free page hit counter

Ibu Ruswo: Tokoh Sentral Pasca Kemerdekaan Indonesia

Ibu Ruswo: Tokoh Sentral Pasca Kemerdekaan Indonesia

Contents

Ibu Ruswo : Tokoh Sentral Pasca Kemerdakaan Indonesia di Yogyakarta 1945-1949

Di sebuah ruas jalan yang berada di Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, terdapat sebuah nama jalan yang diberi nama Ibu Ruswo. Jalan ini bukan menjadi predikat sebagai tokoh terkenal berkaliber nasional karena tidak banyak orang yang tahu tentang nama tersebut. Ada kemungkinan banyak orang akan bertanya-tanya siapa itu Ibu Ruswo dan mengapa namanya abadi menjadi sebuah nama jalan?

Sepenggal Kisah Riwayat Ibu Ruswo

Ibu Ruswo lahir di Yogyakarta pada tahun 1905, atau dalam penanggalan Jawa pada tanggal 29 Bakda Mulud tahun 1835 berdasarkan catatan keluarga yang tertulis. Ia merupakan keturunan kalangan orang Jawa biasa. Seperti orang Jawa pada umumnya yang memiliki nama kecil, beliau juga mempunyai nama kecil yaitu Kusnah. Nama pemberian orang tuanya pada saat beliau lahir. Pada tahun 1921, beliau menikah dengan Ruswo Prawiroseno yang merupakan seorang pegawai kantor pos. Hal ini membuat namanya berubah menjadi Nyi Kusnah Ruswo Prawiroseno. Dikenal dengan Ibu Ruswo. [1]

Nama Ibu Ruswo diabadikan sebagai nama jalan di Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Gambar diambil dari https://penelitianpariwisata.id/ibu-ruswo-pengorbanan-dan-peran-penting-dalam-serangan-umum-1-maret-1949/

Beliau aktif mengikuti organisasi-organisasi wanita maupun organisasi-organisasi sosial, seperti kepanduan dan lainnya. Pada tahun 1928 berdiri organisasi INPO (Indonesische Nationale Padvinders Organisatie) atau Kepanduan Nasional Indonesia dalam arti bahasa Indonesia yang berpusat di Jakarta. Di Yogyakarta, Ibu Ruswo ikut aktif mendirikan cabang-cabangnya saat berpartisipasi dalam kepengurusan INPO. Bersama dengan Jong Java Padvindery (Kepanduan Gerakan Jong Java) bergabung dan akhirnya menjadi KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) yang berpusat di Yogyakarta. Ibu Ruswo aktif sebagai pengurus.[2]

Selain itu, beliau ikut berpartisipasi di organisasi P4A (Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak). Hal yang membuat dirinya bergabung di organisasi tersebut, karena beliau tidak setuju dengan terjadinya perdagangan perempuan dan anak yang ada pada saat itu.

Keberadaan Organisasi Sosial dan Organisasi Wanita

Organisasi-organisasi sosial dan organisasi wanita terbentuk seperti Wanita Setya Rahayu yang kemudian menjadi Isteri Indonesia. Pada tahun 1936, Ibu Ruswo menjadi sekretaris  di Isteri Indonesia. Selain itu, beliau juga sering mendampingi ketua organisasi untuk menhadiri pertemuan-pertemuan ataupun mewakilinya. Ibu Ruswo pernah menggalang dana dengan berjualan makanan dan minuman pada saat perayaan Sekaten. Dana yang terkumpul ini disumbangkan untuk membantu para pejuang kemerdekaan, terutama di bidang logistik. Sehingga mampu meringankan beban para pejuang dalam persoalan logistik (Astuti, 2006, hal. 77.[3]

Pada saat Jepang masuk ke Indonesia, organisasi yang terkait Belanda berganti dengan nama Jepang atau dibekukan, yang disatukan dengan nama Fujinkai. Dengan kondisi seperti ini, kemudian Ibu Ruswo berjuang melalui BPP (Badan Pembantu Prajurit). Yaitu suatu badan yang didirikan untuk pembinaan terhadap tentara PETA, Heiho dan lain sebagainya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, BPP beralih nama menjadi BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perjuangan). Ibu Ruswo bertugas memberi logistik berupa makan dan minum bagi para BKR atau tentara yang berjuang dalam Pertempuran di Kotabaru, Magelang, Ambarawa, Semarang. Beliau juga mengajak para ibu di kota Yogyakarta untuk membuat makanan tahan lama yang kemudian dikirim ke garis depan untuk para prajurit. Pada tanggal 25 Mei 1947 Ibu Ruswo mendapat anugerah Piagam Penghargaan dari Panglima Divisi III dalam Upacara resmi Appel Besar di Magelang.[4]

Keadaan Yogyakarta Menjelang Akhir Revolusi

Yogyakarta dalam perjalanan dan perjuangan kemerdekaan menyimpan berbagai memori sejarah yang begitu membekas. Salah satunya terjadinya peristiwa Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 yang berhasil menunjukkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia internasional. Sebelumnya, Belanda melancarkan Agresi Militer II atau Operasi Kraai (Burung Gagak) terhadap Yogyakarta sebagai Ibukota RI waktu itu. Akibatnya para pemuda bersama tentara bergerak meninggalkan Yogyakarta menuju ke luar kota dan mengatur strategi perang gerilya.

Pada masa revolusi Yogyakarta tampak bagaikan sebuah kota mati tanpa penghuni. Terlihat sisa-sisa penduduk yang tinggal hanyalah orangtua, perempuan, dan anak-anak. Sementara itu kondisi sosial dan ekonomi masyarakat makin menurun drastis. Menyebabkan mayoritas warga banyak yang hidup serba kekurangan dan harus menjual barang-barang berharganya untuk bertahan hidup.

Potret Sengsara Rakyat

Rakyat Yogyakarta pada waktu penjajahan Belanda sejak 19 Desember 1948 mengalami penderitaan yang lebih hebat. Saat terjadi peristiwa tersebut, rakyat Yogyakarta banyak yang mengungsi. Terutama ke daerah Selatan, yaitu ke Bantul, Imogiri, Kretek, Wonosari. Kulon Progo dan daerah-daerah pegunungan.[5] Masalah lain saat perjalanan untuk mengungsi mereka tidak membawa bekal yang cukup apalagi mereka yang pada dasarnya memang tidak mampu.

Selama di pengungsian. Mereka mendapat bantuan berupa makanan dan pemondokan dari penduduk desa melalui lurah masing-masing. Keadaan penduduk di dalam kota saat kedatangan Belanda lebih sengsara daripada mereka yang mengungsi. sebab persediaan bahan makan amat sedikit dan segera habis. Ketika itu mereka tidak berani ke luar kota, sebab Belanda bersikap keras sekali.

Perjuangan Ibu Ruswo

Pada masa Revolusi, Ibu Ruswo ikut membantu para gerilyawan untuk mencukupi kebutuhan dapur umum dalam perannya sebagai koordinator dapur umum sejak permulaan revolusi fisik. Beliau selalu menyediakan dan menyelenggarakan dapur-dapur umum karena wujud perjuangannya kepada pejuang-pejuang kemerdekaan.

Selain itu, rumahnya menjadi Pos Komando SWK 101, yang sekaligus sebagai dapur umum.[6] Beliau mengkoordinir para ibu di dalam Kota Yogyakarta dan sekitarnya untuk membantu dalam mencukupi kebutuhan dapur umum, hingga pendistribusiannya. Perjuangan yang Ibu Ruswo lakukan selain menyediakan dapur umum turut aktif dalam pengumpulan laporan atau informasi dan sebagai penghubung dengan Komando TNI bersama suaminya. Keduanya bertugas menjadi kurir dengan mengendarai sepeda untuk mengantarkan surat perintah dan surat-surat lainnya dari Jenderal Sudirman kepada Letnan Kolonel Suharto sebagai komandan WK-III.[7] 

Foto Ibu Ruswo. Gambar diambil dari https://jogja.idntimes.com/life/inspiration/dyar-ayu/ibu-ruswo-pahlawan-dari-balik-dapur-umum-era-penjajahan-c1c2

Nama Ibu Ruswo Abadi Menjadi Nama Jalan

Selanjutnya, melakukan tugas dengan membawa surat-surat penting dari Letkol Suharto yang ditujukan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX atau sebaliknya. Ibu Ruswo menjadi salah satu tokoh penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Yaitu membuat dapur umum untuk para pejuang revolusi di Yogyakarta. Perjuangan para tentara di Yogyakarta memiliki hutang budi terhadap Ibu Ruswo sebab ia mampu mengkoordinir segala logistik.

Selain itu, dapur umum di rumah Ibu Ruswo tidak hanya tempat untuk memasak tapi sekaligus membicarakan strategi para gerilyawan, merawat dan menyimpan senjata. Atas jasanya itu, Ibu Ruswo mendapat anugerah sebagai Bintang Gerilya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Setelah ia meninggal pada 1960, namanya abadi sebagai nama jalan utama dekat rumahnya di seputaran Alun-alun utara Yogyakarta.

Ibu Ruswo wafat setelah menderita sakit beberapa lama di RS. Panti Rapih Yogyakarta. Pada tanggal 28 Agustus 1960, jenazah Ibu Ruswo disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta atas keputusan pemerintah.

Peran Ibu Ruswo sebagai Fasilitator

Dapur umum menjadi wujud utama gotong royong masyarakat saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Para relawan dapur umum berisi mereka yang tidak memiliki peran dalam pertempuran fisik melawan Belanda. Dapur umum mayoritas peranan kaum wanita . Menjelang tahun 1949, dapur umum menjadi bagian dari Badan Urusan Makanan atau BOM. Ibu Ruswo serta Ibu Djojodiguno menjadi ketuanya. Pada 6-7 Oktober 1945 setelah terjadi peristiwa Kotabaru, Ibu Ruswo dan teman-teman secara serempak mengirimkan masakan serta obat-obatan ke daerah Kotabaru yang kemudian terus berlangsung hingga peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.[8]

Ibu Ruswo dalam konteks sejarah dapat ditempatkan sebagai fasilitator untuk menggerakkan terciptanya dapur umum yang ada di kota Yogyakarta pada masa revolusi. Dapur umum menjadi salah satu alat perjuangan Ibu Ruswo pada periode tahun 1945 sampai 1949.

Dapur Umum Bagi Perang Gerilya

Pada masa perang gerilya, dalam kota kebanyakan yang tinggal adalah kaum ibu dan anak-anak karena kaum muda sudah mengungsi keluar kota atau melakukan aktivitas bergerilya. Sedangkan para wanita yang tinggal dalam kota juga tidak tinggal diam. Mereka mengorganisasi dapur umum untuk memenuhi kebutuhan gerilyawan yang masuk kota dengan berbagai kebutuhan logistik yang telah tersedia[9].

Keberadaan dapur umum sebagai tempat penyuplai logistik, juga berfungsi sebagai tempat untuk bertemu para komandan, tempat untuk perundingan ataupun perencanaan strategi perang. Fungsi pokok dapur umum memang untuk penyuplai logistik atau makanan. Namun terkadang ada fungsi lain yang menyertainya. Pembagian tugas juga diterapkan di dapur umum. Ada beberapa keluarga yang hanya menanak nasi, ada yang membuat sayur, dan ada yang membuat minuman.

Kegigihan yang Ibu Ruswo lakukan ketika pasca kemerdekaan menjadikan satu teladan bagi wanita di Indonesia untuk tetap berpegang teguh dan terus berani dalam mengambil keputusan. Selain itu, ia rela mengorbankan rumahnya yang kemudian menjadi dapur umum untuk keberlangsungan logistik para pejuang.

Hal ini yang menjadi dasar bahwa Ibu Ruswo memiliki peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia salah satunya di Yogyakarta pada 1945-1949. Konsep kebersamaan ketika mendirikan dapur umum dengan mengajak ibu-ibu di kota Yogyakarta saling bahu-membahu. Kegigihan dan semangat juangnya dapat kita jadikan pedoman di setiap kehidupan sehari-hari.

Sumber:

Sri Retna Astuti. Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 1, No. 2, hal. 61-121. Desember 2006. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Yogyakarta.

Jurnal Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, hal. 1-9. Merci Robbi Kurniawanti dan Dyah Kumalasari. 2016.

Rizki Aldi Cahyono, Sumber Dana Perang Revolusi Indonesia 1945-1949: Peperangan Di Jawa Dan Sumatera, Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi, Vol. 2 No. 2, Desember (2022), 112-124.

Winarni,SS. V.Agus Sulisyo, S.Pd. MA. Yustina Hastrini Nurwanti,SS. 2013. Dapur Umum Masa Perang Kemerdekaan II Di Yogyakarta. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Museum Benteng Vredeburg. Yogyakarta.

Tashadi dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan ( 1945 – 1949 )  Daerah Istimewa Yogyakarta, DEPARTEMEN Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta. Jakarta.


[1] Merci Robbi Kurniawanti dan Dyah Kumalasari, Jurnal Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, 2016, hal. 1

[2] Sri Retna Astuti, Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 1, No. 2, hal. 61-121. Desember 2006. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Yogyakarta hal. 79

[3] Ibid, hal. 77

[4] Ibud, hal. 78

[5] Tashadi dkk. Sejarah Revolusi Kemerdekaan ( 1945 – 1949 )  Daerah Istimewa Yogyakarta, DEPARTEMEN Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta, Jakarta, 1991, Hal. 169

[6] op.cit. Hal.78. Sri Retna Astuti

[7] op.cit. Hal. 6. Kurniawanti & Kumalasari, 2016, hal. 6

[8] Rizki Aldi Cahyono, Sumber Dana Perang Revolusi Indonesia 1945-1949: Peperangan Di Jawa Dan Sumatera, Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi, Vol. 2 No. 2, Desember (2022), hal. 122.

[9] Winarni dkk, Dapur Umum Masa Perang Kemerdekaan II Di Yogyakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 2013, hal. 75

[10] Ibid, hal. 76.

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *