free page hit counter

GKJ Gondokusuman Upayakan Perdamaian

GKJ Gondokusuman Upayakan Perdamaian

Menyadari bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) membawa dampak psikologis dan relasi yang kurang baik, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman mengupayakan langkah perdamaian. Acara yang berlangsung di gedung gereja ini berjalan dengan khidmat. Para undangan yang hadir terdiri dari beragam agama. Pada kesempatan tersebut tema besarnya ialah Peran Pemuka Agama dalam Mendorong Rekonsiliasi Bangsa Pascapilpres Indonesia 2024.

Joko Pamungkas, selku ketua panitia, dalam sambutannya mengajak seluruh peserta meneriakkan jargon yang telah ia persiapkan. Ketika ia menyebut kata “Jogja” semua serentak menjawab “pancen Istimewa”. Ia menyatakan bahwa kota ini memang seharusnya nyaman dan aman bagi semua kalangan. “Meski pemilu berbeda pilihan, tapi harus tetap rawat perdamaian,” tambahnya.

Upaya Wujudkan Perdamaian

Di acara tersebut hadir pula Irjen (Pol) Suwondo Nainggolan, S.I.K, M.H selaku Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia menyebutkan bahwa Jogja secara statistik mungkin saja terasa tidak ada apa-apa. Namun, secara rasa tidak bisa tergambarkan oleh statisik-statistik tersebut. Ia menyatakan tidak bisa mengadakan rekonsiliasi, alasannya, “karena yang tahu persoalan masyarakat ialah masyarakat sendiri.” Ia hanya bisa membantu dan mendukung, tidak lebih.

Acara ini kemudian berlanjut dengan sesi diskusi. Sebelum masuk pada sesi diskusi terdapat enam perwakilan dari berbagai agama naik ke atas panggung untuk berdoa. Pendeta Fendi Susanto kemudian membuka diskusi sekaligus menjadi moderator selama sesi berlangsung. Dua narasumber diskusi ini ialah Prof. Peter Suwarno, Ph.D. dan Dr. Leonard Chrysostomous Epafras, S.Si., M.Th.

Diskusi sebagai Refleksi

Narasumber pertama menyampaikan bagaimana politisasi agama terjadi di Amerika, lalu disambungkan dengan konteks Indonesia. Ia memberikan gambaran bagaimana gerakan dan narasi keagamaan bergandengan mesra dengan kontestasi politik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Ia kemudian mengajukan sebuah paradoks tentang Indonesia, sebagai negara religius sekaligus koruptif.

Narasumber kedua yang akrab disapa Leo memberikan materi terkait dengan narasi di media sosial. Ia menjabarkan bagaiman sebuah narasi di media sosial terbentuk. Dengan gaya jenakanya, ia banyak mengeluarkan lelucon-lelucon. Ia memperlihatkan gambar seekor burung mematuk ikan di tengah lautan. Menurut Leo itu adalah burung yang hendak menyelamatkan ikan yang tidak bisa berenang. “Demikian framing terbentuk di sosial media kita,” tutupnya.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *