free page hit counter

Ramadan: Bulan Keberkahan atau Perpecahan?

Bulan Ramadan

Ramadan: Bulan Keberkahan atau Perpecahan?

Contents

Rasa-rasanya tidak ada yang dapat membantah bahwa Ramadan adalah bulan mulia. Seminim-minimnya dalam pandangan umat Islam. Hal menarik lain dari bulan mulia ini ialah kejadian-kejadian yang teramat khas. Mulai dari cara membangunkan sahur yang ugal-ugalan hingga himbauan Kementerian Agama untuk mengecilkan pengeras suara tempat ibadah (baca: masjid).

Hal-hal di atas dapat kita jumpai secara eksklusif di bulan yang mulai ini. Apalagi bulan Ramadan tahun ini terdapat angin segar bagi koeksitensi umat beragama. Tepat di minggu-minggu pertama puasa, tidak sedikit umat nonmuslim yang ikut berburu takjil. Barangkali ini adalah fenomena sederhana namun sarat makna untuk kerukunan umat beragama.

Membahas Ramadan, ada satu hal menarik yang tidak pernah saya lupakan setiap bulan suci ini. Saya percaya bahwa bulan ini adalah bulan penuh berkah. Sebagaimana saya juga percaya bahwa bulan Ramadan ini dapat mengundang perpecahan. Mungkin Anda bertanya-tanya bagaimana bisa bulan yang penuh berkah ini dapat mengundang perpecahan? Mari kita berefleksi secara berjamaah.

Perbedaan Awal Ramadan

Tahun ini bukan kali pertama perbedaan awal puasa. Tahun-tahun sebelumnya, kita telah lazim dengan hal yang semacam itu. Kendati demikian, perbedaan awal bulan ini bisa menjadi persoalan besar tatkala umat beragama masih memelihara ego sektarian. Kelompok yang puasa lebih awal mengira bahwa itu lebih afdal. Demikian pula yang puasanya lebih belakangan. Pada puncaknya yang terjadi justru klaim-klaim merasa benar sendiri.

Dari perasaan merasa benar sendiri inilah kemungkinan muncul gesekan-gesekan. Memang benar bahwa gesekannya tidak dalam bentuk kekerasan fisik. Namun, biasanya hal tersebut berbentuk perdebatan-perdebatan kurang produktif. Debat yang bukan dalam rangka mencari kesepahaman, melainkan menang-menangan. Benar ‘kan Ramadan bisa dapat mendatangkan perpecahan?

Jumlah Rakaat Salat Tarawih

Setelah masuk bulan Ramadan, perbedaan-perbedaan itu bukan seketika hilang. Muncul perbedaan lain yang kalau tidak kita manajemen dengan baik berpotensi menjadi gesekan lagi, yakni perbedaan rakaat tarawih. Dalam sebuah masyarakat yang heterogen—maksudnya banyak ormas—fenomena semacam ini tidak terbantahkan.

Saya menjadikan Yogyakarta sebagai sampel terbaik untuk hal ini. Seminimnya terdapat dua jumlah rakaat, yakni 20 rakaat plus 3 rakaat witir kalau tidak 8 rakaat plus 3 rakaat witir. Salat tarawih yang 8 rakaat ini terbagi dua lagi, dua rakaat salam dan empat rakaat secara langsung lalu salam. Bukankah ini realitas yang sangat menunjukkan bagian-bagian dari Ramadan yang penuh perbedaan sekaligus potensi gesekan?

Perbedaan Hari Raya

Perbedaan terakhir yang dapat muncul tatkala Ramadan adalah terkait hari raya. Benar bahwa tahun lalu dan kemungkinan besar tahun ini semua sepakat terkait dengan hari raya. Namun, sebagaimana awal bulannya, akhir bulan Ramadan ini berpotensi untuk melahirkan perbedaan-perbedaan yang niscaya.

Saya teringat salah satu tulisan dosen saya yang berjudul Problem Hilal Awal Syawal 1438. Waktu itu tahun 2017 tepatnya 25 Juni, di mana Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Pemerintah sepakat Idul Fitri dirayakan di hari yang sama. Namun, dalam tulisan itu disinggung bahwa di luar organisasi arus utama tersebut, masih terdapat perbedaan dari kelompok-kelompok lain.

Apa yang menarik di sini bukanlah kesamaan antara ormas arus utama, melainkan peluang-peluang perbedaan itu. Lagi-lagi hal ini dapat menimbulkan gesekan yang tidak semestinya manakala tidak ada manajemen dan kendali diri yang kokoh.

Terakhir, untuk menjawab pertanyaan saya di judul, kita hanya perlu berefleksi. Apakah di bulan Ramadan ini kita makin mempererat persaudaraan atau malah perpecahan? Sekian, Wallahu A’lam.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *