free page hit counter

Lagu Lama Penganiayaan Kelompok Minoritas

Lagu Lama Penganiayaan Kelompok Minoritas

Saya misuh-misuh ketika Lina Mukherjee divonis penjara 2 tahun. Pemantiknya ialah konten Lina sedang makan babi sembari mengucap basmalah. Konten yang kemudian membuatnya terjerat pasal Undang-undang Transaksi Eletronik (UU ITE). Tepat di detik yang sama saya ingat bahwa beberapa tahun sebelumnya ada seorang ustaz yang menghina salib. Sayangnya, polisi menolak ketika ada laporan. Sebenarnya bagaimana posisi minoritas VS mayoritas?

Anda mungkin menganggap bahwa dua kasus tersebut berbeda. Bagi saya jelas bahwa dua kasus tersebut erat kaitannya dengan atribut keagamaan. Apa yang membedakan kedua kasus di atas adalah implikasi yuridisnya—kalau terlalu ilmiah bisa kita artikan akibat hukumnya. Satunya kena pasal, sementara yang satu bebas berkeliaran.

Jujur saja, saya tak kaget ketika terjadi penganiayaan terhadap mahasiswa Katolik, biasa saja. Dikatakan bahwa hal itu biasa saja bukan dalam rangka membenarkan. Saya menyatakan demikian musabab sudah sering umat beragama nonmayoritas mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Apalagi alasan dari RT setempat menyatakan bahwa aktivitas Doa Rosario mereka membuat warga terganggu dan terlalu malam.

Bandingkan misalnya dengan kasus yang menimpa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara. Persoalnnya berakar pada keluhannya terkait pengeras suara di masjid yang hanya berjarak 7 meter. Ia dilaporkan dan dikenai pasal terkait dengan penistaan agama. Pertanyaannya kemudian muncul di kepala akankah kasus di Tangerang Selatan kemarin juga akan masuk terhadap penistaan agama? Haqqulyakin tidak!

Tumpul ke Mayoritas, Tajam ke Minoritas

Perlu sedikit modifikasi terhadap ungkapan tumpul ke atas tajam ke bawah. Bagi saya ini kurang lengkap. Hukum kita (lebih-lebih terkait Penodaan Agama) tumpul ke mayoritas, tajam ke minoritas. Cerita yang saya kutip di atas kiranya sudah cukup untuk memperlihatkan bagaimana cara hukum kita bekerja. Belum lagi kalau membaca ruhnya, yakni UU PNPS No 1 Tahun 1965 ditetapkan, umpamanya.

Meski demikian, kurang lengkap rasanya kalau belum memention kasus yang juga terjadi di internal agama itu sendiri. Cerita tentang sekte-sekte yang dianggap menyimpang oleh kalangan agamawan arus utama. Sebut saja inisialnya Ahmadiyah dan Syiah. Kedua kelompok ini sudah mengalami getirnya hidup di Indonesia yang Masya Allah tidak ramah kelompok minoritas.

Memang benar bahwa sekte-sekte tersebut tidak kena pasal. Tapi coba hitung berapa kasus persekusi terhadap mereka hanya karena dianggap nyempal dari arus utama. Saya tidak ingin bilang apa-apa, hanya ingin menegaskan bahwa negara kita memang jauh dari kata ramah terhadap kelompok yang berbeda alias minoritas.

Mayoritas Mah Bebas

Tentu tidak masalah tatkala yang mulia Pak RT bilang bahwa para mahasiswa melakukan aktivitas terlarut malam dan menganggu warga. Beliau kemudian meminta mahasiswa untuk membubarkan diri. Tapi coba posisinya kita balik. Sewaktu kelompok mayoritas melakukan aktivitas keagamaan malam, mintalah mereka bubar. Jangankan menyuruh membubarkan diri, minta mengecilkan volume pengeras suara saja sudah tantrum kok.

Atau kalau mau yang lebih konkret yaitu pas bulan puasa. Ketika ada anjuran untuk membangunkan sahur dengan tidak ugal-ugalan. Tak sedikit yang berdalil “ini kan cuma setahun sekali, lagi pula kalau tidak begitu terasa hambar bulan puasanya.” Dalam hal ini, saya pikir, sindrom mayoritanisme masih begitu kerasa. Kalau tidak percaya suruh Pak RT berbuat demikian ketika ada pengajian sampai malam.

Sebagai pamungkas, saya ingin katakan bahwa apa yang menimpa teman-teman mahasiswa Katolik adalah biasa saja. Tidak, saya tidak bermaksud untuk membenarkan tindakan itu. Namun kejadian serupa sudah terjadi berulang kali dengan berbagi variasinya. Kita tunggu saja besok kelompok minoritas mana lagi sasarannya.

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *