Gerakan Filantropi di Tengah Pandemi
Sudah beberapa bulan semenjak virus corona menjadi pandemi, kita telah berupaya melakukan karantina mandiri demi pemutusan rantai penyebaran Covid-19. Selain itu kita juga berusaha untuk membantu tugas tenaga medis dalam mengobati pasien Covid-19 dengan menghentikan penularannya. Meskipun nampak sederhana, inisiasi untuk tetap berada di rumah selama pandemi sesungguhnya telah menyelamatkan banyak nyawa.
Kampanye #dirumahaja setidaknya telah berkontribusi untuk mengurangi korban jiwa akibat pandemi ini. Namun kampanye saja tidaklah cukup dilakukan jika tanpa kesadaran publik untuk saling menjaga. Kondisi yang mengharuskan masyarakat untuk #dirumahaja juga bukan tanpa konsekuensi. Masyarakat yang biasanya melakukan aktivitas normal seperti mencari kebutuhan hidup juga harus tertunda sementara. Sehingga dampak ekonomi akan sangat terasa terutama bagi masyarakat menengah ke bawah.
Beberapa hari yang lalu saya mengantarkan ibu ke salah satu pasar tradisional untuk membeli beberapa kebutuhan pokok. Sesungguhnya hal ini sah dilakukan jika tetap memperhatikan protokol kesehatan seperti menggunakan masker, menjaga jarak fisik dengan orang lain, rajin mencuci tangan hingga bersih, dan melakukan sterilisasi diri sesampainya di rumah. Namun alih-alih kesadaran publik, beberapa individu yang saya jumpai di pasar banyak tidak memperhatikan keselamatan diri seperti tidak menggunakan masker. Selain itu upaya jarak fisik antar individu pun sudah tidak diindahkan lagi ketika pembeli berebut untuk membeli barang kebutuhannya. Lalu saya berpikir apakah usaha kita selama ini untuk mencegah penularan Covid-19 akan gagal?
Pikiran pesimis sempat menyertai kepala saya. Namun ketika teringat usaha tenaga medis serta segala pihak yang telah terlibat dalam upaya pencegahan Covid-19 selama ini nampaknya pikiran ini terlalu dini. Sesungguhnya mindset untuk berpikir positif harus tetap dipelihara sebagai kesadaran publik. Namun bukan berarti optimisme saja cukup, perlu adanya aktualisasi konkret terhadap pikiran. Apabila segelintir individu masih belum memiliki kesadaran publik untuk saling menjaga maka perlu adanya usaha yang lebih giat lagi untuk memantiknya. Jika pikiran berhenti pada pesimisme pasif sehingga menafikkan kesadaran publik maka sudah tidak jelas perbedaan kita dengan beberapa individu yang belum memiliki rasa saling menjaga.
Kerawanan yang paling besar adalah jika pahlawan garis akhir seperti tenaga medis mengalami gangguan psikis semacam ini. Sebab tanpa penjaga garis akhir ibarat dalam permainan sepakbola maka kemungkinan untuk kemenangan akan kecil. Selain itu jika pesimisme terus melanda pikiran publik maka kesadaran untuk saling menjaga pun akan perlahan meredup dan akhirnya mungkin hilang.
Munculnya fenomena lagu “Indonesia Terserah” mungkin saja merupakan salah satu tanda pesimisme yang perlahan mulai muncul khususnya di kalangan pahlawan garis akhir. Selain itu pikiran pesimisme juga akan membuat masyarakat “masa bodo” untuk saling menjaga jika yang lain saja tidak peduli.
Sejujurnya saya terkesan ketika awal pandemi ini beberapa gerakan filantropi perlahan muncul ke permukaan. Kondisi tersebut saya anggap sebagai bentuk optimisme publik untuk segera mengatasi pandemi Covid-19. Beberapa pengusaha yang mapan finansial secara sukarela membantu kebutuhan hidup masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan beberapa relawan lain juga ikut membantu dalam distribusi logistik maupun kampanye #dirumahaja. Namun pertanyaan sampai kapan pandemi ini akan berakhir kemudian menimbulkan benih-benih pesimisme apabila melihat kesadaran publik di lapangan yang belum terbentuk.
Semangat yang naik-turun dalam kehidupan manusia saya pikir wajar, namun sesungguhnya tidak dengan tekad. Pesimisme saya pikir merupakan faktor menurunnya semangat publik untuk terus konsisten saling menjaga melalui gerakan filantropi. Sedangkan tekad merupakan faktor penting yang digunakan sebagai landasan semangat. Jika kita memiliki tekad yang kuat maka semangat dapat terus kita tingkatkan. Namun jika tekad yang kita miliki masih lemah maka semangat itu dapat terganggu.
Saya masih merasakan tekad kuat yang dimiliki oleh pahlawan garis akhir maupun garis depan. Tidak peduli seberapa besar tantangan muncul, saya yakin kita mampu untuk saling menjaga dan percaya. Pikiran pesimisme tidak perlu sampai merasuki gerakan filantropi. Sebab gerakan filantropi sesungguhnya tidak mengenal pesimisme. Seberapa pun besar gangguan akibat fenomena yang tidak kita inginkan sesungguhnya tidak akan menghalangi tekad dan jiwa filantropi yang ada dalam diri kita.
Lalu bagaimana gerakan filantropi yang dapat kita lakukan di tengah? Apakah kita harus memberikan kebutuhan hidup setiap orang? Bagaimana jika saya belum memiliki kemampuan untuk itu? Gerakan filantropi perlu dipahami secara luas. Tidak hanya sekedar memberi kebutuhan finansial ataupun terjun menjadi relawan lapangan, namun kepedulian terhadap diri sendiri pun merupakan filantropi menurut saya. Dengan memperhatikan protokol kesehatan Covid-19 minimal untuk menjaga kesehatan diri saya pikir merupakan salah satu gerakan filantropi yang penting. Sesungguhnya dengan mengenali diri sendiri maka secara otomatis kesadaran publik juga akan muncul. Perhatian yang semula kepedulian terhadap diri sendiri juga dapat berkembang untuk saling menjaga satu sama lain.
Comment (1)
[…] Salah satu fungsi yang sangat digandrungi oleh generasi milenial adalah adanya sosial media. Sosmed, sebuah ruang yang menjadi ajang untuk bebas mengekspresikan diri kita masing-masing tanpa perlu menunjukkan identitas yang sebenarnya. Dengan adanya fasilitas ini, tentunya semakin memudahkan kita untuk selalu up to date terhadap perubahan ataupun kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun. Cukup dengan beberapa langkah pertama sebelum memulai interaksi lewat beberapa aplikasi chatting, para penggunanya akan semakin leluasa untuk mulai mengobrol dengan koleganya. […]