free page hit counter

Anak Depresi Hingga Beban Mental Keluarga

Anak Depresi di Cirebon

Anak Depresi Hingga Beban Mental Keluarga

Contents

Kabar viral tersiar dari Cirebon. Kabarnya seorang anak depresi karena ibunya menjual HP miliknya tanpa permisi. Padahal HP tersebut adalah hasil dari tabungan si anak. Jujur fakta seperti ini membuat hati nyeri. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Salah siapa sebenarnya?

Dari membaca media saya tahu kalau awalnya anaknya ini jadi pemurung sejak akhir 2023. Tepatnya sejak sang ibu menjual HP anaknya tanpa permisi terlebih dahulu. Alasan sang ibu menjual HP itu karena kondisi ekonomi yang sulit. Dari hasil penjualan HP itu untuk kebutuhan sehari-hari.

Tidak hanya sampai sebatas murung, anak 13 tahun itu kemudian berubah jadi pemarah, suka teriak dan akan berlaku kasar (menendang barang hingga rusak). Seandainya saat itu ibunya atau orang sekitarnya paham, mereka pasti menyadari bahwa ada yang tidak benar dengan si anak.

Pentingnya Izin dan Saling Komunikasi

Terus terang saya pribadi tidak membenarkan tindakan sang ibu yang tiba-tiba menjual HP sang anak. Walau bagaimana pun HP itu adalah milik si anak, hak anak. Jangankan untuk menjualnya, menyentuh saja seharusnya harus minta izin dulu dari si anak.

Mungkin akan beda efeknya jika bukan ibu yang tega menjual HP si anak. Tapi kenyataannya ini ibunya sendiri, tentu hal ini melukai hati si anak. Batin mana yang tidak terluka merasa dikhianati oleh orang terdekatnya sendiri?

Seandainya sebelumnya sang ibu minta izin dan ngobrol sama anaknya tentang keadaan ekonomi yang mencekik,  mungkin akan lain cerita. Tapi apalah daya, semua telah terjadi. Yang bisa diupayakan hari ini tentu saja adalah mengobati luka si anak dan beban si ibu.

Anak Depresi dan Ibu Yang Penuh Beban

Hampir semua media menyoroti kondisi mental si anak tapi lupa dengan batin atau psikis sang ibu. Iya memang benar salah ibu karena telah menjual barang milik anak tanpa permisi. Tapi seperti yang telah sama-sama kita ketahui, si ibu menjual HP anaknya karena alasan ekonomi. Kabarnya sudah 8 bulan ia tidak mendapat nafkah dari suaminya yang kerja di luar kota.

Kalau kenyataannya begini maka kita sama-sama paham bahwa yang terluka bukan cuma anak tapi ibu. Yang memikul beban paling berat adalah ibu. Sudahlah tidak mendapat nafkah (uang) dari suami, menjaga anak, harus pula kini mendapat sorotan media seolah dia paling bersalah dalam kasus ini.

Untuk kondisi ibu, saya juga sangat prihatin. Ikut nelangsa. Mungkin beliau tidak akan sejauh itu (menjual HP anak tanpa permisi) andaikan suaminya bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.

Namun terlepas dari semuanya, kita juga tidak punya hak untuk menghujat ayah dari si anak. Toh kita juga belum tahu kabar yang sesungguhnya. Yang bisa kita lakukan adalah mendoakan, syukur kalau mau membantu berdonasi. Tidak ikut menghujat adalah hal yang paling tepat.

Membangun Relasi Kekeluargaan

Kita sama-sama tidak ada yang berharap dalam kondisi keluarga yang seperti ini. Maka sejujurnya sejak awal penting untuk melakukan komunikasi dalam sebuah hubungan. Membangun relasi Kekeluargaan yang baik butuh kerjasama suami, istri dan anak-anak, sebagai keluarga inti. Serta tentu keluarga besar.

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Memulai dengan komunikasi dua arah adalah kunci sebuah hubungan. Komunikasi yang baik tidak selalu berakhir dengan satu kesepakatan tapi bermula dari paham.

Kejadian di Cirebon ini bisa saja tidak terjadi andai ibu melakukan komunikasi dengan anak. Minta izin bermaksud untuk menjual HP anak. Paling si anak akan menolak dan ibu akan sedih. Komunikasi berakhir dengan tidak ada kesepakatan menjual HP seperti mau ibu. Namun ibu jadi paham maunya anak, anak juga paham kebutuhan ibu. Meski ya anak 13 tahun entah sejauh mana pemikirannya.

Menjaga Kewarasan Agar Anak Depresi Pulih

Kalau ditotal, sebenarnya dari kasus ini lebih banyak ruginya dibanding harga jual HP. Harga Android second berapa sih? Sementara yang terjadi si anak depresi yang butuh pengobatan khusus, anak putus sekolah setahun, si ibu banting tulang untuk pengobatan anak, dan masalah pelik lainnya. Semua seakan menjelma jadi efek domino.

Kembali ke judul awal, jadi sebenarnya ini semua salah siapa? Maka jawabannya berhenti sejenak untuk saling menyalahkan. Posisinya memang tidak tepat untuk saling melempar. Tapi kalau memang mau usut tuntas agaknya hal serupa tidak hanya terjadi di keluarga ini. Akan ada fakta baru yang serupa. Untuk mencari jawabannya maka butuh menelusuri latang belakang yang tidaklah pendek dan sedikit.

Dalam hal ini perlu kehadiran pemerintah sebagai pihak yang ikut andil dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat. Wacana tidak seharusnya berhenti jadi angin lalu. Jika memang perlu regulasi, tidak ada salahnya untuk mencoba.

Sebelum itu, marilah kita untuk saling menguatkan dan mendoakan agar hal serupa tidak pernah lagi ada.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *