MIRA ADALAH KORBAN KEBRUTALAN HASRAT MANUSIA
Kasus pembunuhan terhadap seorang transpuan di Cilincing memenuhi beberapa media belakangan ini. Tidak hanya pada kolom berita saja, kolom opini pun ramai oleh orang-orang yang mencoba membagikan perspektifnya. Biasanya untuk mendukung hal ini mereka menggunakan data dari organisasi-organisasi yang fokus terhadap kelompok minoritas, Arus Pelangi misalnya.
Persoalan kekerasan terhadap transpuan memang tidak pernah sepi di Indonesia. Namun bukan itu yang akan dibahas kali ini. Sebab transpuan atau bukan, aksi kekerasan seperti main hakim sendiri tidak bisa ditolerir. Aksi ini menjadi bukti bahwa di dalam jiwa tiap manusia terselip monster yang tinggal menunggu kapan dia akan keluar dan memperlihatkan wujud aslinya.
Masih ingat dengan kasus seorang pemuda yang mencuri kotak amal di masjid dan dibakar oleh warga setempat? Pemuda itu bertubuh sehat, seorang lelaki tulen yang membutuhkan uang dan mencuri di masjid adalah solusi yang terlintas dalam kepalanya. Mungkin dia merasa Tuhan tidak keberatan jika uang itu diambil di rumah-Nya. Toh bukankah Tuhan tidak akan membiarkan umat-Nya susah? Tapi itu persoalan lain. Intinya, dia yang berperawakan sebagai lelaki dewasa saja bisa dibakar oleh orang lain, apalagi transpuan.
Transpuan adalah target kekerasan tertinggi berbasis orientasi seksual dan gender di Indonesia. Menurut penelitian dari Arus Pelangi yang dikutip oleh Tirto (Briantika, 2020) selama kurun waktu 2006 hingga 2018, transpuan menempati urutan tertinggi dengan persentase 88% sebagai korban tindak pidana kelompok LGBT. Namun sekali lagi, penelitian ini melihat dari kekerasan yang berbasis orientasi seksual. Sementara kasus Mira, seperti yang disebarkan oleh banyak media, tidak ada ungkapan bahwa terduga pelaku menghabisi nyawa Mira karena dia homofobia pada Mira yang seorang transpuan. Tidak ada. Maka poin pentingnya di sini adalah mereka membakar (atau tidak sengaja membakar) Mira karena Mira tidak mengaku dia mencuri ponsel dan dompet seorang sopir. Meskipun tentu belum diketahui apakah saat kejadian ada kata-kata diskriminatif yang terlintas, semisal “Bakar aja bencong ini” atau “Bunuh aja waria ini”. Jadi kembali lagi, sebaiknya kita tidak menyimpulkan sesuatu yang belum kita ketahui pasti dan mari berfokus melihat hal yang memang sudah terbukti.
Hidup Mira direnggut oleh sekelompok pria jagoan yang melihat Mira lemah dan tidak berdaya. Mira hanyalah transpuan tanpa KTP dan orang tua. Ketika Mira mati, tidak akan ada yang mencarinya di kota metropolitan. Hal ini bisa memberikan kita gambaran bahwa manusia memang lebih mudah mencari perbedaannya dengan orang lain dibanding mencari persamaannya. Sekelompok pria itu melihat seorang transpuan tua, terjongkok, dan tidak memiliki kekuatan. Berbeda jauh darinya yang kuat, lelaki tulen, dan bernyali besar.
Banyak orang tidak mengerti rasanya menjadi Mira. Sebab mereka bukan transpuan yang berhijrah ke ibu kota setelah ditolak oleh keluarganya di Makassar karena orientasi dan identitas gendernya. Mereka bukan transpuan yang hanya bersekolah sampai SD dan terpaksa menjadi PSK untuk menyambung hidup. Mereka bukan Mira. Namun mereka suatu saat bisa menjadi Mira jika budaya menjijikkan seperti ini tidak segera dihentikan.
Aksi kekerasan dengan cara main hakim sendiri telah mendarah daging di Indonesia. Ketika ini terjadi, tidak ada lagi yang melihat korban sebagai manusia seutuhnya, manusia yang berhak hidup. Semua pelaku merasa harus mengadilinya, semua pelaku merasa sudah sepantasnya korban diperlakukan seperti ini. Sudah kukatakan sebelumnya bahwa manusia itu monster, bukan? Sebenarnya apa yang membuat manusia seperti ini? Hasrat? Bisa jadi. Kalau kata Lacan, hasrat ini ada untuk mempersepsikan sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang tidak dipenuhi oleh kebutuhan lewat instrumental logis. Maka bisa kamu bayangkan, jika di dalam jiwa kita ada monster yang mendesak untuk dipenuhi kesenangannya dengan menganiaya orang lain?
Hasrat ini tidak akan pernah hilang selama manusia masih hidup. Sebab seperti kata Lacan, manusia dilahirkan dalam kondisi serba kurang atau lack. Sepanjang usianya akan dihabiskan dengan mengatasi kondisi ini. Jika itu tidak pernah habis, setidaknya itu dipuaskan lewat apapun. Apa yang cukup menyeramkan dari ini adalah kekurangan yang dirasakan oleh hasrat manusia selalu hadir dalam bentuk yang berbeda. Hasilnya, manusia hanya mewujudkan imajinasi yang mereka bayangkan. Hasrat, adalah sesuatu yang berada jauh di luar jangkauan manusia. Maka mustahil itu dapat terpenuhi.
Bisa dibayangkan jika siapapun yang menyiram Mira, siapapun yang menyalakan korek, dan siapapun yang menyenggol si pemegang korek hingga api membakar tubuh Mira memiliki hasrat untuk menjadi jagoan, menjadi yang paling gagah karena mematikan seseorang, mematikan transpuan tua yang tidak berdaya. Apa kamu bisa menebak akhirnya seperti apa? Ya, jika orang semacam ini tidak dihukum maka dia akan terus menerus ada, berkeliaran, dan menyalurkan hasratnya pada siapa saja. Tapi tunggu dulu. Bukannya setiap manusia memiliki hasrat? Kamu dan aku juga bisa menjadi korban, kita juga bisa menjadi Mira. Jika kamu bertanya padaku apa yang bisa kita lakukan, maka jawabanku adalah tidak ada. Kita bisa menjadi Mira, kita pun bisa mejadi pria itu. Kita bisa menjadi siapa saja. Maka mulai sekarang sebaiknya perhatikan dirimu! 🙂
Tinggalkan Balasan