Puasa dan Pengendalian Diri
Segala sesuatu yang menjadi respon diri terhadap dunia luar selalu bermuara pada diri sendiri. Kebahagiaan, kesedihan, rasa sakit, amarah, dimulai dari diri sendiri. Bukan hubungan pekerjaan, bukan uang, bukan kekuasaan yang membangun itu semua. Tapi diri sendiri yang mencipatakn semua sensasi itu.
Yang tetap bisa menjalani hidup dengan penuh suka cita di tengah keterbatasannya. Ada pula yang hidupnya begitu tersiksa dikejar-kejar rasa bersalah meski memiliki segalanya. Maka, semua yang berasal dari luar diri kita hanyalah perantara untuk menjadikan hidup kita menjadi ‘hidup’. Bermakna dan meninggalkan kesan terbaik bagi diri sendiri, orang lain, dan kehidupan.
Adalah bagaimana kita bisa mengelola diri kita dengan arif dan bijaksana. Menjadikan dunia hanya sebagai wadah, kehidupan yang sementara sebagai substansinya, usia sepanjang hayat menjadi metodanya, dan targetnya adalah jangkauan transenden yang disebut akhirat.
Pointnya adalah bagaimana kita mampu untuk mendamaikan pikiran dan hati agar berjalan beriringan. Sehingga kita bisa mengendalikan akal untuk berpikir secara sehat dan hati dapat menjadi tempat bersemayanya intuisi (akhlak) yang memunculkan tindakan-tindakan sukarela, tindakan benar atau salah. Jika diri tidak dibina dengan pembinaan yang proposional, maka kita hanya akan tenggelam dalam kesenangan semu dan keinginan tak terbatas. Kehadiran kita hanya akan menjadi benalu di setiap tempat.
Yang terkelola dengan benar adalah representasi dari lingkungan dia berada. Maka, jadikan keluarga sebagai lingkungan yang nyaman, bergaullah dengan teman-teman yang menghadirkan kebaikan di dalamnya, bergurulah dengan mentor (guru) yang tepat, pelajari hal-hal yang sesuai passion. Dengan demikian akan melahirkan informasi-informasi yang kemudian direspon oleh pikiran dan disampaikan kepada tubuh sebagai eksekutornya.
Itu mengapa manusia diperintahkan untuk berpuasa wajib sebulan penuh. Bukan untuk Tuhan, karena Tuhan sudah terlalu Maha Besar untuk urusan sepele seperti manusia, melainkan keberadaan puasa justru untuk manusia itu sendiri. Puasa adalah seni mengelola rasa untuk mengasa asa nurani pada manusia. Pekerjaan menahan tumpah ruahnya keinginan, atau usaha mengendalikan kebiasaan melampiaskan. Pada tesis yang lebih jauh, puasa adalah usaha konstruktif untuk membangun relasi sosial.
Mengajarkan kita untuk pandai dalam memilah. Seperti halnya dalam berbuka, tidak semua makanan yang terhidang disantap habis. Dan, tidak semua makanan layak menjadi teman berbuka. Ada skala prioritas, menyeusaikan kondisi finansial, kesehatan, dan juga kondisi perut. Puasa melatih manusia untuk menaklukkan kesenangannya. Dengan begitu, kita sebagai manusia akan memilah segala infromasi yang hadir disekitar.
Puasa adalah sebuah metode untuk memelihara asupan yang baik bagi pikiran dengan informasi positif dan tindakan bermanfaat. Sebab hidup adalah apa yang dibuat oleh pikiran. Kala seseorang merasa malas mengerjakan tugasnya, maka hidupnya tidak akan jauh-jauh dari kemalasaan. Jodoh akan malas menghampirinya, rejeki akan malas mendatanginya, pekerjaan akan malas memilihnya, hingga orang-orang akan malas bertemu dengannya lagi. Seseorang adalah apa yang ia pikirkan sepanjang hari. Jika mampu merekonstruksi pikirannya dengan siifat rajin mislanya, maka tubuhnya akan ikut merespon untuk melawan rasa malas.
Puasa melatih menjauhi sifat-sifat semacam itu. Membangun mental baja, dimulai dari bangun sahur di sepertiga malam. Karena kita pada dasarnya menyenangi nyenyak, atau kenyang, tapi kita tidak diperkanankan melakukan itu sepuasanya. Puasa mengerem keinginan-keinginan tadi dari subuh hingga magrib.
Pepatah bijak pernah mengatakan bahwa kita bukan apa yang kita pikir diri kita, melainkan apa yang kita pikir, itu diri kita. Sebuah pernyataan filososif yang mengandung makna mendalam. Yang memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya kitalah yang menjadi raja atas diri kita sendiri. Pikiran kita yang memegang kendali mau dibawa ke mana hidup kita. Lalu, puasa datang untuk mengosongkon pikiran dari kotoran yang terhimpun selama sebelas bulan terakhir. Untuk kembali menjadikan pikiran kita raja atas diri kita, bukan raja atas nafsu.
Pikiran agar menghasilkan kerangka yang jernih dalam mengelola informasi yang masuk harus didukung dengan hati yang bersih. Dan lagi-lagi, puasa akan menghadirkan hati yang terawat. Hati yang akan melahirkan sifat-sifat terpuji yang menjadi trade mark-nya perbuatan-perbuatan yang muncul.
Sehingga diri yang dapat mencapai titik tersebut akan memiliki kekuasaan sejati. Kekuasaan atas diri sendiri – kekuasaan atas pikiran, kekuasaan atas ketakutan, dan kekuasaan atas akal dan jiwa. Sebab tidak ada yang dapat mebuat kita dami, kecuali diri kita sendiri.
Dengan begitu, meski ditimpa kondisi apapun diri dapat merespon dengan tepat. Walau dilanda musibah, maka seseorang yang mampu mengelola diri dengan baik tidak akan berlarut dalam kesedihan terlalu lama. Ia akan bangkit dan bergerak kembali melanjutkan hidupnya. Karena pikiran dan hatinya telah menuntunnya untuk memaknai hidup dengan lebih berarti.
Imaduddin Fr – Duta Damai BNPT
Tinggalkan Balasan