Menangkal Radikalisme dengan Pendekatan Literasi Kampung
Tentu kita sudah merasakan dampak radikalisme akan hadirnya sosial media. Selain semua dapat dengan mudah diakses, masyarakat juga disuguhkan dengan berbagai pengetahuan yang tidak layak konsumsi di dalamnya. Tentu hal ini akan melahirkan pemahaman yang sangat minim kepada setiap orang, karena ia hanya disuguhkan pemahaman yang belum tentu ada kebenaran yang mutlak.
Perihal inilah yang seharusnya menjadi sorotan bersama, bagaimana menanggulangi kebocoran tersebut. Tentu salah satu alasan mendasar ialah terlalu banyak orang yang mengkonsumsi gadget, tetapi ia tidak sepenuhnya menguasai dunia maya yang semakin canggih, alhasil banyak sekali pemahaman yang keliru yang di dapat di dalam dunia maya tersebut. Terlebih banyak survey juga sudah mencatat, bahwa minta baca anak Indonesia masih sangat minim.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Mohammad Nasir menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (Menristekdikti), pada 2018 dan 2019 dalam bidang sains Indonesia berada pada urutan 62 dari 72 negara, sedangkan dibidang matematika Indonesia berada di 64 dari 70 negara. Dirinya menyayangkan adanya gerakan membaca yang redup dilakukan oleh masyarakat, yang dapat berpengaruh ke segala aspek peringkat pendidikan Indonesia di kancah internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Maman Suherman, yang mengungkapkan, kondisi masyarakat Indonesia terhadap minat baca sangat memprihatinkan khususnya di era perkembangan teknologi komunikasi.
Kadar kehidupan yang demikianlah yang seharusnya menjadi perhatian, gerakan literasi harusnya tidak hanya berada di area kampus. Harus ada jaring-jaring yang mensuport anak kampus untuk terjun ke lapangan, pelosok-pelosok desa untuk menyebarkan gerakan literasi tersebut, membiarkan penyuluhan tentang pentingnya membaca dan bahaya radikalisme. Karena seperti yang sudah kita ketahui, bahaya radikalisme bisa mempengaruhi keutuhan bangsa kalau tidak di tangani dengan cermat dan benar.
Fakta yang pernah saya alami sebagai seorang pelosok yang kebetulan bisa menikmati pendidikan di kota, menemukan sebuah kejanggalan, bahwa budaya kehidupan yang terjadi baik dari remaja sampai dengan sebagian anak yang masih kecil sudah dengan lihai mengendalikan gadget. Yang menjadi problem di sini bukan tentang bagaimana seseorang menggunakan gadget tersebut, tetapi bagaimana dirinya akan dengan mudah terserang radikalisme online, karena dirinya belum sepenuhnya mengetahui dunia maya.
Di sini saya juga menemukan pemandangan, bagaimana daya baca yang sangat minim dalam kesehariannya. Setiap hari hanya disibukkan dengan gadget tanpa adanya pengetahuan baru, pun gadget yang dipegang hanya digunakan Facebook, IG, dan media sosial lainya, tanpa mempedulikan bahaya akan hal tersebut. Sedangkan ketika kita membaca sejarah yang panjang, membaca adalah salah satu membuka jendela dunia. Kita bisa membuka wawasan yang lebih luas, tidak hanya dalam ruang lingkup lokal, ataupun Indonesia semata, kita bisa memahami bagaimana sejarah kehidupan ini berlangsung, hingga kita akan memahami bagaimana radikalisme itu sangat tidak cocok untuk kehidupan di Indonesia.
Tulisan ini sebenarnya ingin mengutarakan, bahwasanya perlu kiranya sebuah terobosan tentang literasi kampung. Seperti misalnya memberikan perpustakaan di desa-desa, dengan tujuan menjunjung nilai-nilai keindonesiaan yang ada. Agar masyarakat desa tidak hanya disibukkan dengan kehidupan yang monoton. Pun dengan adanya ruang baca ini, tentunya masyarakat akan menemukan inovasi baru bagaimana memajukan Indonesia melalui kampung-kampung.
Sejalan dengan itu, penyuluhan tentang bahaya radikalisme seharusnya juga senantiasa disuarakan. Agar orang kampung bisa memahami mana yang perlu diprioritaskan untuk menjaga keutuhan bangsa. Sebab kerap kali unsur radikal disebarkan dengan mengatasnamakan agama. Sedangkan ketika kita berkaca pada keadaan yang sebenarnya, orang pelosok desa sangat kental dengan agama dibandingkan kedekatannya dengan negara.
Kerap kali kita hanya memahami bahwa benda Indonesia itu merah putih tanpa tau detail makna sejarahnya. Indonesia itu ada Pancasila tapi kita tidak tau tujuannya, karena kita selalu menganggap apa yang kita anut lebih benar dari pada yang dianut orang lain. Inilah alasan mengapa budaya membaca dan penyuluhan tentang Radikalisme di Indonesia itu penting. Khususnya bagi masyarakat yang berada di pelosok desa. Dan untuk menjaga kestabilan desa, sudah seharusnya dunia membaca di kembangkan di sini. Dan pemerintah memberikan support buku yang memadai, baik dalam ajaran beragama, sejarah Indonesia, dan tentunya tentang persatuan Indonesia yang di dalamnya banyak perbedaan.
Tinggalkan Balasan