Belajar Dari Sejarah Perjalanan Terbentuknya Piagam Madinah
Contents
Hijrahnya Nabi Muhammad S.A.W. dari Mekah ke Madinah menghasilkan suatu tatanan penting dalam kehidupan sosial di Madinah yang menjadi simbol perdamaian antar umat. Keinginan menciptakan tatanan masyarakat adil, makmur dan sejahtera memberi ide Nabi Muhammad untuk merumuskan sebuah dokumen yang bernama Piagam Madinah atau bisa disebut Mitsaq al-Madinah pada tahun 622 M. Piagam ini berisi sebanyal 47 Pasal yang kemudian menjadi pedoman utama kehidupan bermasyarakat di Madinah sehingga terbentuk kesatuan hidup di antara penduduknya.
Sebelum Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah, selama ratusan tahun terjadi konflik antar 2 kabilah besar yang ada di Yatsrib, nama kota sebelum Madinah. Kabilah Aus bersama Sekutu Yahudi bani Quraizhah bertikai dengan kabilah Khazraj bersama Sekutu Bani Yadhir dalam jangka waktu 120 tahun lamanya. [1]Perseteruan 2 kelompok suku terbesar di Yatsrib tersebut setidakanya terjadi 4 perang besar yaitu, perang Sumir, perang Ka’b, perang Hathib dan perang Bu’ats.[2] Para tokoh-tokoh antar kedua kabilah menyadari bahwa kondisi sosial-politik di kota Yatsrib mengalami krisis akibat konflik yang tidak berkesudahan. Kedua belah pihak meyakini bahwa perselisihan tersebut harus diakhiri agar tidak mengakibatkan kerugian besar untuk ke depannya.
Di tahun 622 M, Nabi Muhammad bersama kaum muslim di Mekah dengan jumlah masih sedikit hijrah menuju Yatsrib. Selama 13 tahun di Mekah, Nabi Muhammad dan umat Islam mengalami kesulitan memberi dakwah yang kemudian belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik di suatu wilayah. Beliau bersama umat Muslim lainnya berangkat dari Mekah melewati jalan Yatsrib-Yaman hingga mencapai di Gua Tsur dan bermalam disana selama tiga malam.
Latar Belakang Terbentuknya Piagam Madinah
Kaum Quraisy yang tidak ingin proses hijrahnya Nabi Muhammad beserta umatnya gagal mencoba mengejar mereka sampai di Gua Tsur. Namun, usaha itu gagal karena kaum Quraisy mengira kalau Gua Tsur bukan tempat persembunyiannya sehingga keberadaan Nabi Muhammad aman. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menuju Quba, sebuah desa yang ada di sekitar Yatsrib dengan jarak sekitar 5 kilometer. Pada tanggal 12 Rabiul Awal, Nabi Muhammad beserta umat Islam tiba di Yatsrib, disambut kaum Anshar.
Setelah hijrah ke Yatsrib atau Madinah, umat Islam mempunyai kedudukan yang kuat dan mampu berdiri sendiri. Komuntias Islam itu terdiri dari kaum Muhajrin dan Anshar. Di antara penduduk lainnya seperti orang Yahudi, Nasarani dan sisa orang Arab yang belum memeluk Islam. Inti dari Piagam Madinah yakni warga Muslim dan warga non-Muslim di Madinah merupakan satu bangsa, bersama umat lainnya seperti orang Yahudi dan Nasrani akan dilindungi dari segala bentuk penindasan, penistaan dan gangguan.
Awal kedatangan di Madinah pada tahun 621 M di suatu wilayah bernama Mina, didatangi oleh dua suku besar Khazraj dan suku besar Aus yang kemudian memberi jaminan keselamatan untuk Nabi Muhammad.[3] Beliau selanjutnya menunjuk 12 tokoh dari kedua suku besar tersebut, yakni 9 tokoh dari suku Khazraj dan 3 tokoh dari Aus, menempati posisi kedudukan al-Nuqabak (pembesar pengawal). Sejak saat itu, mulai terjalin persaudaraan yang harmonis antara kaum Anshar dan kaum Muhajrin. Masalah yang dihadapi selanjutnya dengan kaum Yahudi Yatsrib, terdiri dari Bani Quraizhah, Bani Nadhir dan Nani Qainuqa. [4]Hal ini dipicu karena Nabi Muhammad berasal dari Bani Ismail bukan Bani Israil sehingga muncul rasa dengki terhadapnya.
Penyusunan Piagam Madinah
Nabi Muhammad menyadari betul sejak hijrahnya ke Madinah bahwa masyarakat yang dihadapi merupakan sebuah masyarakat majemuk dengan masing-masing kelompok bersikap bermusuhan terhadap yang lain. Perlu adanya penataan dan pengendalian sosial dalam mengatur hubungan antar golongan seperti pada sektor sosial, ekonomi, politik dan agama. Beberapa langkah dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan toleran di Madinah. Pertama, membangun masjid yang berfungsi dari sisi agama menjadi tempat memperkuat hubungan dan ikatan antara anggota jamaah. Kedua, membangun ukhuwah secara kuat antara orang Islam Mekah dan Madinah. Melihat dua langkah sebelumnya masih bersifat internal yang ditujukan hanya kepada umat Islam. Langkah ketiga Nabi Muhammad menyusun perjanjian tertulis yang menegaskan pada persatuan yang erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjaga kebebasan beragama kepada semua golongan, menjalin kerja sama, mementingkan persamaan hak dan kewajiban golongan pada kehidupan sosial politik agar tercipta perdamaian.[5]
Nabi Muhammad dapat menempatkan diri untuk menjadi pemimpin Madinah ketika berada dalam kehidupan sosial di tengah komunitas-komunitas lain. Agama Islam, ditonjolkan sebagai agama yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi satu kesatuan dalam aspek sosial, budaya dan politik. Selain itu, kontribusi lain yang dicapai oleh Islam di Madinah menghasilkan rekonsiliasi ditengah keanekaragaman komunitas yang diantaranya, kaum Muhajrin, kaum Anshar dengan orang Yahudi menghasilkan suatu perjanjian tertuisi berisi mengenai pengakutan agama-agama mereka dan harta-harta mereka dengan syarat timbal balik. Lewat hijrah, masyarakat Islam dapat mempersiapkan diri pada tegaknya ukhuwah antar umat. Lingkungan islami tidak hanya masyarakat yang terdiri dari orang Islam, tapi menunjukkan terdapat prinsip-prinsip berkeadilan dalam tatanan masyarakat secara universal.
MADINAH ADALAH KOTA BERBUDAYA
Proses hijrah ini menjadi pedoman dasar bahwa kota Madinah merupakan kota berbudaya, dilihat dari beragamnya aspek agama terdiri dari kaum Anshar, kaum Muhajrin dan Yahudi. Hal ini menjadi dasar pondasi kuat bagi sistem pemerintahan Islam di Madinah secara luas. Di Madinah, Nabi Muhammad tidak sekedar pemimpin keagamaan, tapi seorang pemimpin pemerintahan bagi multi etnis dengan keyakinan agama berbeda di Madinah. Pluraritas masyarakat bisa menjadi ancaman ke depannya karena kemungkinan timbulnya konflik yang mengganggu integritas kesatuan. Sadar hal tersebut, Nabi Muhammad berinisiatif membuat Piagam Politik atau Piagam Madinah. Perjajian dengan Yahudi dapat dikatakan sebuah kontrak sosial pertama dala sejarah umat manusia yang membina kesatuan hidup kepada golongan warga Madinah.[6] Maka, peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah merupakan awal mula berdirinya tatanan sosial dan politik bagi sejarah perkembangan Islam.
Piagam Madinah berisi tentang kebebasan beragama, hubungan antar golongan, kewajiban mempertahankan kesatuan dengan tatanan hidup yang setara untuk semua golongan yang berbeda ras, keturunan dan agama. Kesepakatan kontrak sosial tersebut menjadi dokumen konstitusi yang kemudian melahirkan negara berdaulat. Nabi Muhammad setelah Piagam Madinah dibuat pada tahun 622 M tidak hanya menjabat tugas-tugas keagaamaan, tapi juga sebagai Kepala Negara.
PRINSIP DASAR PIAGAM MADINAH
Prinsip dasar Piagam Madinah menurut Munawar Syazali sebagai berikut: (1) Semua pemeluk Islam walaupun dari berbagai suku tapi tetap satu komunitas; (2) Hubungan komunitas Islam dengan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip; (3) Berhubungan secara baik-baik; (4) Saling menjaga dan membantu dalam menghadapi musuh bersama; (5) Membela yang teraniaya; (6) Saling menasehati dan (7) Menghormati kebebasan beragama.[7]
Piagam Madinah juga mengakui adanya “adat” yang berlaku untuk setiap qabilah/bani/suku yang tinggal di Madinah. Hukum-hukum “adat” yang telah ada sebelum hijrahnya Nabi Muhammad tetap dijaga dan dibiarkan hidup sehingga berkembang di tengah masyakarat Madinah.[8] Namun, jika suatu hukum’ “adat” ini terdapat pertentangan seperti dari pihak Islam maupun komunitas lain, maka dipandang tidak berlaku. Ketetapan yang telah dituangkan secara tertulis dalam Piagam itu diterima oleh semua pihak karena mayoritas merasa adanya kesetaraan dan perlakuan yang sama dari pemerintahan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad.
Negara dan Agama
Konsep Piagam Madinah menjadi suatu kekuatan bagi kemajuan Madinah. Dalam menjaga kerukunan dan persatuan antar umat beragama dengan Negara, Piagam Madinah yang saat itu merupakan konstitusi modern pada masanya menjadi dasar pedoman bagi kehidpuan masyarakat Madinah yang tergolong majemuk. Sistem politik yang diterapakan Nabi Muhammad dapat dikatakan sebagai pollitik fleksibel yang bisa diterapkan dengan kondisi primordial masyarakat.[9] Hal ini bisa disimpulkan bahwa secara garis besar isi Piagam Madinah adalah kebebasan beragama dan berpendapat.
Indonesia sebagai negara yang termasuk masyarakat majemuk dapat membangun suatu kehidupan yang beradab. Sistem sosial yang subur dapat hidup berdasarkan prinsip moral yang memberi jaminan keseimbangan antara kebebasan individu terhadap kestabilan masyarakat. Melihat kondisi corak masyarakat Indonesia sekarang dan Madinah kala itu memiliki kesamaan. Madinah yang sebelum hijrahnya Nabi Muhamad terdiri dari berbagai suku yang bertolak belakang dan berselisih, begitu juga di Indonesia yang terdiri dari beberapa kelompik agama, suku dan ras yang masing-masing mempunyai kepentingan berbeda. Perbedaan kepentingan yang bisa memicu bentrok jika tidak rasa saling rela dan mengharagi dalam menjunjung persamaan hak. Negara sebagai tempat tinggalnya keberadaan masyakarat harus berjalan beriringan dengan msayarakat tanpa melakukan penindasan begitupun sebaliknya masyarakat tidak boleh berkuasa di suatu tempat atas nama kelompok.
KEADILAN DAN KESETARAAN MENJADI DASAR KEUTAMAAN
Sebagai negara yang memiliki keberagaman agama tak boleh menghilangkan diri dari nilai-nilai agama karena semua kepercayaan mengajarkan tentang keadilan dan kesetaraan hak. Melihat situasi itu semestinya menjadi semangat dalam menjalankan roda pemerintahan. Ke depannya, yang terjadi bukan hanya klaim-klaim nama agama siapa yang paling benar, tapi suatu kualitas yang terkandung dari agama harus menjadi teladan.
