Menyoal Perbedaan dan Perang Melawan Diri Sendiri
Manusia diciptakan dengan segala kompleksitas yang ada dalam diri mereka. Seorang manusia akan berbeda dengan manusia yang lain, meski mereka adalah saudara kembar identik sekalipun. Mereka akan memiliki ketertarikan yang berbeda, bentuk fisik yang berbeda, bahkan keyakinan yang berbeda akan sesuatu. Dan itu tentu saja tidak menjadi masalah, sampai ketika manusia mulai merasa penting untuk membenci karena ada begitu banyak perbedaan yang menurutnya sulit disatukan.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan dari Tuhan, maka dari itu sebenarnya tidak ada yang lebih baik dari pada yang lainnya. Menemukan perbedaan kita dengan orang lain tentu saja akan begitu mudah. Misalnya, bagaimana tanggapan kita ketika melihat seorang gadis berkerudung yang berbicara dengan lembut dan melihat seorang perempuan yang tak berkerudung, bertato, dan merokok di saat yang bersamaan? Mungkin secara otomatis kita akan membandingkan mereka, menganggap perempuan yang berkerudung itu lebih baik dari yang bertato dan menganggap yang bertato itu adalah perempuan nakal—sebuah istilah yang secara kultural hadir di masyarakat yang menjunjung norma ketimuran. Bisa juga perempuan bertato itu akan dianggap terlalu memuja Barat dengan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan agama dan adat kita di Indonesia. Lihat, mudah sekali kita menemukan perbedaan antara kedua perempuan tersebut, bukan? Semudah itulah menilai orang lain berdasarkan apa yang kita miliki dan apa yang tidak mereka miliki. Persoalannya, bisakah kita berhenti mencari perbedaan dan mulai memerhatikan persamaannya saja?
Jawabannya adalah bisa, tapi tidak mudah dan tidak semua orang mau melakukan itu. Sebagian masyarakat di Indonesia yang merasa dirinya agamis cenderung memiliki pakem yang tidak boleh ditawar lagi. Mereka yang dianggap kawan adalah yang sepemikiran sedang yang dianggap lawan adalah yang melenceng dari apa yang sudah dimapankan sebelumnya. Dengan dasar seperti itu, maka tidak heran di Indonesia ada begitu banyak kejadian yang hanya bermula dari adanya perbedaan yang ditemukan dari dua orang atau dua kelompok. Permasalahan seperti agama apa yang lebih baik, wajah siapa yang lebih cantik, otak siapa yang lebih pintar, atau pandangan siapa yang lebih bagus, akan selalu berkelindan tanpa akhir.
Saat ini di seluruh dunia sedang memasuki bulan Ramadan, begitu juga di Indonesia. Bagi mereka yang percaya, bulan Ramadan adalah bulan penuh ampunan, setan-setan dipenjara, dan ibadah manusia dilipatgandakan pahalanya. Semua orang berlomba-lomba dalam menabung amal, berharap dijauhkan dari api neraka, dan memimpikan surga sebagai tempatnya kelak. Namun siapa sangka, datangnya bulan Ramadan juga belum mampu membuat manusia mulai mencari persamaan di antara mereka, hingga berujung pada terciptanya kedamaian.
Masih ingatkah kita dengan viralnya sebuah video yang memperlihatkan seorang bapak berbaju putih memaki seorang pegawai toko? Kira-kira mengapa bapak tersebut melakukan itu? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, bisa jadi bapak itu merasa memiliki pengetahuan agama yang luas dibanding pegawai toko itu, maka dari itu dia memaki dan merasa kurang bila pegawai toko hanya menyedekahkan seribu rupiah padanya. Kedua, bapak itu merasa tersinggung karena seribu rupiah yang disedekahkan oleh pegawai toko tidak seimbang dengan penampilannya yang begitu agamis. Ketiga, bapak itu memang memandang rendah pegawai toko setelah membandingkannya dengan penjual ikan yang bersedekah seratus ribu rupiah.
Apabila kasus tersebut tidak viral, bisa jadi si bapak tidak hanya memaki pegawai toko, tetapi juga akan menceritakan permasalahan tersebut dengan keluarganya. Beliau bisa saja melarang keluarganya untuk berbelanja di toko tersebut karena toko yang menggurita di Indonesia itu, bisa jadi dianggap terlalu bergaya kebarat-baratan. Bayangkan bila bapak tersebut adalah pemuka agama, beliau juga bisa jadi memberitahu seluruh jamaahnya bahwa baiknya bersedekah itu dengan uang yang sesuai. Jika sudah seperti ini, apa lagi yang bisa terjadi selain tumbuhnya kebencian?
Maka dari itu, kebencian yang timbul dari fokusnya seseorang melihat perbedaannya dengan orang lain tidak akan menghasilkan apa-apa selain perpecahan. Dalam serial film The 100, Lincoln—seorang pejuang yang sedang diobati berkata, di dalam diri setiap manusia terdapat monster dan bila monster itu keluar maka kita harus bertanggung jawab karenanya. Perang sesungguhnya di bulan Ramadan atau di bulan-bulan lain adalah berperang melawan nafsu, yang berarti itu berperang melawan diri sendiri. Ketika genderang perang ditabuh, maka manusia diberi pilihan apakah akan membunuh atau malah terbunuh dengan konyol. Tidak ada penawar yang bisa diberikan ketika manusia terluka dalam perang tersebut. Manusia hanya bisa menyembuhkan dirinya sendiri, dan untuk itu terkadang bukan hanya otot yang diperlukan, tetapi juga otak. Jadi, sudahkah kita memenangkan peperangan tersebut?
Tinggalkan Balasan