Kartu Kuning untuk MUI
Contents
Khaled Abou El Fadl—seorang yuris sekaligus profesor di UCLA School of Law—memberikan ilustrasi menarik ihwal otoritas. Ia mengutip potongan ayat kitab suci yang kalau kita terjemahkan secara bebas berarti bahwa ‘hanya Tuhan yang tahu bala tentaranya’. Ayat tersebut berkenaan dengan 19 malaikat yang Tuhan delegasikam untuk menjaga nereka. Dalam tesmak Khaled, hanya Tuhan pula yang tahu mengapa jumlahnya sebanyak itu, tidak kurang atau lebih.
Ia kemudian memperluas cakupan ‘hanya Tuhan yang tahu bala tentaranya’. Khaled katakan bahwa potongan ayat tersebut tidak berlaku secara spesifik, melainkan lebih general. Bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mendaku punya otoritas dan merasa paling tahu tentang hukum Tuhan, kecuali Tuhan sendiri. Dengan basis fondasional tersebut, kiranya tidak mengejutkan manakala dalam Speaking in God’s Name (2001) Khaled kritis terhadap lembaga fatwa. Sebabnya, lembaga ini kerap tampil dan seolah menjadi juru bicara Tuhan.
Di banyak negara dengan mayoritas umat Islam, eksistensi lembaga fatwa tidak bisa begitu saja. Perbedaannya hanya terletak pada apakah sebuah lembaga fatwa memakai sponsor negara atau tidak. Di sini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil bentuk semiresmi. Satu sisi mereka menjadi tenda besar bagi ormas-ormas keagamaan, di samping juga tidak bisa sepenuhnya lepas dari negara. Dengan kata lain, lembaga ini memposisikan diri di tengah ormas dan negara sekaligus (Ichwan, 2024).
MUI: Lembaga Fatwa Semiresmi
Setelah kejatuhan Soeharto dari tampuk kepemimpinan, relasi antara MUI dan menjadi naik turun. Ketika Habibie naik menjadi orang nomor satu dan pada saat yang sama mendapat banyak kritikan, MUI tampil sebagai defender. Lain cerita, masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) posisi MUI membelot dan tak lagi bergandeng mesra dengan negara. Realitas tersebut dapat kita mafhum manakala kita tahu bahwa Gus Dur menjadi pengkritik MUI nomor wahid.
Pada 1981 MUI mengeluarkan fatwa larangan menghadiri Natal, lalu tulisan Gus Dur di Majalah Tempo menyambutnya. Tulisan dengan tajuk Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal menunjukkan posisi kritis Gus Dur terhadap MUI. Artikulasi jenaka dalam tulisan tersebut juga nampak ketika Gus Dur mencoba menggunakan daya imajinasinya. Ia menduga-duga kalau suatu saat nanti umat Kristen tidak boleh naik taksi yang di kacanya tertulis lafaz basmalah.
Dari ilustrasi tersebut, dua hal yang hendak saya tunjukkan. Pertama, ialah relasi yang fleksibel antara MUI dan negara. Entitas pertama ini, kendati tidak niscaya, dapat berimpilasi kepada yang kedua. Yakni, fatwa-fatwa dari lembaga ini yang kerap memantik kontroversi. Ihwal kontroversi, sudah terdapat senarai fatwa yang keluaran lembaga ini. Mulai dari penyedap Ajinomoto (yang juga menjadi kritik Gus Dur), SePiLis, Ahmadiyah, hingga salam lintas agama dan ucapan hari raya yang masih segar.
Dua fatwa terbaru dari hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tersebut kembali menunjukkan watak MUI. Tidak lain sebagai lembaga fatwa yang kerap kali memantik kontroversi dan menjadi sasaran kritik. Pada saat yang sama, fatwa tersebut barangkali menjadi semacam kejengahan MUI terhadap model toleransi dan moderasi yang ala pemerintah. Tidak aneh manakala dalam topik salam lintas agama dan ucapan hari raya Kementerian Agama mengambil posisi kontra dengan MUI.
Watak Primordial MUI
Sayangnya, fatwa yang MUI keluarkan saya kira tidak punya pijakan fondasional. Lazimnya, fatwa itu keluar ketika terdapat orang yang meminta jawaban atas suatu persoalan. Kalau tidak demikian, seminimnya ialah persoalan yang publik bicarakan dan menjadi keresahan umat. Dalam kasus fatwa salam lintas agama dan ucapan hari raya, kita tidak menemukan dua hal tersebut. Padahal, jika melihat anatomi isu yang belakang menjadi keresahan publik, harusnya bukan fatwa tersebut yang keluar.
Ada sederet pertanyaan dan persoalan yang menimpa publik dan barangkali lebih penting dari persoalan salam lintas agama. Walakin, kita bisa memahami secara presisi mengapa mereka mengeluarkan fatwa demikian. Meminjam analisis Moch. Nur Ichwan (salah seorang guru besar ilmu sosial dan politik Islam) bahwa dalam tubuh MUI terjadi pembelokan ke arah yang purifikatif. Istilah yang dipopulerkan oleh Ichwan ialah puritanical turn. Bagi saya, ini merupakan salah satu watak dasar dari MUI yang lain.
Biasanya, upaya purifikasi ini memang dilakukan oleh mereka berkenaan dengan aspek teologi (akidah). Dalam fatwa yang masih hangat ini, kita dengan terang dapat memahami upaya tersebut. Salah satu alasan yang dikemukakan bahwa salam bernuansa doa dan merupakan ibadah. Karenanya, di dalam Islam tidak boleh mencampuradukkan ibadah. Artinya, tidak boleh salam dengan salam dalam tradisi agama lain.
Upaya pembersihan ini akan semakin kentara ketika kita melihat keharaman mengucapkan selamat hari raya. Hampir senada dengan salam lintas agama, ucapan hari raya oleh MUI dimasukkan ke dalam aspek akidah. Sekali lagi, MUI secara lugas melarang mencampuradukkan ajaran agama. Dari argumentasi MUI terhadap dua kasus ini secara benderang mengafirmasi tesis pembelokan ke arah purifikasi.
Kewenangan Lembaga Fatwa
Terlepas dari kecenderungan dan tidak adanya urgensi fatwa tersebut, sah-sah saja MUI menerbitkan itu. Keabsahan ini berpijak pada posisi MUI yang memang senantiasa berurusan dengan problem keagamaan. Ditambah, dalam lanskap negara demokratis kebebasan berpikir merupakan sebuah jaminan. Sayangnya, ketua MUI bidang fatwa, Cholil Nafis, mewajibkan masyarakat patuh terhadap fatwa tersebut.
Padahal, aturan main fatwa paling dasar ialah tidak adanya keharusan yang mengikat. Seseorang dengan sadar mempunyai opsi untuk patuh atau tidak. Sehingga, tidak layak menyatakan suatu fatwa wajib diikuti. Apalagi menganggap bahwa fatwa tersebut sudah (paling) benar, padahal dalam persoalan ini bisa terdapat dissenting opinion (perbedaan pendapat).
Berdasar uraian di atas, tidak berlebihan mengganjar MUI dengan kartu kuning sebagai peringatan. Ibarat pemain bola, ia masih bisa melanjutkan perannya di lapangan dengan catatan dan evaluasi. Kalau berkali-kali diperingati, bukan tidak mungkin untuk mendapat kartu merah. Meskipun semua tahu tidak ada ceritanya wasit diusir dari lapangan. Demikian!
Tinggalkan Balasan