Menengok Kembali Kampung Halaman
Kritik terhadap kampung halaman seringkali datang setelah kita memutuskan untuk menunut ilmu di tanah seberang. Jauh-jauh tahun sebelum kita kenal dunia luar yang konon akademis itu, kita adalah bagian dari orang yang melanggengkan kultur dan tradisi di kampung halaman. Layar kemudian berbelok arah ketika kita semakan banyak berinteraksi dengan orang-orang luar. Dengan kultur baru yang tidak kita dapat sebelumnya.
Kultur dan tradisi yang sebelumnya tidak pernah kita pertanyakan, kemudian menjadi sasaran empuk. Dengan embel-embel kajian, kita tidak segan untuk melancarkan kritik tajam. Tanpa mengingat-ingat bahwa di masa lalu kita adalah pelaku, bahkan tidak menutup kemungkinan juga di masa depan. Apakah hal ini salah? Pertanyaan salah atau benar tidak senantiasa bisa kita terapkan di setiap situasi.
Saya berada di posisi yang pro terhadap kritik manakala hal tersebut konstruktif. Kritik terhadap kampung halaman patut kita syukuri secara berjamaah. Ini berarti orang yang telah lama meninggalkan kampung halamnnya masih ingat tanahnya. Kendati, bagi sebagian orang, kritik terhadapnya kerap mereka sambut dengan ketidaksukaan.
Pengalaman Kampung Halaman
Barangkali memang demikian, seseorang butuh mengambil jarak agar pandangannya tidak kabur. Mengambil jarak agar tesmak kritiknya bisa dengan jelas melihat situasi. Terus terang, ini adalah keadaan yang perlu untuk kita rayakan dan langgengkan. Bagaimanapun, ini lebih baik timbang tidak pernah mengkritik atau bahkan sekadar peduli.
Kendati demikian, menjadikan kampung halaman sebagai objek kritik terus-terusan tidaklah ideal. Mengingat juga tidak mudah merubah apa yang telah tertancap sangat dalam dengan nama kultur dan tradisi. Tidak kalah menarik manakala kita menjadikan pengalaman hidup orang-orang di kampung sebagai subjek yang memproduksi pengetahuan. Dengan begitu, posisinya sedikit bergeser dari sebelumnya.
Mengapa hal demikian menjadi perlu? Berlarut-larut menjadikannya sebagai sasaran empuk kritik mempunyai efek domino. Takut-takut kritik yang semula konskruktif malah menjadikan tanah tempat kita lahir sebagai objek yang inferior. Segala hal di sana kita pandang rendah dan harus sesuai dengan cara hidup orang urban. Ini tidak baik juga.
Menggeser Kampung Halaman
Kalaupun tidak demikian, setidaknya tradisi atau kultur di kampung halaman menjadi pengetahuan yang disertai kritik. Maksudnya, selain juga senantiasa kita kritik habis-habisan, ada sisi terbaik darinya yang harus kita ambil. Pengetahuan dari kampung inilah yang tak akan kita temukan di kota-kota. Dengan posisi semacam ini, kita harap tidak ada suprioritas-inferioritas kultur.
Orang-orang kota yang mungkin selama ini anggap kita maju, juga tidak boleh kebal dari kritik. Namanya kultur dan budaya, keduanya merupakan proses yang sedang berkerja tiada henti. Toh kota juga tidak henti-hentinya memproduksi masalahnya sendiri. Tak ada bedanya dengan kampung halaman yang kita kritik itu.
Tinggalkan Balasan