Memaknai Kebaikan dalam Semangkok Kolak
Ramadan selalu diidentikan dengan yang manis. Sering kali, masyarakat dibodohi dengan perkataan tentang “Berbukalah dengan yang manis,” padahal sebenarnya tidak ada hadist yang membahas tentang hal tersebut. Meskipun begitu, memang pada zaman Rasulullah, beliau selalu berbuka dengan kurma muda (ruthab) jika tidak ada maka akan diganti dengan kurma matang (tamr) sehingga, hal ini membuat masyarakat berkesimpulan bahwa, berbuka memang dengan menikmati yang manis-manis. Jika di Timur Tengah berbuka identik dengan kurma, maka di Indonesia memiliki tradisi berbeda, yaitu berbuka dengan semangkok kolak.
Banyak diantara kita, hanya menikmati saja kolak yang telah terhidang, tanpa mencari tahu makna di dalamnya, sebatas mengetahuhi isiannya saja, tanpa mengetahuhi makna isian di dalamnya. Itulah yang terjadi saat ini, banyak masyarakat yang abai terhadap makna pesan yang terkandung dalam semangkok kolak. Ternyata, kolak yang sering kita nikmati tersebut, memiliki makna yang mendalam mengenai kehidupan. Makna yang mengajarkan tentang kebaikan, tentunya kebaikan kepada Nya serta mahklukNya.
Tentu saja, dalam hidup kita diwajibkan memiliki prinsip. Salah satu, prinsip kita pastilah berhubungan dengan kebaikan, kebaikan yang kita buat dengan Nya maupun kepada makhlukNya, terlebih di bulan ramadan seperti saat ini. Orang-orang, akan berlomba-lomba menegakan kebaikan, dengan tujuan agar dapat memberatkan timbangan kebaikan di hari akhir kelak.
Ironisnya, beberapa waktu yang lalu di negeri ini, Bulan Ramadan yang sarat akan pencarian kebaikan tercoreng dengan kericuhan yang terjadi di kawasan Thamrin dan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bulan Ramadan, yang seharusnya dihabiskan dengan duduk di masjid mendengarkan kajian ilmu atau bertilawah Al Qur’an diganti dengan tindakan tidak terpuji yang dilakukan beberapa oknum, dengan cara melakukan penyerangan kepada petugas, merusak asrama Polri di Petamburan, membakar sejumlah kendaraan, serta aksi brutal lainnya.
Akibat dari kericuhan ini, membuat enam orang meninggal serta 200 orang lainnya terluka, selain itu kericuhan ini, secara tidak langsung telah menanamkan rasa kebencian antar sesama, antipati pada pemerintah, bahkan menanamkan kebencian kepada pemerintah yang tengah menegakan kesejahteraan. Seperti contoh, beberapa waktu yang lalu terdapat keluhan salah satu netizen, terkait dengan kericuhan tersebut. Menurutnya akibat kericuhan tersebut membuat teman-temannya berubah. Hal ini menjadi cerminan bahwa, jika menyerang kepada banyak pihak, maka dapat menimbulkan perpecahan dimana-mana. Bhineka Tunggal Ika hanya tinggal semboyan tanpa pengamalan, makna manis kehidupan dalam semangkok kolak hanya sebatas mitos tanpa penerapan.
Memaknai kembali Semangkok Kolak
Menurut glosarium.org, kolak memiliki arti sebagai makanan yang dibuat dari pisang, ubi, yang kemudian direbus dengan menggunakan gula dan santan. Dari pengertian tersebut mencerminkan bahwa, kolak memiliki rasa yang manis. Selain, adanya penambahan gula yang menciptakan rasa manis, terdapat bahan-bahan yang memang memiliki rasa manis alami, sepert pisang dan ubi
Begitulah kehidupan, sejatinya kehidupan memang diciptakan dengan manis, adanya perbedaan di dalam kehidupan, maka akan menambah rasa manis tersebut. Perbedaan bukan menjadi hal yang harus diperangi, karena dengan perbedaan inilah manis alami kehidupan tercipta. Salah satunya, perbedaan pandangan politik, setiap orang memang memiliki pandangan yang berbeda-beda, hal ini lantaran tiap orang memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda dan ini merupakan kuasaNya. Tentu saja, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memiliki pandangan yang sama dengan kita.
Adanya kericuhan 21-22 Mei 2019, menyadarkan kepada kita tentang masih buramnya makna perbedaan di tengah kehidupan bermasyarakat, perbedaan yang mengantarkan kita kepada kebaikan perlahan terkikis dengan nafsu yang ingin menciptakan persamaan. Dari sinilah, makna filosofi kolak dapat tercipta.
Kolak memiliki makna filosofi yang jarang kita ketahuhi, menurut salah satu artikel dari Idn times mengungkapkan bahwa kata “kolak” berasal dari kata “khalik” yang berarti sang pencipta alam beserta isinya, yang kemudian diartikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta, kericuhan yang terjadi beberapa waktu yang lalu menjadi sarana kita untuk semakin mendekatkan diri padaNya, hal ini lantaran mudahnya seseorang terprovokasi terhadap perbedaan, sehingga semakin kita mendekat pada Nya, maka mencegah hal buruk terjadi.
Isian dalam kolak pun memiliki makna tersendiri, seperti pisang kepok yang diartikan “kapok” atau bentuk penyesalan terhadap perilaku, yang telah diperbuat kemudian melakukan bertubatan. Dalam hidup, kita tidak akan selalu melakukan kebenaran yang lurus, namun adakalanya terdapat sikap atau perbuatan kita yang melenceng, bertaubat dan menyesali perbuatan adalah cara yang tepat untuk kembali lagi pada jalan yang lurus, begitu juga dengan kericuhan 21 -22 Mei, memang manusia tempatnya salah, namun alangkah baiknya jika kesalahan tersebut dapat segera disadari, disesali dan tentunya tidak diulangi kembali.
Selain itu, isian ubi juga memiliki makna tersendiri di Jawa ubi disebut dengan “telo,”yang tertanam di tanah hal ini bermaksud bahwa, adanya upaya untuk memendam dan mengubur kesalahan yang telah diperbuat di masa lalu dan tidak akan mengulanginya lagi di masa depan. Pengertian ini memiliki cerminan untuk mengajak kita tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang, begitu juga dengan kericuhan yang terjadi beberapa waktu yang lalu, yang harus dikubur dalam-dalam dan tidak boleh terulang kembali di negeri ini.
Kemudian, santan yang diartikan sebagai pangapunten, atau wujud permintaan maaf terhadap kesalahan yang lalu, oknum-oknum kericuhan 21-22 Mei seharusnya melakukan permintaan maaf mengenai kesalahan yang mereka perbuat, namun adakalanya melakukan permintaan maaf pada diri sendiri adalah yang paling utama, hal ini berguna sebagai wujud pengakuan kesalahan pada diri dan tidak mengulanginya dikemudian hari.
Makna filosofis dalam semangkok kolak, memang sarat akan arti seperti, memaknai kebaikan, memaknai perbedaan yang menciptakan manisnya kehidupan serta penyesalan terhadap kesalahan di masa lalu. Betapa indahnya kehidupan, jika setiap penghuninya dapat menerima perbedaan, yang mengantarkan pada kebaikannya, layaknya semangkok kolak yang kaya akan perbedaan namun dapat menciptakan rasa kesatuan yang manis.
Antika Damayanti
Comments (2)
[…] juga menjamin kesamaan hak dan kewajiban masing-masing pribadi untuk dapat hidup damai sesuai dengan pilihan hidupnya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, status sosial, dari suku dan […]
[…] juga menjamin kesamaan hak dan kewajiban masing-masing pribadi untuk dapat hidup damai sesuai dengan pilihan hidupnya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, status sosial, dari suku dan […]