free page hit counter

Visi Misi Corona

Visi Misi Corona

Di sebuah lereng gunung, rimbun, yang kadang dijadikan kasur oleh dua sejoli untuk melepas rindu, kehangatan, dan kisah-kasih yang lain kisah ini bermula.

Suasana terasa sejuk, Auda duduk termenung mengingat-ingat masa lalunya di situ. Perempuan dengan usia siap menikah itu, terlihat menyesal dengan penuh sesal yang sangat.

Suara lirih keluar dari bibir bergincu, “Tuhan, jalanku yang dulu, kini akan aku ubah. Aku akan mencintai-Mu tanpa pamrih apa pun. Bersihkan hatiku dari segala kemunafikan. Tolong…”

Pahanya yang kering, kini basah oleh hujan air mata. Tak lama, datang seorang diliputi cahaya warna hijau. Orang itu berkata, “tenang. Aku datang untuk membersihkanmu dari segala kepalsuan dunia ini. Dan, aku akan menyiramimu dengan air kebaikan hingga engkau bisa menyaksikan apa saja yang tersembunyi, yang tak kasat mata. Kau akan menjadi orang baik.”

Medengar itu Auda ketakutan.

Tanpa mincla-mincle, Auda dibaringkan dan dieksekusi. Sangat singkat, kerja cepat, dan hasil memuaskan. Auda telah berubah. Ia tampak cerah, lebih cantik dan tidak membosankan mata. Senyumnya yang mengembang bagai kupu-kupu kini telah memberikan suasana baru. Indah.

“Aku sekarang mengenalmu. Terima kasih, sampaikan salamku pada Tuhan, ” kata Auda pada cahaya hijau yang berbentuk manusia itu. Cahaya itu hanya mengangguk. Lalu, terbang jauh. Lenyap. Senyap.

Auda bergegas pulang. Di perjalanan, ia bertemu dengan segerombolan makhluk kecil, sangat kecil dan tak terlihat oleh mata orang biasa.

“Siapa kamu?” tanya Auda pada makhluk kecil itu.

“Aku adalah virus. Orang-orang menyebutku Corona. Di berita dan media, aku ditulis Covid 19,” jawab satu makhluk kecil mewakili teman-temannya.

“Untuk apa kau datang ke sini?” tanya Auda penasaran.

“Aku ditugaskan untuk mengurangi jumlah manusia. Sebab kehidupan ini sudah terlalu kacau.”

“Berapa lama kau ditugaskan? Dan, berapa orang yang akan kau bunuh?”

“Tak lama, hanya dua bulan. Aku hanya ditugaskan untuk membunuh seribu orang sedunia.”

“Siapa saja orang-orang itu?

“Dia yang tak mau bersyukur. Yang suka membuat kekacauan. Yang tidak toleransi. Dan, mereka yang sering menyebar berita hoax.”

“Baiklah. Kerjakan tugasmu dengan baik. Jangan sampai salah sasaran.”

Kemudian, Auda dan virus-virus itu saling menjauh.

*

Kehidupan Auda telah benar-benar berubah, dari yang awalnya suka gonta-ganti pasangan, hingga rutin minum anggur menjelang tidur. Kini, ia aktif di organisasi kemanusiaan. Ia juga aktif menulis tentang pentingnya toleransi dan perdamaian. Bahkan tak hanya itu, ia seringkali memotivasi teman-temannya untuk memilih jalan yang baik.

Menjelang sore, saat matahari tinggal sejengkal untuk berselimut malam, Auda bertemu City yang merupakan teman akrabnya, dimana ia suka teriak-teriak bela agama.

“Eh, City. Dari mana? Lockdown, kok, jalan-jalan terus. Sini mampir,” sapaan Auda pada City yang sedang melewati depan rumahnya.

City pun melipir mampir, duduk di depan teras. Mereka mengobrol.

“Dari mana?” Tanya Auda pada City.

“Tadi rencana mau pergi pengajian di masjid Al-Manar, cuma sudah banyak jalan yang ditutup. Jadi, saya balik saja,” jawab City.

“Ya, ndak usah keluar. Sekarang kan memang musim virus.”

“Loh, pengajian harus tetap jalan. Masak takut sama virus. Kegiatan keagamaan jangan sampek terhenti.”

“Iya, paham. Cuma di sini masuk zona merah. Jadi, sebaiknya kita hati-hati. Mencegah itu lebih baik. Udah tau, kan. Makanya, ikuti aturan pemerintah.”

“Ndak bisa gitu. Aturan pemerintah, ya, untuk pemerintahan. Ini kan soal urusan keagamaan. Ya, harus tetap kita tegakkan. Lagian, ini untuk kebaikan, dan kalau mati dalam kebaikan, pasti hasil akhirnya baik,” jawab City dengan nada ngeyel.

“Maaf, ya.. Ayolah jangan ceroboh. Kata KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah, ‘Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kamu tawarkan, kalau Allah menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.’ Ingat, sekarang banyak orang yang gara-gara virus ini, mereka kehilangan pekerjaannya. Jadi, sekarang komitmenmu terhadap agama akan kelihatan dengan kamu siap atau tidak memberikan sebagian hartamu untuk saudara-saudara kita yang sedang membutuhkan itu. Kalau kamu tidak siap, dan masih egois untuk kehidupanmu sendiri, mulai sekarang tidak usah teriak-teriak lagi bela agama. Tak usah kamu deklarasikan hidupmu untuk agama kalau tak mau berbagi. Maaf, ya… kalau kata-kataku tak membuatmu nyaman.”

“Tidak apa-apa. Sudah adzan Maghrib. Saya pamit pulang dulu,” kata City yang kemudian bergegas putar balik.

“Hati-hati,” kata Auda, tanpa mendengar jawaban lagi.

**

Kala itu, setelah satu bulan setengah. Hari yang cerah. Auda sengaja tak lockdown, ia keluar rumah untuk mencari virus-virus itu. Ia sangat kesal, sebab virus-virus itu tak menepati janjinya.

Sekitar seratus miter dari rumahnya, Auda menemui virus-virus itu menempel di tiang listrik. Tepatnya di kertas yang ditempelkan di cagak kabel itu dengan tulisan “Telat Datang Bulan, Silahkan Hubungi Nomor Berikut:,.”

“Corona, kenapa kau tak menepati janjimu? Katanya kamu hanya akan membunuh seribu orang sedunia. Tapi, info Covid 19 global sudah mencapai satu juta orang lebih yang meninggal?”

“Lah, itu bukan salahku. Sumpah, demi Tuhan, yang aku masuki hanya seribu orang. Selain itu, mereka yang mati, yang jumlahnya lebih besar dari yang aku bunuh, itu mati karena ketakutan,” jawab salah satu Corona.

“Mati karena ketakutan,” kata Auda dan diam sejenak, berpikir. Lalu lanjut bicara, “Sekarang berapa lama lagi kamu tinggal?”

“Tinggal 15 hari lagi. Katakan kepada mereka, jangan takut. Dan jangan lupa, katakan juga agar tidak membuat kekacauan. Khawatir aku ditugas untuk lebih lama lagi.”

“Baiklah. Akan kukatakan bahwa kamu sebenarnya tak sekejam itu wahai makhluk lemah.”

Akhirnya, Auda dengan gigihnya mengajak orang-orang untuk selalu berpikir positif, tidak membuat kekacauan, kegelisahan, dan mewanti-wanti agar tidak menyebar berita yang belum pasti kebenarannya. Kata Auda yang sering dibicarakan, “Saring sebelum sharing,” dan “Di rumah aja dulu.”

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *