free page hit counter

Kekerasan Remaja Buah Dari Ketidakadilan

Mencegah Kekerasan Remaja

Kekerasan Remaja Buah Dari Ketidakadilan

Contents

Kembali Kepada Keluarga

Jika saat ini Anda sedang berhadapan dengan anak-anak yang dianggap bandel atau nakal, coba jangan buru-buru membentak atau memberi hukuman. Pasti ada cara untuk meredakan kekerasan remaja. Tolong untuk sementara biarkan keadaan sunyi. Jika sudah maka mulailah dengan bertanya: “bagaimana perasaanmu hari ini?”

Bukan tanpa sebab saya menulis prolog demikian. Sebab itulah yang juga saya lakukan jika berhadapan dengan mereka yang bergelar “si langganan masuk BK”. Jujur kesabaran saya ini setipis tisu, mudah saja jika ingin marah, tapi naluri terdalam juga tidak bisa serta merta menghardik tanpa mendapat penjelasan. Saya selalu yakin ada akibat pasti ada sebab. Ada kekerasan remaja pasti ada pemicu.

Sebagai orang dewasa pernahkah kita bertanya kepada anak-anak kenapa mereka memberontak atau melakukan kekerasan? Pernah? Atau justru sering kali kita orang dewasa inilah yang justru melabeli anak-anak dengan sebutan si bandel, si badung, si anak nakal? Mari sejenak kita merenung dan mengingat apa yang selama ini sudah kita lakukan? Jangan-jangan kitalah yang menyebabkan kekerasan remaja itu menggurita? Semoga saja tidak.

Perlu kita sepakati tidak ada orangtua yang rela atau sanggup anaknya mendapat julukan “si tukang rusuh”. Tidak ada orang tua yang mendoakan anak-anaknya menjadi nakal. Tidak ada satupun orang tua yang suka anaknya menjadi korban kekerasan. Maka alangkah baiknya kalau kita sebagai orang dewasa pun menganggap anak-anak ini adalah anak kita yang tidak rela jika mendapat julukan jelek.

Lha tapi gimana ya, emang kelakuannya jelek kok? Masak iya premanisme dianggap biasa saja? Bukankah tidak memberi hukuman kepada yang salah sama dengan menormalisasikan kesalahan tersebut?

Sabar-sabar, bukan begitu konsepnya. Begini, pada dasarnya fitrah manusia itu terlahir suci. Benar? Jika dalam perjalanan terjadi pergeseran arah dan pemahaman maka sejatinya yang perlu kita telusuri adalah faktor penyebabnya. Saya yakin kok setiap anak pasti diajarkan kebaikan sama orangtuanya. Hanya saja di jalan seringnya terbentur kepada realita yang tidak sesuai. Hal inilah yang kadang membuat gejolak dan akhirnya muncullah sebuah pemberontakan berujung kekerasan.

Tidak Ada Anak Nakal

Setelah kita sepakat tidak ada anak nakal, lalu selanjutnya apa? Maka kita harusnya memperlakukan anak-anak itu sesuai dengan kapasitasnya.

Jika sebagai orangtua kita sering kali tidak adil dalam memberi beban maupun menabur kasih sayang, maka hal ini akan memicu konflik. Bahkan sejatinya teror dan kekerasan yang selama ini hadir di hadapan kita sejatinya lahir dari ketidakadilan. Boleh ditelusuri lebih lanjut.

Tanyakan saja kepada para mantan narapidana teroris, tanyakan apa yang menyebabkan mereka sampai hati membuat bom dan menghancurkan targetnya. Pasti jawabannya adalah karena mereka merasa kurang mendapat keadilan.

Coba tanyakan juga kepada anak-anak Anda di rumah, kenapa mereka berantem kakak adik? Bisa jadi jawabannya karena rebutan mainan. Bagaimana bisa rebutan mainan? Mungkin karena orangtuanya membelikan mainan baru untuk si adik sementara kakak tidak. Jadilah ada jarak di sini.

Lalu bagaimana kekerasan yang terjadi di sekolah? Premanisme dan pembullyan, apa iya itu karena adanya ketidakadilan? Ya bisa jadi. Bisa jadi akar masalahnya ini bukan di sekolah tapi di rumah dan tidak mendapat solusi akhirnya merembet ke sekolah. Anak yang biasa tertekan di rumah lalu mendapat apresiasi dari teman yang senasib dan jadilah satu kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mendapatkan jalan pintas.

Cobalah sesekali duduk berhadapan lalu ngobrol dengan anak-anak ini. Jadilah orang dewasa utuh yang tidak memihak. Lalu tanyakan kepada mereka bagaimana mereka bisa sejauh itu melangkah. Pasti akan ketemu akar masalah yang itu harusnya segera kita cabut. Sebagai orang dewasa, inilah tanggung jawab kita. Bukan justru terus-menerus menyirami akar busuk itu dengan ucapan “dasar bocah nakal”, “dasar tidak tahu untung”, “dasar preman”, dan lain sebagainya.

Mencari Solusi Atas Kekerasan Remaja

Ketika kita sudah saling berhadapan saling ngobrol maka selanjutnya mari mencari solusi bersama.  Seperti halnya di depan tadi, tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya nakal, begitu juga anak, tidak ada anak yang berharap jadi orang gagal. Semua anak juga ingin sukses. Hanya saja keadaan kadang memaksa mereka untuk memilih jalan hina (nakal) untuk mendapatkan pengakuan.

Iya untuk mendapat pengakuan. Karena memang tidak sedikit anak-anak yang memilih untuk memberontak hanya supaya mendapat pengakuan atau perhatian dari orang lain. Ini yang harusnya patut kita sesali. Dan semoga sebagai orang dewasa kita tidak membiarkan anak-anak kita sampai sejauh ini.

Sebelum anak-anak salah langkah, lebih baik kita duluan yang memberi mereka apresiasi. Selalu dengarkan apa yang mereka ceritakan. Walau banyak isinya keluh kesah. Jangan sampai anak-anak justru bercerita kepada pihak lain yang kita sendiri tidak percaya.

Mengisi Tangki Cinta Sampai Penuh

Jika anak-anak sudah tidak tertawa dan tidak betah di rumah, maka sebagai orangtua kita harus waspada dan curiga. Tapi tetap tidak boleh main melabeli. Jangan-jangan justru sikap kita yang menyebabkan anak-anak itu menganggap rumah bukan lagi tempat nyaman. Dan kekerasan menjadi satu palampiasan.

Dalam psikologi kita mengenal banyak bahasa cinta. Setidaknya ada lima bahasa cinta atau sering disebut the 5 languages; yaitu pujian (Word of affirmation), waktu berkualitas (quality time), hadiah (gifts), pelayanan (acts of service), dan sentuhan (physical touch).

Sebagai orang dewasa mengisi tangki cinta kepada anak adalah sebuah kewajiban. Jika seorang anak mendapatkan tangki cinta yang penuh maka dia akan merasa kuat untuk menghadapi dunia. Jangan sampai sebagai orang dewasa di rumah justru kita meruntuhkan pertahanan anak dengan memberi ketidakadilan pada mereka.

Sering-sering ajak anak ngobrol, bicarakan semua hal dari yang tidak penting (ringan) sampai hal-hal yang memerlukan penalaran. Sering juga berikan waktu untuk anak memilih apakah mau sendirian dulu atau mau ditemani. Jangan lupa kadang berikan juga hadiah jika anak sudah melakukan hal-hal baik. Catat, hadiah tidak harus berupa barang, ucapan terima kasih dan pujian juga termasuk hadiah. Anak yang sering mendapat pujian akan tumbuh semakin percaya diri. Dengan begitu akan menjadi bekal dia untuk melindungi diri tanpa harus melakukan kenakalan atau kekerasan Remaja.

Sebagai orangtua peluklah anak-anak kita dengan hangat. Pegang tangannya erat dan sesekali elus rambutnya. Bukan, ini bukan membuat anak manja tapi membuat anak merasa lebih berharga. Jika anak menolak, maka jangan memaksa. Apalagi jika anak sudah beranjak dewasa biasanya sudah mulai malu dipeluk atau dielus rambutnya, terutama anak laki. Tapi tetap usahakan untuk menyentuh tangan atau pundaknya.  Seolah sentuhan kita itu bersuara “nak, kamu hebat. kami bangga padamu.”

Jadi mari kita melindungi anak-anak kita dari pelaku dan atau korban kekerasan. Tidak sebaiknya kekerasan hadir jika keadilan sudah ditegakkan.

Bila kita telah melakukan segala upaya namun masih menjumpai anak kita sebagai pelaku kekerasan, maka kita perlu koreksi lagi, cari tahu lagi sebenarnya apa yang salah. Bisa jadi kita melewatkan sesuatu. Namun perlu diingat pula bahwa ada hal-hal yang diluar jangkauan kita.

Share this post

Comments (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *