalagi hanya mencakup penganut kepercayaan tertentu saya pikir tidak sesuai dengan nilai-nilai humanis yang pada akhirnya hanya akan melahirkan pemaksaan dan ketidakadilan.
Benar sekali, kita harus menolak pengkultusan yang pada akhirnya membuat daya kritik kita mandul.
[…] BACA JUGA: Kritik Pancasila, Relevankah? […]
[…] BACA JUGA: Kritik Pancasila, Relevankah? […]