free page hit counter

Sebuah Perayaan Kesedihan dari Kota Istimewa

Gejayan Memanggil

Sebuah Perayaan Kesedihan dari Kota Istimewa

Minggu malam menjadi sangat panjang buat Kinan karena kesibukannya meramu kata-kata ajaib untuk aksi esok hari. Dia berdalih tulisannya akan menjadi sebuah sihir di bahwa terik matahari Yogyakarta yang menggigit. Akhir-akhir ini kuperhatikan dia memang akrab dengan berbagai isu di media sosial. Sampai-sampai dia mau mengunduh rancangan Undang-Undang yang dinilai bermasalah itumembacanya satu demi satu hingga lembar ke seratus dua puluh satu. Melalui Twitter, daya kritisnya mulai terasah karena sibuk membandingkan pro kontra masyarakat terkait RUU tersebut. Kinan yang mengaku malas bertemu orang baru, memutuskan turun ke jalan dan bersuara atas nama keadilan.

Aksi yang dimaksudkan oleh Kinan adalah aksi #GejayanMemanggil2 yang diadakan di kota Yogyakarta, 30 September 2019. Sebelumnya aksi serupa sempat diadakan seminggu sebelumnya dengan massa yang berfokus pada mahasiswa. Namun kali ini massa berasal dari berbagai lapisan, melebur menjadi satu di jalan raya, bernyanyi dan mengangkat posternya tinggi-tinggi untuk dibaca oleh masyarakat yang sibuk mengambil gambar dan bertepuk tangan. Berharap suara mereka tidak akan dibungkam lagi oleh negara.

Gejayan Memanggil

Bundaran UGM yang menjadi salah satu titik kumpul menjadi semakin ramai dengan kehadiran pelajar yang masih menggunakan seragam. Sebagian dari mereka datang dengan sepeda motor, sisanya berjalan kaki. Orang-orang yang berjalan kaki ini mendatangi bapak yang berdiri dengan kotak masker di tangannya. Mereka membeli beberapa untuk menutupi wajah dari panas matahari dan sorotan kamera.

Tidak beberapa lama, datang rombongan mahasiswa dari kampus tetangga dengan menggunakan jas almamaternya. Mereka memarkir motor dan langsung bergabung bersama massa lain yang sudah membuat barisan terlebih dahulu. Mereka pun bergerak sekitar pukul satu siang menuju Gejayan. Kali ini ada dua mobil komando yang terlihat. Di tiap kelompok juga ada yang memimpin dengan menggunakan toa. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Kinan tidak banyak bernyanyi Katanya dia bingung mau mendengar komando yang mana. Suara semua orang terdengar sama kerasnya di telinga. Seorang kawannya berkata, “Ya namanya juga aksi rakyat, setiap kelompok berusaha mengeluarkan keresahannya masing-masing dong..”

Perjalanan aksi kali ini terasa begitu lama buat Kinan gagal mengeluarkan semangatnya lewat satu atau dua buah lagu perjuangan. Namun dia cukup teralihkan karena sibuk memunguti sampah yang dibuang serampangan oleh orang-orang dalam barisannya. Seolah dia ingat kalau sebelum berangkat tadi, ada seorang lelaki yang sibuk menenteng kantongan hitam di tangan kanan dan kirinya, membawa ransel dengan kedua botol minum besar di sisinya, dan menggantung gelas berisi puntung rokok di dada sebelah kanannya. Kinan tidak suka melihat sampah berserakan. Maka sampah itu dimasukkannya ke dalam kantongan hitam seorang perempuan berbaju kebaya merah jambu yang tengah membawa poster bertuliskan “Demo Demi Ayamku dan Ayangku”. Setelah tiba di titik aksi, beberapa orang mulai berhamburan mencari tempat berteduh di jejeran toko yang tutup. Gejayan siang itu tetap dipenuhi oleh lautan manusia dari ujung ke ujung, meski jumlahnya ternyata lebih sedikit dari aksi sebelumnya.

