free page hit counter

Milenial Ngabuburit Bareng MMR Jogja

Ngabuburit

Milenial Ngabuburit Bareng MMR Jogja

Contents

Pada tanggal 2 Mei bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Komunitas Muslimah Milenial Reformis mengadakan acara Milenial Ngabuburit. Acara ini menghadirkan teman-teman dari lintas komunitas dan ekspresi gender. Acara bertempat di Sanggar Candi Sapta Rengga milik Kerohanian Sapta Darma. Mereka yang hadir adalah 26 peserta offline serta 43 peserta online via zoom meeting.

“Dunia ini bukan hanya tentang hidup kita, tetapi tentang kehormatan dan keselarasan baik itu dengan sesama manusia maupun dengan alam” (Nurlaily Fatayati)

Ngabuburit
Dok. Pribadi

Tujuan Milenial Ngabuburit

Milenial Ngabuburit kali ini bertema “Yuk Ekspresikan Dirimu”. Madam Fata selaku ketua panitia pelaksana menjelaskan tujuan kegiatan ini memberikan ruang aman untuk saling berbagi pengalaman. Yaitu aman dalam mengekspresikan diri sebagai milenial sesuai dengan identitas dan latar belakang masing-masing narasumber dan peserta. Madam Fata juga menegaskan bahwa keberagaman bukanlah sebuah kutukan, akan tetapi keberagaman merupakan sebuah berkah.

Para narasumber yang hadir dalam ngabuburit ini adalah kak Olla dari Pesantren Waria Al-Falah Yogyakarta, Mas Bagas dari Koalisi Pemuda Hijau Indonesia chapter Yogyakarta dan Mas Baskoro dari ketua remaja Penghayat Kepercayaan Sapto Darmo. Sedangkan para peserta offline merupakan kelompok pemuda Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Perwakilan dari Yayasan Satunama, mahasiswa CRCS UGM, YIPC Yogyakarta dan teman-teman dari paguyuban penghayat kepercayaan.

Panitia mengemas acara secara milenial. Sehingga tidak kaku atau formal seperti seminar atau webinar. Namun lebih mengarah kepada dialog interaktif yang mengedepankan asas kemanusiaan dan kekeluargaan.

Ikatan waria Yogyakarta pada Milenial Ngabuburit

Kak Olla merupakan pengurus Ikatan Waria Yogyakarta atau IWAYO menceritakan kegiatan-kegiatan yang teman-teman transpuan lakukan di Pesantren Waria Al-Falah Kota Gede Yogyakarta. Di sana, para transpuan melakukan kegiatan belajar mengaji dan ilmu agama. Ada teman-teman yang belajar mengaji mulai dari iqra’ hingga al-Qur’an. Selain itu, mereka juga melakukan pendampingan dan advokasi sosial di lingkungan sekitar pesantren. Dengan cara membagikan sembako dan makanan berat seperti nasi dan lauk pauk.

Setiap hari minggu, mulai pukul 16.00 WIB hingga selesai sholat isya’ para transpuan memiliki kegiatan di pesantren. Mereka juga pernah melaksanakan tanam pohon bersama pengurus Gunung Andong Magelang. Dan menjadi satu-satunya komunitas transpuan yang pernah melakukan tanam pohon di sana.

Milenial berdampingan dengan alam

Sedangkan mas Bagas, selaku aktivias lingkungan memberi pesan bahwa tidak ada kemajuan ekonomi dibawah kerusakan ekologi. Dia mengajak para milenial untuk lebih peka terhadap fenomena kerusakan linkungan yang berdampak pada perubahan iklim khususnya di Indonesia. Bagi Mas Bagas, bergabung di KOPHI menjadi satu gerakan untuk membantu menyebarkan informasi dan menjaring relasi guna menyuarakan isu-isu lingkungan di masyarakat. 

Selaku penghayat kepercayaan yang masih belum banyak masyarakat kenal, Mas Baskara menayangkan slide dan menjelaskan secara runtut apa sebenarnya Penghayat Kepercayaan Sapto Darmo. Mas Baskara sudah menjadi penghayat sejak kecil. Meski pada awalnya dia pernah memeluk agama Islam sekaligus percaya pada aliran kebatinan Sapto Darmo. Kini Mas Baskara memilih untuk memfokuskan keyakinannya pada kepercayaan Sapta Darma. Bapa Panuntun Agung Sri Gutama adalah pembawa keyakinan ini. Beliau menerima wahyu pada Jum’at Wage tanggal 27 Desember 1952 di kampung Koplakan, Pare, Kediri, Jawa Timur.

Hingga saat ini, Penghayat Sapta Darma sudah mulai melebarkan sayapnya. Negara mengakuinya sebagai suatu kepercayaan yang berhak untuk mendapat perlindungan. Mendapat pengakuan meski secara administrasi mereka masih mengalami berbagai kesulitan. Ajaran yang ada di Sapta Darma adalah sujud, wewarah tujuh dan sesanti. Sesanti ini berisi bahwa kepada siapa saja, warga Sapta darma harus bersinar laksana surya.

Milenial Berdaya Guna

Setelah pemaparan dari ketiga narasumber, panitia mempersilakan peserta untuk menyampaikan ekspresi identitasnya. Yaitu dengan cara memperkenalkan diri, asal organisasi atau komunitas serta aktivitas apa saja yang mereka geluti. Terutama aktivitas di masa pandemi.

Petrus Eko dari pemuda Katolik Yogyakarta bercerita bahwa selama masa pandemi komunitasnya membantu kesejahteraan masyarakat dengan berbagi sembako, hand sanitizer dan juga masker. Sementara teman-teman transpuan membagikan sembako sekaligus uang bulanan khususnya bagi para lansia yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Kegiatan ini bertujuan agar bisa membantu para lansia bertahan hidup dengan kecukupan bahan pangan.

Eka Putera dari kelompok pemuda Konghucu Yogyakarta bertutur belum ada kegiatan secara kolektif dengan teman-teman Konghucu. Sebab komunitas ini tidak bisa sembarangan melaksanakan kegiatan karena harus mendapatkan izin dari pusat. Terlebih lagi, sumber daya manusa (SDM) yang minim di Yogyakarta serta syarat kegiatan yang wajib menggunakan Bahasa Mandarin pada setiap kegiatan.

Kita tidak Pernah hidup sendiri

Apa yang telah teman-teman sampaikan dari berbagai latar belakang ini menjadi bukti bahwa sejatinya kita tidak pernah hidup sendirian. Selama kita mau untuk bergandengan tangan dan saling memahami maka kita dapat menciptakan perdamaian. Sikap toleransi dapat mengikis diskriminasi dan ujaran kebencian antar sesama manusia.

Kita tidak perlu memiliki pengalaman personal untuk bisa berempati dengan orang lain. Tidak perlu mengenal seseorang untuk bisa menunjukkan dan memvalidasi apa yang orang lain rasakan. Hanya butuh untuk memanusiakan sesama manusia!

Share this post

Comments (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *