Menghindari Jebakan Dunia Maya
Menghindari Jebakan Dunia Maya
Seringkali kita membicarakan krisis yang terjadi di negara tempat kita tinggal di dunia maya. Pembicaraan tersebut ada yang sekadar obrolan ringan angin lalu hingga menjadi debat panas yang mengerutkan dahi. Namun, kita lupa bahwa sesungguhnya kita telah menjadi bagian dari krisis. Krisis yang melampaui materi, yakni perihal eksistensi.
Krisis yang timbul karena keajaiban budaya konsumen dan geliat budaya pamer di dunia maya. Yang apabila mengikuti Hierarki Kebutuhan Maslow akan terasa rumit. Mengapa tidak, dunia maya menuntut kita untuk sesegera mungkin memenuhi kebutuhan atas penghargaan dan aktualisasi diri (tingkat kebutuhan tertinggi), di mana hal ini kerap kali mengesampingkan keinginan kita untuk terlebih dahulu memenuhi tingkat dasar dari kebutuhan fisiologis dan rasa aman.
Krisis eksistensi ini makin menjadi-jadi di abad informasi-digital. Dari Rahim globalisasi terlahir generasi-generasi yang kecintaan terhadap diri sendiri melampaui kecintaan terhadap orang lain. Yang bahkan melihat kekaguman diri sendiri (self-esteem) melebihi kekaguman terhadap apa yang berada di luar diri, termasuk Tuhan. Pada akhirnya, hal ini berimbas kepada kecondongan manusia untuk senantiasa terus menyempurnakan dirinya. Ingin dicintai dan terus merasa dicinta. Tidak lebih dan tidak bukan, karena keterlampuan ‘rasa cinta’ terhadap diri sendiri.
Hal tersebut tidak lepas dari setiap realita yang ditampilkan di dalam dunia maya. Di mana segala sesuatu diproduksi seolah-seolah agar kita percaya bahwa kehidupan yang baik adalah sesuatu yang lebih dan lebih, pekerjaan yang lebih baik, atau kuliah di kampus-kampus dalam/luar negeri yang lebih top, atau pacar yang lebih cantik. Dunia maya secara konstan mencecar kita denga paradigma bahwa jalan menuju kehidupan yang lebih baik ialah dengan segala sesuatu yang lebih dan lebih. Hingga kita secara tidak sadar menjadi lalai dengan kebutuhan kita yang paling mendasar karena dituntut untuk mengejar sesuatu yang lebih, berbuat lebih banyak, dapat lebih banyak, jadi lebih dan lebih.
Terlebih dengan adanya pandemi, kita semakin dimanjakan dengan keberadaan dunia internet. Di dalam sana, kita bebas memuntahkan sandiawara sesuka hati. Sandiwara memungkinkan kita untuk bisa mendapatkan penghargaan secepat mungkin. Misal, kita ingin dipuja sebagai seorang pecinta kucing, maka cukup dengan memposting foto atau video kucing-kucing lucu dan tambahkan sedikit bumbu-bumbu yang menyentuh hati. Dengan begitu, tinggal menunggu waktu bahwa orang-orang beranggapan jika diri kita adalah seorang pecinta kucing. Lagi-lagi, ujungnya adalah rasa cinta secara berlebihan terhadap diri. Kita ingin menampung semua rasa cinta tersebut tertuju hanya untuk diri kita seorang.
Kecintaan terhadap diri sendiri (self-esteem) adalah sebuah kontruksi identitas yang dibangun dalam dunia jejaring semacam dunia maya. Kecintaan terhadap diri adalah tentang perasaan terhadap diri sendiri. Perasaan tersebut diukur dengan unsur-unsur seperti kebaikan, kebesaran, kecantikan, atau kekuasaan diri. Yang mana rasa cinta tadi akan menarik keinginan untuk mendapat rasa kagum dari orang lain. Dan dunia maya lalu mencampur adukkan perasaan tersebut dengan harapan akan pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Seseorang tidak akan merasa cukup hanya dengan merasa dicintai oleh diri sendiri, buth lebih banyak rasa cinta, yaitu dari orang lain. Dunia maya akan menempatkan diri kita sebagai figure sentral dalam panggung sosial ‘maya’, di mana publik akan memuja dan mengagungkan kita di sana.
Hal ini karena dunia maya memberikan kita ketidak terbatasan atas apa-apa saja yang kita lihat dan ketahui. Ketidak terbatasan yang ditampilkan kebanyakan yang berbau kebahagiaan dan kenikmatan. Jika tidak menanggapi secara bijak, maka kita akan terseret oleh jebakan yang dihadirkan oleh dunia maya. Keinginan untuk terus lebih dan lebih. Terus merasa dicinta dan ingin dicintai.
Jebakan tersebut secara tidak sadar akan menggiring kita pada kecenderungan egosentrisme atau bahkan egoisme, di mana kita hanya akan terlalu sibuk mementingkan diri sendiri. Nilai-nilai kepublikan dan kebaikan umum akan terkikis lambat laun oleh individualisme yang sedikit demi sedikit tercipta. Kita pada akhirnya akan tercabut dari akar-akar kehidupan sosial, seperti keluarga, teman, hingga komunitas karena dunia maya menuntun kita membangun sebuah paradigm tentang ke-aku-an, dengan segala sifat, karakter, keyakinan dan nilai-nilainya.
Oleh karenanya, tidak ada yang paling mengerti tentang kadar kita berselancar di dunia maya kecuali diri sendiri. Tentang bagaimana kita memahami, menerima, dan memberikan segala informasi yang ada di dalamnya. Karena pada era yang serba cepat seperti saat ini, dunia maya adalah keniscayaan yang tidak dapat terhindarkan. Maka, agar tetap terjaga dari jebakan-jebakan yang dihadirkan oleh dunia maya, pilihannya adalah dengan menavigasi diri sendiri. Untuk tetap waras dan mawas diri.
Referensi
Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Berlari Dromologi, Implosi, Fantasmagoria, Aurora, Yogyakarta, hlm. 133-137.
Mark Manson, The Subtle Art Not Giving a Fuck, HarperOne, AS, 2016, hlm. 6-10
Comments (2)
[…] media yang terdekat dengan kita di zaman ini, dunia maya juga menjadi tempat tumbuh suburnya ideologi bahkan ajakan aliran Radikalisme dan Terorisme di […]
[…] baca juga : Menghindari Jebakan Dunia Maya […]