free page hit counter

Profetik Perdamaian: Empiris dan Rasionalis, Mana Yang Lebih Dominan?

Profetik Perdamaian: Empiris dan Rasionalis, Mana Yang Lebih Dominan?

Interaksi yang terjadi tentu tidak terlepas dari komunikasi. Secara keilmuan, komunikasi memang lahir belakangan setelah psikologi dan sosiologi. Namun secara praktek komunikasi sudah lebih dulu terjadi. Karena tidak mungkin ada interaksi dan respon tanpa adanya sebuah pertukaran pesan, tidak hanya secara verbal namun juga non verbal. Sudah sedari dulu terdapat perbedaan presepsi tentang keilmuan. Perdebatan tersebutlah yang nantinya justru berkorelasi dengan maksud konsep profetik perdamaian.

Berawal dari prolog tersebut. Kuntowijoyo yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada menggagas pemikiran tentang dasar suatu ilmu, yakni Ilmu Sosial Profetik. Dia mengemukakan dan ingin menautkan korelasi antara pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurutnya ada yang lebih dasar daripada empiris ataupun rasionalis, dengan pendekatan keilmuan dan teologi yakni, wahyu. Kuntowijoyo memberikan jalan tengah “wahyu” sebagai dasar keilmuan.

Distingsi Keilmuan dan Keagamaan Dalam Konsep Profetik Perdamaian

Profetik Perdamaian

Keilmuan dan keagamaan masih saja dianggap sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, dan tidak memiliki korelasi. Namun beberapa gagasan membantah hal tersebut, seperti pemikiran “Integrasi-Interkoneksi” oleh Prof. Amin Abdullah, yang mengupas dan menegaskan bahwa segala sesuatu memiliki keterkaitan dan Tuhan menjadi sumber atasnya. Melalui Ilmu Profetik ini setidaknya memiliki tujuan untuk mengembalikan manusia pada hakikatnya, yang dapat memanusiakan manusia lainnya, membebaskan dirinya dan kembali pada subtansi, serta ketakwaan pada Tuhannya. Kuntowijoyo mengambil surat Ali Imron 110, sebagai dasar atas pemikirannya, hal tersebut pembuktian bahwa selain rasional dan empiris, wahyu dapat menjadi sumber pengetahuan. Dalam surat tersebut memuat tentang Masyarakat utama, kesadaran sejarah, liberasi, emansipasi dan transendensi.

BACA JUGA: Puasa dan Ritual Kemanusiaan

Nilai-nilai yang ada pada wahyu berupa Qur’an surat Ali Imron : 110 tersebut mengandung nilai profetik, dimana segala sisi baik secara vertical maaupun horizontal dimuat pada wahyu tersebut. Diharapkan manusia dapat taat kepada Tuhan dan memiliki nilai-nilai yang mulia pada kehidupan pribadi serta baik dari segi ‘muamalah’ berbangsa dan bernegara. Hal tersebut menjadi penting karena mencangkup kebutuhan dari berbagai sisi manusia, baik dari segi empiris maupun rasionalisnya. Dan saat ketiga hal yang berupa liberasi, humanisasi dan transendensi yang menjelaskan ketaatan kepada Tuhan, memahami diri dengan sebenar-benarnya nilai manusia serta interaksi kepada lingkungan tersebut seimbang, tidak menutup kemungkinan dan bahkan besar peluang agar perdamaian tercipta.

Share this post

Comments (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *