free page hit counter

Author - Moh. Rofqil Bazikh

Pendidikan Hanya Kebutuhan Tersier, Benarkah?

Apa benar dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja? Minggu lalu, tepat sejam sebelum saya wisuda, seorang teman membuat story di media sosial. Saya ingat betul kata-katanya bahwa ia akan membuktikan untuk sukses tidak butuh titel sarjana. Mengingat ia hanya teman di media sosial dan tak akrab, saya anggap itu hanyalah sebuah kebetulan. Maksudnya...

Anak KIP-K Penuh Gaya, Salahkah?

Dok Pribadi Moh. Rofqil Bazikh (KIP-K) Saya mendapat cerita seorang penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Sementara orang tuanya tidak paham bahwa anaknya mendapat bantuan dari pemerintah, sang anak juga memilih diam-diam saja. Akibatnya, uang bulanan tetap mengucur deras dari saku orang tua. Sudah bosan rasanya saya mendengar...

Islam dan Feminisme di Indonesia: Sebuah Refleksi

Saya membuka kembali pidato-pidato guru besar perempuan UIN Sunan Kalijaga. Ada sekitar lima pidato yang saya baca selama beberapa hari terakhir. Pidato tersebut mereka sampaikan pada pengkuhan sebagai guru besar. Pidati-pidato tersebut bertitimangsa mulai dari 2018 hingga 2024. Tidak usah berpikir mengapa sangat sedikit, hanya 5 pidato selama 6 tahun terakhir. Ingat bahwa pidato...

Lagu Lama Penganiayaan Kelompok Minoritas

Saya misuh-misuh ketika Lina Mukherjee divonis penjara 2 tahun. Pemantiknya ialah konten Lina sedang makan babi sembari mengucap basmalah. Konten yang kemudian membuatnya terjerat pasal Undang-undang Transaksi Eletronik (UU ITE). Tepat di detik yang sama saya ingat bahwa beberapa tahun sebelumnya ada seorang ustaz yang menghina salib. Sayangnya, polisi menolak ketika ada laporan. Sebenarnya...

Cinta (Tidak) Habis di Orang Lama

Perkara Kehilangan Jika bisa meminta satu hal tidak terjadi pada saya, maka itu adalah tidak kehilangan. Barangkali tidak hanya saya, bagi semua orang kehilangan senantiasa memukul. Seseorang absah saja merasa tidak terpukul pada hari H ia kehilangan. Namun, setelahnya—saya berani bertaruh—ada bagian yang kosong di dalam dirinya. Ada banyak bentuk kehilangan, tetapi pada prinsipnya semua itu...

Salafi yang Tidak Kita Pahami

Salah satu terminologi yang kerap kita lekatkan dengan sikap keras dalam beragama adalah Salafi-Wahabi. Kendati dua kata ini mempunyai titik demarkasi, tidak sedikit yang menggunakannya secara bersamaan. Meski begitu, hal tersebut tidak akan menjadi pembahasan tulisan ini. Diskusi di dalam tulisan ini berpijak pada pertanyaan mendasar, apakah Salafi pasti bersifat ekstrem? Pertanyaan ini...

Pendidikan Kita yang Suram, Pendidikan Kita yang Malang

Saya tidak tahu bahwa 2 Mei merupakan Hari Pendidikan Nasional. Saya menyadarainya pascamelihat banyak kolega yang membuat story via WhatsApp. Sekarang percaya kalau story WA lebih update daripada media massa. Itu bukan pembahasan kali ini. Saya hanya akan mencoba untuk merefleksikan wajah pendidikan kita—kendati secara parsial. Mula-mula, semua orang harus percaya bahwa pendidikan adalah...

Anak Muda dan Kekerasan Beragama: Dua Pilihan Jalan

Puluhan tahun lalu, Soekarno meminta sepuluh orang pemuda untuk mengguncangkan dunia. Ini secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita betapa penting posisi anak muda. Kita kerap menganggap mereka sebagai harapan hari mendatang, sosok yang akan melanjutkan estafet perjuangan. Bagi saya, anak muda memang bukan segala-galanya, tapi hampir sampai di titik segalanya tersebut. Posisi Anak Muda...

Selawatan

Ratusan Juta untuk Selawatan, Salahkah?

Salah seorang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat status pendek di laman Facebooknya. Ia menyinggung ihwal takbir keliling dan selawatan yang menghabiskan puluhan hingga ratusan juta. Ia bertanya-tanya apakah umat Islam di sekelilingnya sudah bisa sekolah, sudah bisa makan, sudah bisa berobat. Bagi saya itu pertanyaan sekaligus sebuah larangan. Barangkali, ia bermaksud agar...

Toleransi Beragama di Media Sosial

Keoknya Toleransi Beragama di Media Sosial

Tidak ada tempat paling demokratis yang melebihi media sosial. Bahkan preventif pemerintah melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITU) seakan tidak berdaya. Mengapa demikian? Di media sosial semua orang bisa berpendapat apa dan bagaimana. Ya, kendati seseorang tersebut bukan pakar sekalipun. Di titik ini kita mungkin teringat buku Tom Nichols, Matinya Kepakaran (The...