Sharing Time Bersama Ustad Hanan Attaki
Contents
Pertama Ikut Sharing Time
Setelah menunggu dua bulan lebih akhirnya akhir Oktober lalu penulis bisa ikut sharing time bersama Ustad Hanan Attaki. Ini pertama kali penulis jumpa langsung dengan UHA yang terkenal dengan gaya santainya. Jujur ikut acara ini dengan ekspektasi yang besar. Paling tidak bisalah dapat ilmu atau semacam pencerahan dan motivasi seperti yang biasa beredar di lini masa.
Ya seperti yang kita tahu, segala sesuatu tergantung niatnya. Kalau pun niat awalnya ingin menimba ilmu, eh ternyata dapat bonus yang lain yang indah maka alhamdulillah, artinya Allah memberi dengan sebaik-baik pemberian. Kalau toh ternyata apa yang kita harap ternyata tidak terkabul, tetap Allah adalah sebaik-baik pemberi. Bisa jadi apa yang kita harapkan itu ternyata tidak baik untuk kita jadinya Allah kasih ganti yang lebih baik.
Suasana dalam sharing time bersama UHA ini memang tidak jauh beda dengan video-video yang sering kalian lihat baik di tiktok, Facebook, instagram maupun youtube. Ya seramai dan sesantai itu acaranya. Dengan model lesehan ngadep ke panggung. Tidak ketinggalan layar tancep besar sehingga yang kebagian duduk di belakang masih bisa ikut melihat ustad secara langsung lewat layar.
Penulis hadir di sesi sore, ba’da ashar mulai dan berakhir di jelang magrib. Suasana cukup crowde mengingat banyaknya peserta. Bahkan acara setengah empat sore, sudah open gate sejak pukul dua lima belas. Karena memang seramai itu. Saking ramainya ballroom hotel Tentrem sudah seperti lautan manusia. Di satu sisi senang karena kajian juga tidak kalah heboh dengan suasana konser musik.
Mengingat begitu banyaknya orang, wajar jika sebelumnya panitia telah mengingatkan untuk tidak membawa anak usia bahwa 7 tahun. Memang terlalu beresiko.
Berawal Dari Kutipan
Di Indonesia banyak pendakwah, banyak ustad ustadzah, banyak kajian yang bisa setiap waktu diikuti. Tapi kenapa penulis ingin sekali bisa ikut sharing time Ustad Hanan Attaki? Semuanya berawal dari kutipan-kutipan atau quote yang sering UHA bagikan.
Kutipan itu mengandung banyak sekali makna. Belum lagi memang pengemasannya dengan bahasa kekinian yang lagi happening banget. Juga yang tidak kalah menarik adalah tema-temanya erat dengan dunia psikologi. Pas dengan isu yang lagi hangat di kalangan anak muda, apalagi kalau bukan perkara kesehatan mental.
Coba saja siapa pun untuk menyaksikan beberapa cuplikan kajian bersama UHA pasti akan merasa related. Karena ternyata memang UHA juga membenarkan demikian. Beliau sendiri pernah ada dalam fase trauma yang sangat dahsyat terkait bencana Tsumami Aceh. Kita tidak tahu sejauh mana trauma itu namun tampak sangat membekas dalam benak beliau.
Maka wajar jika kajiannya mendapat simpati dan digandrungi oleh muda mudi kekinian. Tidak heran jika kajian-kajian beliau meski berbayar lumayan juga tetap banyak yang hadir. Bahkan saking banyaknya yang minat dalam sehari bisa sampai empat kali kajian di lokasi yang sama dengan audience berbeda.
Sosial Media Sebagai Wadah Dakwah
Bagi penulis, UHA adalah sosok yang telah berhasil memanfaatkan sosial media untuk kebaikan. Tengok saja sudah berapa banyak sosial media yang saban harinya menayangkan cuplikan video beliau? Ini menunjukkan bahwa apa yang beliau sampaikan mampu mempengaruhi pendengarnya.
Sosial media atas nama UHA bahkan sampai tidak bisa dibedakan mana yang asli mana yang KW. Dakwah-dakwah dan syiar beliau bisa melampaui batas benua karena disiarkan lewat dunia maya.
Agaknya konten-konten positif seperti ini perlu diperbanyak lagi. Bukan hanya konten milik UHA tapi juga milik yang lain bahkan kamu. Selama konten yang kita unggah di sosial media adalah konten positif insyaallah akan membawa manfaat dan keberkahan untuk pengunggahnya.
Semoga kita semua selalu mendapat petunjuk untuk tetap menyebarkan konten-konten kebaikan. Lebih baik diam daripada posting tapi isinya ujaran kebencian.
Sharing Time Berbayar
Memang benar untuk ikut sharing time bersama UHA harus pesan tiket dulu sebelumnya. Tiket dijual dengan harga seratus sepuluh ribu rupiah. Tidak ada beda-beda level atau kelas. Semua sama rata. Bahkan yang duduk di depan maupun yang di belakang, tiketnya sama. Kalau mau bisa dapat barisan depan maka harus datang lebih awal.
Perkara tiket berbayar ini, penulis sempat diolok-olok oleh koleganya. Karena menurut si kolega tidak seharusnya kajian memungut tiket masuk alias berbayar. Masih menurut si kolega harusnya kajian itu cukup dengan infaq seikhlasnya dari hadirin.
Mendapat komentar demikian, penulis tidak ambil pusing. Bagi penulis memang benar seharusnya kajian itu yang penting ilmunya, dan masalah bayaran itu hal lain lagi. Kalau sharing time ini memang berbayar penulis paham karena untuk menutupi segala kebutuhan termasuk fasilitas sepanjang acara.
Mau Datang Lagi, kah?
Namun untuk harga 110K memang agak kurang memuaskan dengan benefit yang diberikan: air minum, notebook, bolpoint. Tempatnya pun lesehan saja. Tapi masih bisa maklum sebab lokasinya di ballroom hotel bintang lima.
Yang agak kurang hanya pada kapasitas peserta. Terlalu banyak sehingga tampak sangat berdesakan. Tidak semua hadirin bisa nyaman. Mungkin sebagian nyaman tapi sebagian yang lain ada yang mengeluh ini itu. Mungkin bisa jadi bahan evaluasi entang kapasitasnya. Kalau memungkinkan kasih kuota saja daripada membeludak.
Belum lagi pas bagian solat jamaah. Tidak tahu bagaimana dengan jamaah pria di depan tapi di jamaah putri seperti terpecah. Shaf bolong-bolong karena tidak semua hadirin perempuan solat. Belum lagi harus punya wudhu jika tidak mau repot antre berwudhu. Dan penulis sedikit kecewa karena sempat mengira yang bakal jadi imam solat adalah Ustad Hanan Attaki sendiri. Ternyata orang lain.
Terakhir penulis hanya mau bilang kalau datang ke kajian sharing time bersama Ustad Hanan Attaki tidak ada ruginya. Meski harus rela macet di depan hotel, rela antre di pintu masuk bahkan harus berdasarkan di dalam sepanjang acara. Tidak apa-apa.
Beda dengan kenalan penulis yang bilang: aku suka Ustad Hanan Attaki tapi kalau suruh datang ke acara yang sama, aku tidak sanggup.
Tinggalkan Balasan