Terdengar komando untuk menyuruh semua orang duduk agar orasi bisa segera dimulai, agar semuanya dapat mendengar masing-masing perwakilan berbicara, agar semuanya bisa mendengarkan Sisir Tanah bernyanyi dengan lantang soal tuntutan yang sudah bertambah dua kali ini. Kinan duduk sembari tetap mengangkat posternya yang bertuliskan “Kita ingin bernapas untuk hidup tapi tak ada udara yang layak dihirup”. Sepenggal puisi dari Adimas Immanuel yang resah melihat kebakaran hutan merajalela tanpa adanya penindakan yang berarti. Setelah massa sudah duduk dengan tenang, orasi pun dimulai. Kinan mendengarkan dengan khidmat, sembari melihat mas-mas dan mbak-mbak yang sibuk membawa air minum kemasan. Dengar-dengar ini sumbangan dari warga sekitar dan seorang tukang becak.

Orasi dibuka dengan satu demi satu perwakilan kelompok bergantian berbicara dengan pengakhiran yang seragam; hidup mahasiswa! Diikuti oleh massa; hidup! Hidup rakyat yang tertindas! Hidup! Hidup perempuan yang bersuara! Hidup! Massa bergema, perayaan kali ini ditutup dengan pembacaan puisi. Pukul 4 menjelang 5 sore massa bergerak meninggalkan lokasi dengan berjalan kaki. Banyak yang mampir untuk makan bakso, bakwan kawi, atau sekadar joget di pinggir jalan setelah mendengar irama musik campursari ala Didi Kempot yang terputar dari sebuah mobil sedan.

Kinan sendiri lebih memilih berfoto bersama seorang temannya yang memegang poster “We’d be in Campus, if You did Your Job” setelah aksi selesai. Dia kemudian berjalan sebentar dan memutuskan membeli es dawet sembari duduk di bawah pohon rindang depan kampus UNY. Lepas itu Kinan berjalan kembali menuju UGM untuk mengambil motornya. Di perjalanan, dia melihat polisi sibuk mengatur lalu lintas yang sempat macet karena aksi #GejayanMemanggil2. Kinan berjalan dan berjalan dengan memeluk poster miliknya. Polisi menatapnya. Kinan mengacuhkannya.

Sebagai sebuah perayaan, aksi #GejayanMemanggil2 setidaknya telah menjadi pertanda bahwa masyarakat hari ini tidak lagi mudah dibodoh-bodohi dengan regulasi yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Perayaan ini tidak diisi dengan pesta atau canda tawa seperti biasanya, tetapi diisi oleh kesedihan dan duka mendalam melihat berbagai masalah yang terjadi di Bumi Pertiwi. Adapun berbagai tuntutan dari perayaan kali ini, seperti; hentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat, tarik seluruh komponen militer, usut tuntas pelanggaran HAM seperti janji Presiden saat kampanye, buka ruang demokrasi seluas-luasnya di Papua, mendesak pemerintah pusat untuk menanggulangi bencana dan menyelamatkan korban kebakaran hutan, tangkap dan adili pengusaha dan korporasi pembakar hutan, cabut HGU dan hentikan pemberian izin baru bagi perusahaan besar perkebunan, mendesak presiden menerbitkan Perpu terkait UU KPK dan Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang sudah disahkan baru-baru ini, mendesak pengesahan RUU PKS, merevisi pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP dan meninjaunya dengan melibatkan elemen masyarakat sipil, menolak RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU Minerba, serta tuntaskan dan adili pelanggaran HAM dan HAM berat.

Di hari yang sama, aksi juga terjadi di berbagai kota lain di Indonesia. Bagi mereka yang apatis akan menganggap ini sebagai sebuah gangguan terhadap aktivitas sehari-hari mereka. Namun bagi yang peduli, aksi ini adalah semacam pengingat bagi para pembuat kebijakan untuk tidak sekali-kalinya mengerdilkan gerakan yang datang dari rakyat. Sebab kita tahu bersama, yang paling tragis dari sebuah negeri adalah ketika pemerintah sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyatnya sendiri.

Banyak media dan orang-orang yang mulai berkomentar di media sosial terkait damainya aksi #GejayanMemanggil2 di Yogyakarta dengan menggunakan tolak ukur aksi di berbagai kota yang harus berakhir bentrok dengan aparat. Cara-cara ini yang sebenarnya tidak elok (kalau boleh meminjam kalimat Pak SBY) dilakukan. Mengapa? Sebab bagaimanapun hasil akhirnya, spirit massa yang melakukan aksi 30 September tetaplah sama, yaitu untuk menjaga napas panjang perjuangan untuk menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya di negara ini. Dan itu sedang, masih, dan akan terus diusahakan oleh siapa saja yang peduli.

Nurul Fadhillah S.

Duta Damai BNPT.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *