Mudik dari Kacamata yang Tidak Lazim
Saya teringat betul testimoni dari salah seorang penonton film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang (2023). Ia menyatakan bahwa rumah tidak senantiasa berbentuk bangunan. Pada saat yang sama saya teringat satu scane di mana Awan (nama orang) meminta adiknya (Aurora) yang tinggal di luar negeri untuk pulang. Dengan tangkas Aurora menjawab “mau pulang ke mana, rumahku di sini”. Saya pikir itu adalah gambaran orang yang terlalu nyaman di rantau. Enggan mudik.
Di sisi lain, membahas rumah dan kampung halaman memang tidak akan pernah usai. Bagi sebagian orang, rumah (arti literalnya) dan kampung halaman memang tempat untuk berpulang. Sebabnya, saban tahun menjelang hari raya, orang-orang dari perantau rela merogoh sakunya untuk mudik. Sebagian penulis menyebut istilah mudik ini adalah akronim dari pulang ke udik. Namun, saya tidak akan membahas tetek bengek peristilahan.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa mudik ke kampung halaman untuk mengobati rasa kangen adalah mudik versi lazimnya manusia. Kita akan melihat bagaimana mudik dari kacamata lain yang tidak lazim. Mudik menurut persepsi orang-orang yang merasa tidak lagi nyaman dengan kampung halaman. Orang yang cenderung resah dengan realitas sosial dan kultural dari kampung halamannya. Bahkan orang yang resah dengan pertanyaan di seputaran lebaran.
Menolak Pulang Kampung
Kendati demikian, saya harus klirkan terlebih dahulu bahwa banyak alasan seseorang yang tidak mudik. Mulai dari tidak ada waktu liburan yang cukup, hingga tidak adanya ongkos. Pada titik itu, tidak sedikit juga orang yang menolak pulang kampung karena memang enggan. Mengapa demikian? Realitas sosial dan kultural di rumahnya yang barangkali membentuk.
Bagi orang yang sudah tidak mempunyai keluarga di kampung halaman, mudik atau tidak sama saja. Toh tidak ada orang yang mau ia temui dan cium tangannya di rumah. Akhirnya, keputusan untuk tidak mudik adalah hal yang paling rasional. Demikian juga orang yang menolak pulang karena merasa dirinya belum mempunyai apa-apa. Dengan bahasa yang lebih vulgar kita sebut belum sukses.
Sukses Dulu Baru Mudik
Saya tahu ungkapan ‘makan tidak makan yang penting kumpul’. Artinya, sukses atau tidak sukses yang penting adalah kumpul. Namun, benarkah ungkapan demikian termanifestasikan dengan baik di kampung halaman? Saya rasa tidak juga. Orang-orang yang bertanya kerja apa, kuliah di mana, kapan lulus adalah bukti bahwa untuk mudik kita terlebih dahulu harus menyelesaikan misi (segenap ekspestasi orang-orang di kampung halaman).
Apabila ada satu misi saja yang belum komplit, pulang akan menjadi hal kurang mengenakkan. Mungkin Anda akan menyanggah dengan mengatakan bahwa kalau menunggu seluruh misi selesai, maka selamanya tidak akan mudik. Saya akui itu memang benar bahwa untuk menuntaskan misi butuh waktu tidak sebentar. Namun, dari sini saya ingin mengungkapkan bahwa alasan orang tidak pulang kampung karena belum sukses adalah sah-sah saja.
Seminim-minimnya hal tersebut benar dalam pandangan yang tidak lazim. Pandangan yang tidak orang pada umumnya punyai. Saya jadi teringat Nopek Novian yang memparodikan kenek angkot dan mengusir seorang yang mau mudik karena belum sukses. Itu cukup mendeskripsikan realita bahwa untuk pulang kampung ada hal yang harus kita bawa. Kalau tidak, sebagaimana kata Nopek, video call saja cukup. Selamat Bertemu Keluarga!
Tinggalkan Balasan