BACA JUGA: Palestina Berjuang Untuk Kebebasaan
Nabi Muhammad menciptakan kerukunan antar komunitas dan keyakinan yang ada di Madinah melalui Piagam Madinah. Di dalam piagam terkandung jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi menjadi bagian suatu komunitas dan mewujudkan kerjasama erat dengan umat Islam. Sementara itu dalam konstitusi Indonesia mempraktikkan hal serupa seperti menegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berpedoman idelogi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar struktur Negara. Seperti yang tercantum dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukan prinsip-prinsip ketuhanan (agama) melandasi Negara dalam penyediaan sarana untuk memperoleh tujuan agama karena secara konstitusional beragama, beriman dan beribadah mendapartkan jaminan oleh negara.
Hubungan agama dan negara terletak pada relasi yang kuat. Plurarisme keagamaan di Indonesia tercipta dari jenis masyarakat majemuk yang terbagi dari berbagai suku dan ras. Konstitusi Indonesia menempatkan agama menjadi sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa mencampuri urusan internal umat beragama..
DAFTAR PUSTAKA
Syazali, Munawri. 1990. Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press)
Fakhri, Muhammad. Piagam Madinah Sebagai Pilar Dasar Kerukunan Masyakarat Madinah. Universitas Islam Riau, Vol. 2, No.1, 2010, 1-12.
Fauzi, Muhammad L. Konsep Negara Dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam Jakarta, Al-Mawarid, Vol. XIII, 2005, 85-101.
Shomad, Bukhori A. Piagam Madinah dan Resolusi Konflik. Al-Adyan, Vol. VIII, No.2, Juli-Desember 2013. 53-66.
M. Tatam Wijaya. 2019. “ Mengenal Isi Piagam Madinah, Cara Nabi Ciptakan Keadilan dan Kesetaraan”, https://islam.nu.or.id/post/read/114786/mengenal-isi-piagam-madinah–cara-nabi-ciptakan-keadilan-dan-kesetaraan diakses pada tanggal 9 Mei 2021 pukul 12.39.
Abdul Hadi. 2020. “ Isi Piagam Madinah dan Latar Belakang Sejarah Kelahirannya”, https://tirto.id/isi-piagam-madinah-dan-latar-belakang-sejarah-kelahirannya-f644 diakses pada tanggal 9 Mei 2021 pukul 13.02.
Danil. 2017. “Implementasi Konsep Negara Madinah di Indonesia”, https://justisia.com/2017/implementasi-konsep-negara-madinah-di-indonesia/ diakses pada tanggal 9 Mei 2021 pukul 13.46
REFERENSI INTERNET
[1] https://islam.nu.or.id/post/read/114786/mengenal-isi-piagam-madinah–cara-nabi-ciptakan-keadilan-dan-kesetaraan diakses pada tanggal 9 Mei 2021 pukul 12.39.
[2] https://tirto.id/isi-piagam-madinah-dan-latar-belakang-sejarah-kelahirannya-f644 diakses pada tanggal 9 Mei 2021 pukul 13.02
[3] Muhammad Lutfi Fauzi, “Konsep Negara Dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam Jakarta”. Al-Mawarid Edisi XII, Tahun 2005, hlm. 87.
[4] Bukhori Abdul Shomad, “Piagam Madinah dan Resolusi Konflik”. Al-Adyan, Vol.VIII, No. 2, Juli-Desember 2013, hlm. 55.
[5] Muhammad Lutfi Fauzi, op.cit., hlm. 88.
[6] Muhammad Fakhri, Piagam Madinah Sebagai Pilar Dasar Kerukunan Masyakarat Madinah, Universitas Islam Riau, Vol. 2, No.1, 2010, hlm. 2.
[7] Munawri Syazali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 15.
[8] Bukhori Abdul Somad, op,cit., hlm. 66.
[9] https://justisia.com/2017/implementasi-konsep-negara-madinah-di-indonesia/ diakses pada tanggal 9 Mei 2021 pukul 13.46.
Comment (1)
Perlu banyak belajar sejarah lagi nih setelah membaca ini