Membangun Pendidikan Toleransi
Membangun pendidikan toleransi sebaiknya dimulai sejak dalam lingkungan keluarga.
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.” Bung Karno.
Mari kita renungkan kembali ukalimat Bung Karno di atas. Kita sadar akhir-akhir ini banyak perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai kebersamaan atas nama bangsa Indonesia. Seperti kasus pemaksaan berjilbab pada siswi non muslim di SMK 2 Padang beberapa waktu lalu.
Kasus semacam itu bukan pertamakali di Indonesia. Kita sering menjumpai kasus serupa. Kasus yang merupakan daftar sikap intoleran di dunia pendidikan kita. Padahal jauh-jauh hari founding father Indonesia mengingatkan bahwa bangsa ini didirikan oleh manusia lintas etnis, suku, dan agama.
Jadi tidak baik untuk mencomot satu identitas agama, suku dan ras dalam bingkai berbangsa dan bernegara.
Baca juga rencana aksi Nasional
Kita sudah sepatutnya menghargai dan memberi ruang untuk perbedaan yang hadir. Sebagai bentuk konsekuensi bahwa kita lahir sebagai bangsa yang beragam. Meyakini dan menumbuhkan sikap toleransi adalah kunci kebersamaan. Hal ini yang bisa kita berikan untuk menghormati pendiri bangsa.
Toleransi merupakan sikap untuk sama-sama dan saling bahu-membahu menjaga perbedaan dalam suatu bangsa. Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, “tolerare” mempunyai arti sabar dan menahan diri. Secara terminologi, toleransi artinya sikap saling menghormati, menghargai, dan menyampaikan pendapat, keyakinan kepada sesama meskipun itu bertentangan dengan diri sendiri.
Dengan kata lain, adanya toleransi untuk membendung sikap fanatisme kelompok, anarkisme golongan tertentu dan sikap perbudakan atas nama keyakinan tertentu. Friedrich Heiler mengatakan bahwa toleransi adalah sikap seseorang yang mengakui adanya perbedaan, pluralitas agama dan menghargai para pemeluknya. Setiap pemeluk agama mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan sama dalam masyarakat.
Misal saja dalam beragama. Contoh paling sederhana adalah memberikan hak setiap orang untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Tanpa ada suatu paksaan. Lantas memberikan ruang bagi pemeluk agama untuk melaksanakan ritual keagamaan. Tidak ada beda antara pemeluk mayoritas mau pun minoritas.
Sejatinya dalam ruang komunal yang bernama masyarakat tentu ada banyak perbedaan. Banyak hal tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Ini sebuah kewajaran.
Bukankah kita paham, bahwa setiap manusia sebenarnya mempunyai perbedaan sejak dia dilahirkan ke bumi?
Maka dari sini, kita bisa membangun satu pondasi toleransi lewat pendidikan.
Meskipun selama ini banyak catatan intoleran dalam pendidikan Indonesia. Setidaknya kita belum terlambat untuk terus menyuarakan toleransi dari satu tempat ke tempat lain.
Tentu dengan basis pendidikan baik formal ataupun non formal.
Pendidikan yang saya maksud adalah pendidikan yang tanpa kelas. Yang dalam arti bisa di mana saja. Bisa dilakukan oleh siapa saja, di rumah (keluarga), lingkungan permainan, sekolah, dan mungkin kampus. Toleransi di sini, bukan hanya dalam bentuk teori, wacana dan konsep-konsep. Melainkan perlu adanya praktek langsung di lapangan.
Semisal seorang anak diajari cara menghargai perbedaan pendapat dalam musyawarah keluarga. Atau pada saat pemilihan ketua kelas di sekolahnya, selama dia mampu memimpin maka bisa terpilih tanpa harus melihat anak siapa dan dari mana.
Siapa saja kita sudah sewajarnya toleransi dalam wajah pendidikan di tanah air ini. Dengan begitu, kita bisa membendung intoleransi yang dimunculkan oleh saudara kita sendiri. Salah satunya dengan memperhatikan sikap menghargai satu sama lain, saling menebar kasih sayang, dan mencintai atas dasar manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Membangun pendidikan toleransi adalah tugas bersama. Peran orang tua sangat penting dalam keberlangsungan membangun pendidikan toleransi.
Comments (3)
[…] baca juga Membangun Pendidikan Toleransi […]
[…] Di Kamawakan ini tidak terlepas dari peran masyarakat. Anak desa memegang teguh nilai dan norma kehidupan bermasyarakat, sopan santun, kesederhanaan, dan memiliki semangat juang dalam mencapai cita-cita yang luhur. Meski kondisi desa yang sangat terbatas dalam segala urusannya. Hal ini membuat saya belajar banyak tentang kesederhanaan tapi sangat berarti. Solidaritas, kekeluargaan, tanggung jawab, dan harapan. […]
[…] saya, hal yang bisa kita teladani dari fragmen cerita tersebut ialah bahwa paksaan—apalagi dengan kekerasan—tidak pernah menghasilkan apa-apa. Seorang yang dipaksa untuk untuk […]