Film Indonesia Ini Memuat Karakter Gay
Contents
Di dunia film Amerika Serikat, karakter homoseksual pertama kali muncul dalam film The Dickson Experimental Sound Film (1894/95). Film berdurasi 17 detik tersebut menampilkan William Dickson, sang pembuat film, sedang memainkan biola di depan sebuah Kinetophone[1] bersama dengan dua orang pria yang sedang berdansa. Film tersebut memang lebih terkenal sebagai salah satu eksperimen pertama sinkronisasi suara ke dalam film. Namun, keberadaan dua karakter pria yang sedang berdansa memunculkan berbagai intepretasi. Peristiwa ini juga diketahui ternyata ada pada beberapa film indonesia.
Vito Russo, seorang sejarawan film asal Italia, menyebut bahwa film tersebut dengan judul The Gay Brother dalam bukunya The Celluloid Closet (1981)[3], meski dengan fakta bahwa istilah gay bukanlah istilah yang tepat dalam menyebut homoseksualitas pada periode akhir abad XIX.[4]
Sejak berlakunya The Motion Picture Code, kemunculan karakter-karakter yang dianggap tidak “normal” sangat dibatasi. Karakter-karakter homoseksual, terutama gay diperankan dalam karakter antagonis atau orang-orang melawan hukum.[5] Contohnya paling mudah adalah karakter Joel Cairo dalam film The Maltese Falcon (1941).
Hingga masa Perang Dunia Kedua, penggambaran karakter gay yang sadis, melawan hukum, dan antisosial menjadi semakin umum seperti dalam film Rope (1948) karya sutradara Alfred Hitchcock yang menampilkan pasangan gay yang sedang menutupi aksinya setelah membunuh seseorang dan menaruh mayatnya di dalam meja makan. Hal serupa juga terjadi pada penggambaran karakter Nico dalam film Istana Kecantikan (1988).[6]
Awal Mula Kemunculan Karakter Gay
Dalam bukunya yang berjudul Gender and Sexualities in Indonesian Cinema (2013), Ben Murtagh menjelaskan bahwa karakter gay dalam film Indonesia pada dasarnya sudah muncul sejak masa Orde Baru melalui sebuah film berjudul Remaja di Lampu Merah (1979).[7] Film tersebut bercerita tentang Andy (aktor Rano Karno), seorang pelajar SMA yang lari dari rumah akibat masalah dalam keluarganya.
BACA JUGA: Ekstremis Dalam Kacamata Rene Descartes
Andy merasa bahwa orang tuanya tidak pernah memperhatikan anaknya. Ayahnya terlalu sibuk bekerja di kantor. Ayahnya tidak pernah punya waktu untuk sekedar bercerita dengan Andy. Ibu Andy juga sudah tidak ada, ia tinggal di rumah bersama ibu tirinya yang juga tidak pernah memperhatikan hidupnya. Andy tidak bisa menerima keadaan tersebut. Masalah muncul lagi ketika ia memergoki ibu tirinya sedang berselingkuh dengan laki-laki lain. Dengan berbagai masalah, akhirnya Andy memutuskan untuk kabur dari rumah.
Munculnya Karakter Homoseksual Pada Film Remaja di Lampu Merah
Dalam keadaan yang kebingungan, Andy akhirnya bertemu dengan seorang pelukis (oleh El Manik). Sang pelukis merawatnya, memberinya tempat tinggal, menyuapinya, hingga pada akhirnya mereka tidur bersama. Sang pelukis kemudian melepas pakaiannya dan hendak berhubungan badan dengan Andy. Andy kemudian ketakutan dan lari dari kamar tidur. Singkatnya, ia kembali pada ayahnya yang sudah bercerai dengan ibu tirinya.
Dalam film Remaja di Lampu Merah, karakter gay hadir sebagai sebuah harapan palsu untuk Andy yang menginginkan sebuah perhatian dari orang tuanya. Ia muncul untuk menipu Andy dengan kasih sayangnya. Pada akhirnya bahwa karakter tersebut hanya menginginkan Andy secara seksual. Hal tersebut sama seperti steriotip karakter gay dalam film Amerika yang secara mengisyaratkan bahwa seorang gay adalah orang yang hiperseksual dan selalu menggunakan berbagai cara agar bisa berhubungan seks dengan seorang pria. Namun begitu, karakter pelukis dalam film Remaja di Lampu Merah bukan merupakan tokoh utama.
Film Indonesia dengan karakter Gay pada Masa Orde Baru
Film Istana Kecantikan (1989) menceritakan tentang seorang lelaki bernama Nico (oleh Mathias Muchus) yang mengalami pernikahan paksa oleh kakaknya yang bernama Tuti (oleh Joyce Erna). Orang tua Nico sama sekali tidak mengetahui bahwa Nico adalah seorang gay. Tuti juga baru mengetahui bahwa Nico adalah gay ketika ia terus memaksa Nico untuk menikah.
Pada akhirnya, Nico bertemu oleh seorang perempuan bernama Siska (oleh Nurul Arifin) teman dari Sumitro (oleh August Melasz). Sumitro yang sudah menikah malah menjalani hubungan gelap dengan Siska hingga dia hamil. Karena tidak mampu bila harus membiayai hidupnya, akhirnya Sumitro berusaha mencari cara agar Siska bisa menikah dengan orang lain. Selain itu, Sumitro merupakan salah satu teman kerja Nico yang mengetahui tentang seksualitasnya. Ia juga mengetahui bahwa orang tuanya menginginkan agar dia segera menikah. Maka dari itulah, Nico dan Siska akhirnya menjalani pernikahan pura-pura.
MUNCULNYA BERBAGAI INTERPRETASI DALAM KARAKTER GAY
Meski dengan statusnya yang sudah menikah, rumor tentang seksualitas Nico merebak di seluruh kantor hingga menjadi bahan obrolan di kantornya. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk berhenti dari pekerjaannya. Ia lebih memilih untuk membuka sebuah salon bernama Istana Kecantikan. Untuk diketahui, pada titik ini, Siska masih belum mengetahui bahwa Nico adalah seorang gay.
Kemudian Nico mulai menjalin hubungan dengan salah satu penata rambutnya yang bernama Toni. Pada sebuah malam, akhirnya Siska memergoki Nico yang sedang berhubungan seks dengan Toni. Keributan pun terjadi, Nico dan Siska memutuskan untuk melanjutkan pernikahan mereka, tetapi Siska kembali berhubungan dengan Sumitro. Hubungan mereka bertahan beberapa tahun sampai Nico mengetahui bahwa Siska dan Toni sedang menjalin hubungan. Setelah mengetahui Toni dan Siska sedang tidur seranjang, Nico marah besar dan hendak membunuh Siska, tetapi ia malah membunuh Toni tanpa sengaja. Film ini berakhir ketika Nico mendekam di penjara.
FILM ISTANA KECANTIKAN REPRESENTASI KARAKTER GAY
Ben Murtagh menyebutkan bahwa film Istana Kecantikan sama sekali bukan merupakan representasi yang positif terhadap karakter gay.[8] Namun begitu, Murtagh menunjukkan bahwa Istana Kecantikan adalah film pertama yang benar secara eksplisit menunjukkan seksualitas karakter utamanya sebagai seorang gay. Bagian akhir cerita yang menampilkan Nico masuk penjara sebagai sebuah pesimisme terhadap kultur LGBT di Indonesia pada era tersebut.[9] Meski begitu, penggambaran karakter gay yang negatif pada masa Orde Baru segera berubah menyusul adanya krisis pada 1997.
Sejak runtuhnya kekuasaan Suharto, para sineas film Indonesia semakin bebas dalam mengekspresikan ide-idenya yang sebelumnya terkekang oleh rezim Orde Baru. Begitu pula dengan representasi karakter gay dalam film penggambarannya bergeser ke arah yang lebih positif. Salah satu film yang membahas film queer di Indonesia adalah Kuldesak (1998). Lisabona Rahman dalam sebuah wawancara oleh Vice Indonesia menyatakan bahwa Kuldesak merupakan awal dari kebangkitan film Indonesia pasca-Orde Baru.[10] Ia menyatakan bahwa dalam film tersebut muncul banyak sekali ekspresi gender yang beragam. Hal ini sangat berbeda dengan penggambaran karakter masa Orde Baru yang cenderung monoton.
Perkembangan Karakter Gay di Film Indonesia Pasca Orde Baru
Kuldesak terdiri atas empat cerita berbeda. Keempat karakter utama tiap cerita, Aksan (oleh Wong Aksan), Andre (oleh Ryan Hidayat), Dina (oleh Oppie Andaresta), dan Lina (oleh Bianca Adinegoro), memiliki masalah masing-masing. Meski keempat cerita tersebut tidak saling berkaitan, bahkan memiliki empat sutradara oleh empat orang berbeda, tetapi keempat cerita tersebut berjalan beriringan sebagai satu film.
Dalam film ini, terdapat banyak sekali karakter minor pada tiap cerita juga dengan ekspresi gender yang berbeda-beda pula. Kuldesak memunculkan karakter gay dalam cerita Dina. Dina adalah seorang penjual tiket di bioskop yang sangat bermimpi untuk bisa berpacaran dengan idolanya, Max Mollo, seorang pembawa acara populer. Bahkan ia sudah tidak bisa membedakan lagi antara khayalan dan realitas. Dina hidup bertetangga dengan pasangan gay Budi (oleh Harry Dagoe) dan Yanto (oleh Gala Rostamaji).[11] Budi akhirnya berteman dengan Dina setelah Yanto terpaksa kembali ke desanya untuk menghindari serangan homofobia.
KARAKTER BUDI DAN YANTO DALAM FIGUR PASANGAN GAY
Menurut Marshall Clark, karakter Budi dan Yanto hadir sebagai sebuah refleksi kondisi masyarakat Indonesia yang lebih homofobik pasca Orde Baru.[12] Clark menyatakan bahwa keberadaan karakter gay dalam Kuldesak menjadi sebuah paradoks. Pada satu sisi, Kuldesak menghadirkan adegan ciuman dua pria, yang meskipun tidak terlihat secara langsung, tapi tetap saja menghebohkan.[13] Hal tersebut menjadi sebuah pertanda bahwa Indonesia semakin terbuka dan menerima keberadaan pria gay. Namun di sisi lainnya, perpisahan Budi dan Yanto menjadi isyarat bahwa dengan semakin terbukanya kebebasan berpendapat, maka homofobia juga semakin meningkat.
Lebih dari itu, representasi karakter Budi dan Yanto berbeda dengan penggambaran karakter Nico dalam Istana Kecantikan. Nico adalah orang “sakit” karena dia adalah gay, sehingga masalah hidupnya akibat persoalan tersebut. Hal ini berbeda dengan Budi dan Yanto, mereka hidup normal sebagai pasangan gay, tekanan dari luarlah yang membuat keduanya berpisah. Penggambaran karakter yang lebih simpatik ini kemudian muncul kembali dalam beberapa film Indonesia pada periode setelahnya.
Dalam Ceritanya, Film Arisan (2003) Juga Menampilkan Tokoh Gay
Salah satu film yang paling sering tersorot ketika membahas gay di Indonesia adalah Arisan! (2003). Film ini tercatat sebagai film Indonesia pertama yang menampilkan dengan jelas adegan berciuman dua orang pria.[14] Film dari sutradara bernama Nia Dinata ini tentang tiga teman baik, Sakti (oleh Tora Sudiro), Meimei (Cut Mini), dan Andien (oleh Aida Nurmala), berusaha untuk selalu tampil sempurna ketika datang dalam acara arisan. Sakti bekerja di bidang iklan, ia belum menikah. Meimei sudah menikah dengan Ical (diperankan oleh Nico Siahaan) akan tetapi hubungan mereka tidak berjalan baik karena Meimei tidak kunjung hamil. Dan Andien juga sudah menikah dan memiliki dua anak kembar.
Meimei dan Andien memiliki masalah masing-masing. Hubungan Meimei dan Ical semakin berantakan ketika Meimei mengetahui bahwa ia tidak bisa mempunyai anak. Andien yang awalnya berhubungan baik dan mesra dengan suaminya mendadak menjadi bermasalah ketika suaminya mengaku bahwa ia pernah berselingkuh.
Nino dan Sakti menjalin relasi kerja, keduanya akan membuat sebuah proyek. Akan tetapi, Nino ternyata tidak ingin berbisnis dengan Sakti, ia ingin mengenalnya lebih jauh. Singkatnya Nino menyukai Sakti. (Homoseksual). Saktia walnya tidak percaya bahwa ia adalah gay menolak, tetapi pada akhirnya ia luluh dan menjadi pasangan. Pada saat yang sama, Meimei mengatakan pada Sakti bahwa ia menyukai Nino. Sakti tidak ingin kehilangan Nino, tetapi ia juga tidak ingin ada orang lain tahu tentang hubungannya.
KARAKTER GAY PADA TOKOH NINO DAN SAKTI
Kemudian, Sakti dan Nino sempat berdebat karena Nino berduaan dengan Meimei membicarakan masalah rumah tangganya. Sepupu Sakti mendengar keributan itu, pada akhirnya Ibu Sakti juga mengetahui hal itu. Ibu Sakti ternyata adalah orang yang suportif, ia mendukung anaknya asalkan ia bahagia. Akhirnya Sakti hidup bahagia bersama Ibu dan sepupunya, juga bersama Nino.
Status gay dalam film Arisan! bukan sebagai penyakit melainkan kenormalan. Seksualitas Sakti dan Nino tergambar sebagai sesuatu yang normal, bahkan ketika sepupu dan Ibu Sakti mengetahui tentang hubungannya dengan Nino, mereka tidak menilai Sakti sebagai orang sakit, mereka tetap mendukung hubungan tersebut.
Film ini, pada banyak hal, memulai tren penggambaran karakter gay yang lebih manusiawi dan terlepas dari steriotip pada periode pertengahan 2000an hingga sekarang, seperti dalam film Coklat Stroberi (2007), Parts of the Heart (2012), Sanubari Jakarta (2012), serta sekuelnya, Arisan! 2 (2011). Kisah-kisah menyentuh tentang orang-orang gay pada beberapa tahun belakangan bukan untuk mengajak penonton berharap karakter tersebut menjadi orang yang “normal”. Tetapi lebih ke mengajak penonton untuk merasakan pengalaman menjadi seorang gay dalam komunitas masyarakat yang homofobik. Lebih dari itu, kritik terhadap homofobia juga kerap kali muncul secara implisit dalam film-film tersebut.
Kesimpulan
Pada masa Orde Baru, penggambaran karakter gay mirip seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada paruh pertama abad ke-20. Karakter gay dijadikan sebagai antagonis, orang-orang jahat, bahkan juga kriminal yang melawan hukum. Selain itu, pada periode ini, homoseksualitas masih dijadikan sebagai aneh, unik, dan mengejutkan. Keberadaan karakter gay mampu membuat film meraup untung yang cukup banyak. Faktor penasaran dan kekaguman penonton membuat film tersebut laku di pasar. Lebih dari itu, selama Orde Baru, karakter gay masih dianggap sebagai karakter yang berpenyakit sehingga harus disembuhkan.
Setelah runtuhnya Orde Baru, ide-ide tentang seksualitas dan gender berkembang luas. Film-film juga terkena imbasnya. Hal ini menjadikan karakter-karakter gay terlepas dari stereotip masyarakat. Masalah yang terjadi pada seorang gay bukan berasal dari seksualitasnya, tetapi dari bagaimana masyarakat di sekitarnya menilai hal tersebut. Orang-orang karakter gay hanya ingin masyarakat memahami perbedaan yang dialami mereka. Terlepas dari itu, ekspresi gender dan seksual menjadi lebih beragam dan bervariasi, hingga menyadarkan bahwa apapun bentuk seksualitasnya, semua manusia tetaplah manusia.
REFERENSI
BUKU DAN JURNAL
Ben Murtagh. “Istana Kecantikan: The First Indonesian Gay Movie” dalam South East Asia Research, Vol. 14, No. 2, London: Francis & Taylor Ltd., 2006.
___________. Genders and Sexualities in Indonesian Cinema : Constructing Gay, Lesbi and Waria Identities on Screen. New York: Routledge, 2013.
Chon Noriega, “’Something’s Missing Here!’: Homosexuality and Film Reviews during the Production Code”, dalam Cinema Journal, Vol. 30, No. 1, Austin, TX: University of Texas Press, 1990.
Gordon Hendricks. The Kinetoscope: America’s First Commercially Successful Motion Picture Exhibitor. New York: Theodore Gaus’ Sons, 1966.
Marshall Clark, “Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema” dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 35, No. 1, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Parker Tyler. Screening the Sexes: Homosexuality in the Movies, Digital Edition 2008. New York: Anchor Press, 1972.
Rachel Harrison, “Introduction: cinema as an emerging field in South East Asian studies” dalam South East Asia Research, Vol. 14, No. 2, London: Taylor & Francis, Ltd., 2006.
Vito Russo. The Celluloid Closet: Homosexuality in the Movies. New York: Harper and Row Publisher, 1995.
BERITA DAN MEDIA ONLINE
Aulisa Ilham, “20 Tahun Kuldesak: Refleksi Kebangkitan Industri Film Indonesia”, Tirto.id, 23 Desember 2018, https://tirto.id/20-tahun-kuldesak-refleksi-kebangkitan-industri-film-indonesia-dcsD, diakses pada Senin, 24 Juni 2019, pukul 17:26 WIB.
Justin DeFreitas. “Moving Pictures: Documentary Puts Modern Gay Cinema in Context”, Berkeley Daily Planet, 7 Juli 2006, http://www.berkeleydailyplanet.com/issue/2006-07-07/, diakses pada Senin, 25 Juni 2019, pukul 9:20 WIB.
Rachel Harvey, “Indonesia embraces first gay screen kiss”, BBC News, 15 Januari 2004, http://news.bbc.co.uk/2/hi/world/asia-pacific/3399413.stm, diakses pada Senin, 24 Juni 2019, pukul 17:56 WIB.
Vice Indonesia, “Madame X Memories: The Rise and Fall of Indonesia’s Queer Cinema,” Youtube, 5 Mei 2019, https://youtu.be/Pl-RYkIXPnk?t=77, diakses pada Minggu, 23 Juni 2019, pukul 16:22 WIB.
Catatan kaki
[1] Sebuah alat perekam suara kuno berbasis silinder lilin yang dikembangkan oleh Thomas Alva Edison pada sekitar 1893. Gordon Hendricks, The Kinetoscope: America’s First Commercially Successful Motion Picture Exhibitor, (New York: Theodore Gaus’ Sons, 1966), hlm. 41.
[2] Parker Tyler, Screening the Sexes: Homosexuality in the Movies, (New York: Anchor Press, 1972, Edisi Digital 2008), hlm.
[3] Vito Russo, The Celluloid Closet: Homosexuality in the Movies, (New York: Harper and Row Publisher, 1995), hlm. 9.
[4] Justin DeFreitas, “Moving Pictures: Documentary Puts Modern Gay Cinema in Context”, dalam The Berkeley Daily Planet, 7 Juli 2006.
[5] Chon Noriega, “”Something’s Missing Here!”: Homosexuality and Film Reviews during the Production Code”, dalam Cinema Journal, Vol. 30, No. 1, Austin, TX: University of Texas Press, 1990, hlm. 33.
[6] Ben Murtagh, “Istana Kecantikan: The First Indonesian Gay Movie” dalam South East Asia Research, Vol. 14, No. 2, London: Francis & Taylor Ltd., 2006, hlm. 212.
[7] Ben Murtagh, Genders and Sexualities in Indonesian Cinema : Constructing Gay, Lesbi and Waria Identities on Screen, (New York: Routledge, 2013), hlm. 51.
[8] Ben Murtagh, op.cit., 2006, hlm. 218.
[9] Rachel Harrison, “Introduction: cinema as an emerging field in South East Asian studies” dalam South East Asia Research, Vol. 14, No. 2, London: Taylor & Francis, Ltd., 2006, hlm. 142.
[10] Lisabona Rahman dalam Vice Indonesia, “Madame X Memories: The Rise and Fall of Indonesia’s Queer Cinema,” Youtube, 5 Mei 2019, https://youtu.be/Pl-RYkIXPnk?t=77, diakses pada Minggu, 4 April 2021, pukul 16:22 WIB.
[11] Aulisa Ilham, “20 Tahun Kuldesak: Refleksi Kebangkitan Industri Film Indonesia”, Tirto.id, 23 Desember 2018, https://tirto.id/20-tahun-kuldesak-refleksi-kebangkitan-industri-film-indonesia-dcsD, diakses pada Senin, 5 April 2021, pukul 17:26 WIB.
[12] Marshall Clark, “Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema” dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 35, No. 1, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hlm. 129.
[13] Ibid.
[14] Rachel Harvey, “Indonesia embraces first gay screen kiss”, BBC News, 15 Januari 2004, http://news.bbc.co.uk/2/hi/world/asia-pacific/3399413.stm, diakses pada Senin, 5 April 2021, pukul 17:56 WIB.
Comment (1)
Perjuangan terhadap hak-hak minoritas memang terkadang memerlukan media kreatif salah satunya yaitu film. Menurut saya ini penyampaian pesan yang cukup baik hanya saja secara hukum tampaknya masih belum sampai diperjuangkan.